Salam Perkenalan

Hey Guys and Gurls! Blog ini bukan private blog yang artinya di sini ada banyak banget informasi, lirik, dan berbagai macam tulisan yang pastinya cool and interested to the max! So, if you like it, just post a comment and I'll read it soon, surely. And sure, kalian juga bisa kasih kritik dan saran buat blog ini supaya bisa maju dan nggak cuma gini-gini doang. So, it’s our kingdom, will you join with us?

Selasa, 16 Oktober 2012

Amazing Grace



 Amazing Grace
By: Valeska Valkyrie



            Aku, seorang gadis dengan nama Grace, bertekad suatu hari nanti akan memberikan kebahagiaan pada orang lain. Sama seperti namaku, aku ingin memberikan berkat bagi orang lain, setidaknya supaya orang lain menganggapku sebagai berkat yang dikirimkan Tuhan. Tapi... bukannya menjadi berkat, aku malah menjadi petaka bagi orang yang kukasihi. Dan sekarang, setidaknya, kisah ini diperuntukkan bagi dunia, karena setidaknya setelah ia pergi, aku ingin berkisah dan bercerita tentang seorang pemuda baik hati... yang dengan rela memberikan nyawanya hanya untuk gadis sepertiku... Cloud namanya...
***
            “Grace?” Suara siapa itu? “Grace?! Bangun Grace!” Seseorang menggerak-gerakkan badanku, mengguncang-guncangkan sebuah raga tanpa jiwa. Ugh... aku ingin membuka mataku dan melihat siapa yang memanggil namaku. Namun... aku merasa berat melakukannya, seolah aku berada di dunia lain dan dihalang tembok baja agar bisa kembali lagi ke dunia asalku.
            Suara itu menghilang. Seolah lenyap ditelan waktu... dan yang kulihat setelah itu, waktu seolah berputar lebih cepat 5 kali dari biasanya. hanya ada orang-orang berlalu lalang tak jelas. Ada yang meletakkan seikat bunga di vas kosong, ada yang melihat-lihat jam dan kalender, ada yang menatapku terus sambil manggut-manggut kemudian tertidur. Dan... semua itu lama sekali... hingga saatnya tiba...
            Tit... tit... tit... suara proyektor detak jantung itu berbunyi nyaring di telingaku. “Grace?” sapa seorang laki-laki gagah di sampingku. Kakak? “Grace...?! Kamu sudah sadar?! Syukurlah... dokter!” kakak berteriak meninggalkanku terburu-buru. Kakakku tambah keren ya? Sudah berapa lama memangnya aku tertidur? Padahal baru saja aku melihat semuanya berlalu cepat bahkan seperti 5 detik saja aku tertidur. Seperti... tidak ada yang berubah. Kak Ian, seorang kakak yang baik dan gagah, idolanya para gadis. Seorang ketua OSIS, bintang kelas, pujaan banyak wanita, siapa coba yang tak iri denganku? Papa dan Mama p... un... Papa? Mama? Oh... tidak. Selama apapun aku tidur, aku tak mungkin lupa dengan apa yang baru saja terjadi.
            “Grace...” Kak Ian memasuki kamarku dengan dokter di sampingnya. Ia menyapaku dengan wajah bertanya-tanya. “Ke... kenapa kau menangis, Grace?” Kak Ian menenggerkan tangannya di pipiku. Basah... dan lembut...
            “Aku... tak bisa melupakan semuanya semudah yang kakak bayangkan, kak. Mungkin saja kakak sudah melupakan semuanya, tapi tidak semudah itu untukku!” jawabku membuat air mataku mengalir lebih deras dan membasahi tangannya. Kak Ian ikut menangis dan memelukku.
            “Tidak, Grace. Tidak... aku juga masih belum lupa tentang itu, tapi ikhlaskan saja dan berhenti menyalahkan dirimu!” bentak Kak Ian memelukku erat erat sekali.
***
            “Apa? Aku? Yang benar?” tanyaku tidak percaya saat Kak Ian menceritakan sudah berapa lama aku tertidur. Kini, suasana sudah lebih tenang. Sungguh... bahkan sangat tenang. Tapi... serasa kosong... tanpa ada Papa dan Mama...
            “Masa kakak bisa membohongimu? Kakak tak pernah berbohong padamu, kan? Kamu sudah tertidur lebih dari seminggu,” jawabnya. Lama sekali? Selama itu kukira hanya 5 detik?! Singkat sekali...?
            Aku menengok ke kanan-kiri, seperti orang gelisah. Rasanya... ada yang kurang... “Teman-temanku tidak ada yang datang menjenguk?” tanyaku.
            “Teman-teman?” Kak Ian terdiam. Ia terlihat berpikir sejenak, mungkin mengingat-ngingat siapa saja yang menjengukku selama aku pinsgan. “Tidak. Hanya ada aku disini.”
            “Hah?! Masa tidak ada satu pun yang menjengukku? Satu pun?”
            “Tidak. Aku saja yang menjengukmu,” jawab Kak Ian santai. Izzztt... kemana dia saat aku pingsan begini?! Aku menggembungkan pipiku karena sebal, sama seperti biasanya. Kak Ian tertawa. Lamaaa... sekali. “Tidak, Grace. Kakak hanya bercanda. Yang kau tanyakan itu teman-teman? Atau orang itu?” goda kakak.
            “Aduh... orang itu siapa, kak?” aku menjawab sambil tersipu-sipu. Aku tahu sebenarnya, siapa yang dibicarakan kakak.
            “Sudahlah. Kenapa kau masih berakting di depan kakak? Ketahuan bohongnya,” kata kakak dengan nada ramah, “yang kakak maksud itu... Cloud. Benar, kan? Dia kan yang kau tanyakan? Iya iya. Dia menjengukmu. Bahkan setiap hari dia datang. Hari ini, dia janji akan datang. Tapi nanti pulang sekolah. Dan berhubung hari ini kakak masih mengambil cuti kuliah, kakak yang menjagamu seharian.”
            “Benarkah?! Ah… leganya…” jawabku keceplosan. Kak Ian hanya tertawa mendengar kalimatku yang seolah mengatakan, ‘untunglah Cloud tak melupakanku’. Memang semudah itukah dia melupakanku? Hahaha…
            Bunyi detik jarum jam membuat ruangan tempatku menginap di rumah sakit itu menjadi ramai. Kak Ian sedang mengupas buah apel di sampingku. Di tengah keheningan itu, aku mencoba mencairkan suasana. “Kak,” kataku, “kira-kira, kenapa namaku Grace ya?”
            Kak Ian berhenti melakukan aktivitasnya lalu memandangku lekat-lekat. Ia menggenggam tanganku dan berkata dengan lembut, “kenapa tiba-tiba kau menanyakan hal itu?”
            “Tak ada apa-apa. Aku hanya ingin tahu,” jawabku singkat tanpa memandang Kak Ian. Aku hanya memperhatikan ke atas, melihat lampu yang menyala terang.
            Kak Ian mendesah sesaat lalu menjawab pertanyaanku, “mungkin Mama dan Papa ingin kamu menjadi berkat bagi mereka?”
            “Kalau itu arti namaku…” kataku sambil menitikkan air mata, “kenapa aku malah menjadi orang yang menyebabkan mereka semua pergi?”
            Kak Ian segera bangkit dan memelukku. “Grace, jangan pernah mengatakan hal itu!” Ia membentak. “Ini semua bukan salahmu! Kecelakaan itu bukan salahmu! Ini semua takdir dan skenario yang dibuat Tuhan untuk menguatkan mental kita!”
            “Tapi… bukankah namaku Grace? Andai saat itu, aku tidak memaksa Papa dan Mama untuk mengantarku ke olimpiade itu…” kataku sambil menjatuhkan sebutir air mata lagi.
            Kak Ian dengan segera mengambil tissue dan menyeka tiap tetes air mataku yang membasahi pelupuk pipiku. Katanya, “sudahlah. Masa lalu ada bukan untuk dikenang, tapi untuk dijadikan sebagai referensi menuju masa depan. Sudahlah… ini semua bukan salahmu. Toh, kau juga jadi korban kecelakaan itu.”
            Kini, aku tak bisa berkata apa-apa lagi. Aku tak ingin membuat Kak Ian semakin sedih. Tapi jujur saja, perasaan bersalah itu masih saja berkecamuk di otakku. Seolah dunia berjalan melawanku dan menyalahkanku atas segala yang telah terjadi pada kedua orang tuaku. Aku hanya bisa mendesah panjang sambil membiarkan air mataku mengalir begitu deras meski telah kutahan sekuat tenaga supaya tak membuat Kak Ian ikut bersedih. Namun tiba-tiba… orang itu datang. “Grace? Kau… sudah sadar?” tanyanya.
            Kak Ian langsung tersenyum ketika dia datang menjengukku. Akupun segera menyeka air mataku dengan tanganku sendiri. “Cloud, kau sudah ditunggu Grace sedari tadi. Dia baru saja sadar hari ini. Kemana saja kau?” kata Kak Ian turut membuatku tersipu.
            Cloud tertawa kemudian berkata, “maaf aku sedikit terlambat karena ada rapat OSIS menyambut HUT sekolah. Maaf ya aku terlambat datang…”
            “Iya iya. Ayo duduk. Grace, kakak harus pergi ke kampus, mengambil tugas kuliah. Kan sudah seminggu kakak mengambil cuti. Sebentar ya… kakak akan kembali kurang dari dua jam,” kata Kak Ian terlihat sangat tergesa-gesa.
            Dengan cepat kugenggam tangannya dan tak kulepas untuk beberapa saat. “Jangan cepat-cepat. Pelan-pelan saja. Aku takkan menunggumu,” kataku dengan tatapan sendu.
            Seolah tahu apa yang kumaksud, Kak Ian membelai kepalaku sambil berkata, “iya, Grace. Takkan terjadi apa-apa padaku. Cloud, tolong jaga Grace sampai aku kembali.” Cloud mengangguk sambil tersenyum dan duduk di sampingku. Kak Ian tersenyum sesaat padaku lalu segera pergi meninggalkan ruangan kamarku.
            Kini tinggal aku dan Cloud sendirian di kamar itu. Rasanya… jadi salah tingkah bila begini keadaaannya. Ya ampun… tak pernah bisa kusangka, aku punya sahabat seperti Cloud yang mampu melakukan apa saja termasuk menjengukku di saat dunia melangkah maju menentangku. “Ini apel yang sedang dikupas kakakmu? Mau kukupaskan?” tawarnya. Aku mengangguk sambil tersenyum.
            “Bagaimana pelajarannya selama seminggu ini? Apa teman-teman merindukanku?” tanyaku dengan tatapan jahil, menggodanya yang sedang mengupas apel, memperhatikan kulit-kulit apel yang berjatuhan.
            “Yah… sayangnya, tidak ada yang merindukanmu,” katanya sambil memeletkan lidah dengan jahilnya. Aku menggembungkan pipiku seperti biasa dan dia tertawa, sama seperti halnya Kak Ian. “Tidak tidak, semuanya merindukanmu. Kelas jadi sepi kalau kau tak ada.”
            “Wah… aku tersanjung,” jawabku setengah malu, “kau juga merindukanku?” Jantungku berdegup kencang tak beraturan. Kumohon… jawab iya…
            “Tentu saja,” jawabnya, “tak ada yang bisa diajak bercanda.” Aku senang sekali! Hihi… ternyata Cloud, cowok yang satu ini, bisa ya merindukanku… “Nanti sore, Stella, Lily, dan Allen akan menjengukmu. Saat itulah aku harus pulang,” kata Cloud. Sedikit sedih… tapi tak apa deh. Toh, nanti ketiga sahabatku yang lain akan datang.
            “Ya sudah deh. Oh iya, pelajarannya susah ya minggu ini?” tanyaku. Cloud berpikir sejenak.
            “Lumayan sih. Ada ulangan sejarah mendadak beberapa hari yang lalu. Kalau aku tidak salah, hari Selasa. Oh iya, ulangan matematika minggu lalu sudah dibagi tadi pagi. Seperti biasa, kau mendapat nilai yang lumayan, meskipun masih di bawah nilai Allen. Hehehe…”
            “Hah? Aku dapat berapa? Allen dapat berapa?”
            “Kau dapat 96 sedangkan Allen perfect mark. 100,” kata Cloud. Ugh… kenapa selalu Allen yang tertinggi? Aku tahu, cowok yang satu itu memang perfect di segala bidang pelajaran. Sudah begitu, dia adalah ketua OSIS yang menjadi ace klub basket. Tapi, masa iya tidak ada orang yang dapat mengalahkannya sampai sekarang? Oh iya…
            “Kamu sendiri dapat berapa?”
            “Jangan ditanya deh. Aku remed. Hehe… dapat 67,” katanya, “toh aku memang paling benci pelajaran hitung menghitung.” Aku sontak tertawa mendengar fakta yang baru diucapkannya. Mata pelajarannya yang tak pernah bisa menang dari aku adalah matematika dan fisika. Memang kuakui dia lemah pada mata pelajaran hitung menghitung. Tapi bagaimanapun juga, cita-citanya menjadi seorang dokter sudah bulat. Itu berarti, dia harus mengambil jurusan IPA di SMA nanti. Sedangkan pada jurusan IPA, dia akan setiap saat bertemu dengan matematika dan fisika. Lama-lama, kasihan juga aku dengan anak ini. Hihi… “Nih apelnya. Akhirnya selesai juga,” katanya menyerahkan sebuah apel yang dari tadi cukup menguras tenaganya.
            Aku memandangi apel itu, apel yang semula bulat kini menjadi kotak. Bagaimana bisa dia mengupas apel menjadi kotak?! Hahaha… aku tertawa keras hingga ia bertanya-tanya ada apa. “Tidak bisa mengupas apel sudah sok jago mau mengupaskanku. Dasar…!” kataku. Diapun jadi ikut tertawa. Setidaknya saat itu, aku merasa tak sendirian di dunia ini. Meski kedua orang tuaku sudah tidak ada, kurasa itu bukan akhir segalanya. Masih ada sahabat dan kakak yang menyayangiku. Seharusnya, aku patut bersyukur, bukan?
***
            Akhirnya tiba waktunya untukku kembali bersekolah. Sekolah yang lama, tempat aku menuntut ilmu dengan banyak teman di sampingku. Syukurlah aku masih memiliki kalian. Selama ini, aku tak pernah merasa sendirian selama aku bersama kalian semua dan Kak Ian. Terima kasih karena selalu ada untukku, hanya hal itu yang dapat kusampaikan pada kalian…
Ketika aku melangkahkan kaki memasuki gerbang sekolah, seorang cowok sudah berlari lewat tengah lapangan lalu membawakan tasku. “Perlu bantuan, putri?” tanyanya membuatku tertawa.
“Kau ini sedang apa, Len? Aku tidak apa-apa. Aku hanya cedera tangan kan karena terjepit pintu mobil. Tidak terlalu parah hingga aku tak bisa membawa tas kok. Aku masih kuat kalau hanya membawa tas,” sahutku. Allen menyerahkan kembali tasku. Dasar… cowok yang satu ini masih saja terlihat ramah dan lucu.
Allen menemaniku bercerita sampai di pintu kelas. Satu kelas berbalik menatapku ketika aku menapakkan kakiku di lantai kelas. Semuanya tersenyum padaku dan berkata serempak, “selamat datang kembali, Grace…”
***
            Setelah terharu biru aku kembali ke kelas tempatku selama ini menuntut ilmu, ada juga ulangan-ulangan yang membuatku sedikit kelabakan. Karena seminggu aku tertidur dan tak terbangun, banyak pelajaran telah kutinggalkan. Huft… untunglah aku memiliki sahabat seperti Allen, Stella, Lily, dan tentunya… Cloud. Merekalah yang membantuku mengejar ketertinggalanku selama ini. Terima kasih… sahabat membuatku mengerti apa arti cinta yang sesungguhnya… kuharap, Mama dan Papa mengerti apa yang saat ini tengah kurasakan. Betapa bahagia aku masih memiliki cinta di dunia ini…
            Grace, begitulah namaku dipanggil. Maka dari itu, aku ingin semua orang merasa aku ini seperti berkat bagi siapapun yang mengenalku. Tapi ironisnya, aku masih merasa bahwa kedua orang tuaku meninggal karena ulahku. Masih saja belum kuterima kondisi yang menyalahkanku ini. Aku sungguh merasa sesak setiap kali memandang foto mereka berdua terpajang di sudut kamarku.
            “Hei,” seseorang mengagetkanku dan membuyarkan lamunanku yang mulai mengarah pada air mata, “melamun terus. Kenapa? Apa ada yang kau pikirkan? Kau masih memikirkan sesuatu yang tak penting lagi? Sesuatu yang seharusnya sudah kau lupakan? Benar, kan?”
            “Hmm… kau benar,” jawabku singkat sambil sekuat tenaga tersenyum.
            “Untuk apa kau masih menjadikannya beban? Kedua orang tuamu ingin kau bahagia. Sekarang, mereka di atas sedang melihatmu menyiksa dirimu sendiri dengan hal-hal seperti itu. Apa mereka tidak sakit dan sedih melihatmu seperti ini? Kau kira hanya kau yang sedih? Mereka pun juga sedih karena harus meninggalkanmu dengan beban berat seperti ini. Tapi Tuhan telah merencanakan seperti ini, maka terjadilah apa yang dikehendaki-Nya! Kau harus sadar akan hal itu, Grace,” bentak Cloud akhirnya menyadarkanku akan sesuatu yang penting. Bahwa setiap langkah dalam hidupku merupakan rancangan-Nya. Semua ini telah diatur dan takkan ada yang berubah, aku ikut maupun tidak ikut dalam kecelakaan itu. Semua ini… sudah digariskan…
            Seketika itu, aku kembali menitikkan air mata. Setidaknya sekarang, biarkanlah aku menangis untuk mengenang kembali masa-masa indah dimana mereka masih berada di sebelahku bukan menangis untuk kembali meratapi masa lalu. Aku berjanji takkan lagi menyalahkan diriku sendiri untuk hal yang tak penting seperti ini. Cloud… terima kasih kau telah hadir dalam hidupku dan mengubah pandanganku mengenai masa lalu. Terima kasih… “Menangislah sepuasmu… tapi berjanjilah, kau akan kembali tertawa setelahya…”
***
            Sejak kejadian itu, aku jadi mengagumi sosok Cloud dalam hidupku. Sesosok sahabat yang selalu ada untukku dalam kondisi apapun yang kualami. Atau mungkin bahkan lebih dari sahabat? Aku tak tahu. Yang jelas, perasaan ini asing bagiku. Sebuah perasaan yang membuatku bingung tak menentu ketika aku tak bisa membantunya dalam hal apapun. Perasaan yang membuatku ingin selalu dekat dengannya. Perasaan yang membuatku ingin melihatnya bahagia walaupun bukan bersamaku. Aku tak tahu apa arti perasaan seperti ini. Dan… aku benar-benar tak ingin mengetahuinya. Karena jujur, aku tak ingin merusak persahabatan di antara kita ketika aku mengetahui apa arti perasaan ini. Pasti akan ada yang berubah…
***
            “Kau menyukainya, Grace!” ujar Stella sambil memandangku dengan tatapan bersemangat. Ma… maksudnya? Aku selalu menyukainya sejak dulu…
            “Mmm… salah salah. Kau mencintainya,” kata Lily masih dengan nada bicaranya yang sok cool, berbeda dengan image aslinya yang cerewet. Mencintainya? Aku selalu mencintainya.
            “Atau bahkan… kau menyayanginya?” ujar Stella lagi.
            “Tunggu tunggu,” potongku, “kalian ini membicarakan apa? Aku menyukainya, aku mencintainya, dan aku juga menyayanginya. Lalu… apa perbedaannya dengan perasaan sebelumnya?”
            “Begini, Grace. Kurasa, kau tak mengerti perasaan asing ini. Kau mengerti istilah Love kan? Love isn’t a friendship. Yang kau rasakan saat ini adalah cinta, bukan persahabatan,” ujar Lily jadi sok British. Hah? Cinta? Aku jatuh cinta pada Cloud begitu?! Ini mustahil kan?!
            “Ti… tidak mungkin kan!” jawabku dengan wajah tersipu.
            Lily dan Stella saling berpandangan mata dan menggodaku. “Atau jangan-jangan… sebenarnya kau sudah menyukainya sejak lama, Grace. Hanya saja, kau tak pernah menyadarinya. Bagi gadis polos sepertimu, hal itu wajar saja terjadi,” ujar Stella dengan tatapan mematikan.
            “Sekarang aku ingin bertanya, apa kau merasa seperti ingin selalu berada di dekatnya?” tanya Lily.
            Aku terdiam sejenak lalu menjawab pertanyaan itu dengan wajah tersipu, “mmm… yaaa… sedikiiit…”
            “Nah! Itu tandanya, kau jatuh cinta pada Cloud,” ujar Lily jadi berjingkrak-jingkrak dengan Stella sambil memandangiku.
            “Jadi… aku mencintai Cloud…?”
***
            Ini yang kutakutkan. Sejak aku tahu aku jatuh cinta pada Cloud, aku jadi sedikit aneh terhadapnya. Setiap dia memandangku, aku selalu mengalihkan pandangan. Setiap dia menyapaku, aku selalu menjawabnya dengan cuek dan tak acuh. Setiap dia berbicara padaku, aku jadi salah tingkah. Aduh… “Apa yang seharusnya kulakukan?! Sudah kuduga aku akan berubah bila mengetahui perasaan apa ini sebenarnya!”
            Kak Ian malah tertawa saat aku bercerita tentang hal ini. Katanya, “wajar saja. Siapa yang tak berubah ketika tahu bahwa sahabat dekatnya kini menjadi cinta pertamanya? Aku bahkan sudah tahu sejak dulu bahwa kau mencintainya lebih dari sahabat.”
            Aku memiringkan wajahku dan memandang Kak Ian lekat-lekat. “Maksudnya? Bagaimana kakak bisa tahu?”
            “Jelas saja aku tahu. Wajahmu dan matamu seolah berkata bahwa kau mencintainya dan ingin melihatnya bahagia. Kau saja yang terlalu lambat untuk menyadarinya. Hal itu maklum saja terjadi bagi remaja seumuranmu. Maka dari itu, jaga perasaan itu. Toh Cloud adalah laki-laki yang baik. Tak apa bila nanti sudah waktunya kalian pacaran, aku memberikanmu padanya,” kata Kak Ian panjang lebar diselingi kekehan yang menyebalkan.
            “Ih… kakak! Kenapa jadi seperti pernikahan begini sih?!” bentakku sambil menutupi wajahku dengan kedua tanganku. Wajahku panas! Seperti terbakar! Ugh… sebel kakak bisa membuatku malu begini! Kak Ian hanya bisa tertawa lalu kembali mengerjakan proyek kuliahnya. Ugh… dasar…
***
            Pulang sekolah hari itu, langit terlihat mendung. Awan berkumpul di sekitar matahari, membuat sesosok bulatan merah itu menghilang ditelan gumpalan kapas. Aku melangkah maju hendak mengayuh sepedaku ditemani Allen dan teman-temanku yang lain. Namun, langkahku terhenti ketika melihat Cloud sedang berjalan berdampingan dengan seorang gadis yang aku tahu bernama Jessica. Aku segera mengambil langkah seribu menuju tempat Allen, lapangan parkir. “Maaf, Len. Kau pulang saja duluan. Aku masih ada urusan. Nanti menyusul…” kataku. Setelah berucap beberapa patah kata, aku segera berlari mencari Cloud dan Jessica.
Awan terlihat mulai banyak datang dan bergerombol di sekitar matahari, menandakan hari akan segera hujan. Tak apa aku membuntuti mereka. Daripada aku pulang dan mati penasaran? Aku berlari menyusuri lorong-lorong kelas namun tak dapat kutemukan mereka dalam jangkauan mataku. Aku berlari kian kemari dan tak kutemukan. Ketika kutemukan, mereka berada di lapangan basket. “Clou…”
“Aku tak bisa bila terus begini,” kata Jessica sambil menangis, “aku sudah lelah menjalani kisah cinta yang seperti ini. Lebih baik, aku minta putus saja…”
Perasaanku mengatakan akan ada sesuatu terjadi. Dadaku terasa sesak… seakan berjuta kembang api yang menyala ketika aku melihat senyummu telah hilang ditelan sangkakala cinta. Aku tak bisa mendengar ini. Hatiku sakit… terasa tersayat. Dan… seketika, aku kembali menangis… “Tidak, Jess. Kau tidak bisa memutuskannya begitu saja,” kata Cloud sambil memegang tangan Jessica. Kenapa? Kenapa kau tak pernah menceritakannya padaku, Cloud?!
“Cloud!!” teriakku membuat Jessica berhenti meronta dan Cloud memandangku dengan tatapan kaget dan tercengang. Dengan cepat, ia melepas pegangan tangannya. Aku tak mau melihatnya lagi! Aku segera berlari sekuat tenaga, menangis dan menjerit dalam hati… kenapa kau tega melakukannya di belakangku? Apa kau tak menganggapku sahabat lagi hingga kau tak menceritakan masalah ini padaku?!
“Tunggu, Grace! Kurasa kau salah paham dengan semua yang kau lihat. Aku bisa jelaskan,” katanya sambil berlari mengejarku. Ia mendapatkan tanganku dan menarikku, “apa yang kau lihat itu bisa kujelaskan!”
            “Aku tak butuh penjelasan apapun darimu! Yang perlu kau tahu, hanya satu. Ini merupakan ungkapan yang pertama dan akan jadi yang terakhir… I love you…” kataku lalu kembali berlari dalam derasnya air mata. Ia terdiam, tercekat sejenak. Lalu kembali mengejarku. Aku sudah setengah jalan di zebra cross, menuju lapangan parkir di seberang. Namun tiba-tiba…
            “Aku juga mencintaimu!” hah…? Aku berhenti sejenak lalu memutar badan hingga memandang Cloud. Ia akan mengucapkannya sekali lagi… ucapkan, Cloud… “Aku juga…”
            TIIINNN…! Bunyi klakson mobil menyadarkanku akan dunia kita yang nyata. Sebuah mobil dengan kecepatan tinggi bergerak maju ke arahku. A… apa yang harus kulakukan?! Aku memejamkan mata, berharap ini semua hanya mimpi. Dan ketika aku terbangun, aku akan bahagia karena Cloud kini telah menjadi pacarku. Bahagianya…
            BRAK! Suara benturan keras kini menyadarkanku kembali dari lamunanku. Dan di hadapanku… aku melihat Cloud mendorongku, hingga dirinya sendiri tertabrak. Aku terduduk lemas dan melihat dengan mata kepalaku sendiri, Cloud terkapar bersimbah darah. Dunia seolah berhenti, keadaan jadi serba hening, dan… air mataku mengalir deras tanpa ditemani rintihan dan jeritan dariku. Dengan sisa tenaganya, ia memegang tanganku dan berkata sambil tersenyum, “aku juga… mencintaimu. Ja…ngan salahkan dirimu… a…tas kejadian ini. Se…mua ini kulakukan karena a…ku mencintaimu. Berba…hagialah ketika a…ku tak ada nan…ti. I always… love… you…” Setelah mengucapkannya, tangannya terkulai lemas, tak lagi menggenggam tanganku. Mataku terbelalak dan tetap menangis. Dengan mata kepalaku sendiri, aku melihat orang yang kusayang lagi-lagi melakukan hal bodoh demi gadis sepertiku… setelah itu, aku tak ingat apa-apa lagi dan saat tersadar, aku sudah berada kembali di rumah sakit…
***
            “Ada temanmu menjenguk,” kata Kak Ian lalu mempersilahkan seorang gadis masuk. Aku dapat melihat Kak Ian menangis ketika meninggalkan kamar inapku. Aku tahu sebabnya. Sedari aku tersadar sampai saat itu, aku tak berbicara. Aku hanya bisa meneteskan air mata, tanpa tertawa, dan tanpa mengatakan apapun.
Seorang gadis yang aku tahu betul itu Jessica, melangkah masuk dan duduk di kursi sebelah ranjangku. Ia menangis seketika saat melihatku lalu menggenggam tanganku. Katanya, “Cloud meninggal di tempat, tak dapat diselamatkan. Bukan hanya kau, aku juga kehilangan sahabat seperti dia. Cloud adalah seorang laki-laki yang baik. Sudah sekian kalinya dia mendengarkan curhatku tentang Nicky, pacarku yang ada di luar kota. Hari itu, aku menceritakan masalahku pada Cloud. Maaf bila kau salah paham karenanya. Tapi percayalah… Cloud sangat sangat mencintaimu, bahkan sebelum kau menyadarinya. Kau beruntung memiliki pemuda seperti dia.”
Air mataku semakin deras menetes. Aku memandang Jessica dan berkata lirih dan pelan, “Cloud… mencintaiku? Benarkah?”
Jessica mengangguk dengan air mata di pelupuk pipinya. “Benar sekali. Maaf aku tak pernah mengatakannya padamu. Cloud sendiri yang melarangku mengatakannya padamu. Katanya, ia ingin mengatakannya sendiri dengan mulutnya bila saatnya tiba nanti. Ia bahkan rela mati demi kau. Bersyukurlah kau karena memiliki cinta seperti dia.”
Aku menangis dan terus menangis. “Kumohon… tinggalkan aku sendiri saat ini. I… need time…” kataku. Jessica menggenggam tanganku lalu memandangku sambil menangis. Ia berjalan menjauhiku.
“Tabahkan hatimu,” kata Jessica lalu membuka pintu kamar dan keluar. Keheningan menyelimuti kamarku. Kepedihan yang teramat sangat menghunjam jantungku.
Kali itu, aku hanya bisa menangis dan terus menangis… merintih dalam kesendirianku… Aku sadar akan satu fakta pahit yang tak dapat kupungkiri, bahwa aku telah kehilangan sesosok laki-laki yang selalu menghiburku dan mendengarkan curhatku… I always love you. Just you and only you…
            Saat ini, aku tidak menangis karena kau meninggalkanku. Aku menangis karena aku telah kehilangan sebuah pelita dalam hidupku yang dikirimkan Tuhan untuk membuatku bahagia. Satu hal yang tak mungkin kulupakan tentangmu adalah saat kau hadir dalam hidupku untuk ada bersama matahari yang kau berikan padaku.
           Grace… begitulah namaku disebut. Aku ingin menjad berkat bagi siapapun yang mengenalku. Tapi sekali lagi, aku tidak menjadi berkat bagi seseorang yang kucinta. Tapi aku percaya, aku telah menjadi salah satu bagian terindah dari kenangan yang dimilikinya. Aku bisa menghadapi kehilangan ini dengan ikhlas. Sebab oleh karenamu, aku mengerti satu hal… Masa lalu adalah pilihan yang kita lalui, sedangkan masa depan adalah pilihan yang kita tentukan. Kini, masa-masa indah itu takkan pernah terulang kembali walau aku menyalahkan diriku sebanyak apapun. Itu adalah masa lalu yang telah kulewati. Dan kini, saatnya aku untuk menjalani masa depanku dengan kenangan dan kekuatan yang telah kau berikan padaku…

~ THE END ~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar