Amazing Grace
By: Valeska Valkyrie
Aku,
seorang gadis dengan nama Grace, bertekad suatu hari nanti akan memberikan
kebahagiaan pada orang lain. Sama seperti namaku, aku ingin memberikan berkat
bagi orang lain, setidaknya supaya orang lain menganggapku sebagai berkat yang
dikirimkan Tuhan. Tapi... bukannya menjadi berkat, aku malah menjadi petaka
bagi orang yang kukasihi. Dan sekarang, setidaknya, kisah ini diperuntukkan
bagi dunia,
karena setidaknya setelah ia pergi, aku ingin berkisah dan bercerita tentang
seorang pemuda baik hati... yang dengan rela memberikan nyawanya hanya untuk
gadis sepertiku... Cloud namanya...
***
“Grace?”
Suara siapa itu? “Grace?! Bangun Grace!” Seseorang menggerak-gerakkan badanku,
mengguncang-guncangkan sebuah raga tanpa jiwa. Ugh... aku ingin membuka mataku
dan melihat siapa yang memanggil namaku. Namun... aku merasa berat
melakukannya, seolah aku berada di dunia lain dan dihalang tembok baja agar
bisa kembali lagi ke dunia asalku.
Suara
itu menghilang. Seolah lenyap ditelan waktu... dan yang kulihat setelah itu,
waktu seolah berputar lebih cepat 5 kali dari biasanya. hanya ada orang-orang
berlalu lalang tak jelas. Ada yang meletakkan seikat bunga di vas kosong, ada
yang melihat-lihat jam dan kalender, ada yang menatapku terus sambil
manggut-manggut kemudian tertidur. Dan... semua itu lama sekali... hingga
saatnya tiba...
Tit...
tit... tit... suara proyektor detak jantung itu berbunyi nyaring di telingaku. “Grace?”
sapa seorang laki-laki gagah di sampingku. Kakak? “Grace...?! Kamu sudah
sadar?! Syukurlah... dokter!” kakak berteriak meninggalkanku terburu-buru.
Kakakku tambah keren ya? Sudah berapa lama memangnya aku tertidur? Padahal baru
saja aku melihat semuanya berlalu cepat bahkan seperti 5 detik saja aku
tertidur. Seperti... tidak ada yang berubah. Kak Ian, seorang kakak yang baik
dan gagah, idolanya para gadis. Seorang ketua OSIS, bintang kelas, pujaan
banyak wanita, siapa coba yang tak iri denganku? Papa dan Mama p... un... Papa?
Mama? Oh... tidak. Selama apapun aku tidur, aku tak mungkin lupa dengan apa
yang baru saja terjadi.
“Grace...”
Kak Ian memasuki kamarku dengan dokter di sampingnya. Ia menyapaku dengan wajah
bertanya-tanya. “Ke... kenapa kau menangis, Grace?” Kak Ian menenggerkan
tangannya di pipiku. Basah... dan lembut...
“Aku...
tak bisa melupakan semuanya semudah yang kakak bayangkan, kak. Mungkin saja
kakak sudah melupakan semuanya, tapi tidak semudah itu untukku!” jawabku
membuat air mataku mengalir lebih deras dan membasahi tangannya. Kak Ian ikut
menangis dan memelukku.
“Tidak,
Grace. Tidak... aku juga masih belum lupa tentang itu, tapi ikhlaskan saja dan
berhenti menyalahkan dirimu!” bentak Kak Ian memelukku erat… erat sekali.
***
“Apa?
Aku? Yang benar?” tanyaku tidak percaya saat Kak Ian menceritakan sudah berapa
lama aku tertidur. Kini, suasana sudah lebih tenang. Sungguh... bahkan sangat
tenang. Tapi... serasa kosong... tanpa ada Papa dan Mama...
“Masa
kakak bisa membohongimu? Kakak tak pernah berbohong padamu, kan? Kamu sudah
tertidur lebih dari seminggu,” jawabnya. Lama sekali? Selama itu kukira hanya 5
detik?! Singkat sekali...?
Aku
menengok ke kanan-kiri, seperti orang gelisah. Rasanya... ada yang kurang...
“Teman-temanku tidak ada yang datang menjenguk?” tanyaku.
“Teman-teman?”
Kak Ian terdiam. Ia terlihat berpikir sejenak, mungkin mengingat-ngingat siapa
saja yang menjengukku selama aku pinsgan. “Tidak. Hanya ada aku disini.”
“Hah?!
Masa tidak ada satu pun yang menjengukku? Satu pun?”
“Tidak.
Aku saja yang menjengukmu,” jawab Kak Ian santai. Izzztt... kemana dia saat aku
pingsan begini?! Aku menggembungkan pipiku karena sebal, sama seperti biasanya.
Kak Ian tertawa. Lamaaa... sekali. “Tidak, Grace. Kakak hanya bercanda. Yang
kau tanyakan itu teman-teman? Atau orang itu?” goda kakak.
“Aduh...
orang itu siapa, kak?” aku menjawab sambil tersipu-sipu. Aku tahu sebenarnya,
siapa yang dibicarakan kakak.
“Sudahlah.
Kenapa kau masih berakting di depan kakak? Ketahuan bohongnya,” kata kakak
dengan nada ramah, “yang kakak maksud itu... Cloud. Benar, kan? Dia kan yang
kau tanyakan? Iya iya. Dia menjengukmu. Bahkan setiap hari dia datang. Hari
ini, dia janji akan datang. Tapi nanti pulang sekolah. Dan berhubung hari ini
kakak masih mengambil cuti kuliah, kakak yang menjagamu seharian.”
“Benarkah?! Ah… leganya…” jawabku
keceplosan. Kak Ian hanya tertawa mendengar kalimatku yang seolah mengatakan,
‘untunglah Cloud tak melupakanku’. Memang semudah itukah dia melupakanku?
Hahaha…
Bunyi detik jarum jam membuat
ruangan tempatku menginap di rumah sakit itu menjadi ramai. Kak Ian sedang
mengupas buah apel di sampingku. Di tengah keheningan itu, aku mencoba
mencairkan suasana. “Kak,” kataku, “kira-kira, kenapa namaku Grace ya?”
Kak Ian berhenti melakukan
aktivitasnya lalu memandangku lekat-lekat. Ia menggenggam tanganku dan berkata
dengan lembut, “kenapa tiba-tiba kau menanyakan hal itu?”
“Tak ada apa-apa. Aku hanya ingin
tahu,” jawabku singkat tanpa memandang Kak Ian. Aku hanya memperhatikan ke
atas, melihat lampu yang menyala terang.
Kak Ian mendesah sesaat lalu
menjawab pertanyaanku, “mungkin Mama dan Papa ingin kamu menjadi berkat bagi
mereka?”
“Kalau itu arti namaku…” kataku
sambil menitikkan air mata, “kenapa aku malah menjadi orang yang menyebabkan
mereka semua pergi?”
Kak Ian segera bangkit dan
memelukku. “Grace, jangan pernah mengatakan hal itu!” Ia membentak. “Ini semua
bukan salahmu! Kecelakaan itu bukan salahmu! Ini semua takdir dan skenario yang
dibuat Tuhan untuk menguatkan mental kita!”
“Tapi… bukankah namaku Grace? Andai
saat itu, aku tidak memaksa Papa dan Mama untuk mengantarku ke olimpiade itu…”
kataku sambil menjatuhkan sebutir air mata lagi.
Kak Ian dengan segera mengambil
tissue dan menyeka tiap tetes air mataku yang membasahi pelupuk pipiku.
Katanya, “sudahlah. Masa lalu ada bukan untuk dikenang, tapi untuk dijadikan
sebagai referensi menuju masa depan. Sudahlah… ini semua bukan salahmu. Toh,
kau juga jadi korban kecelakaan itu.”
Kini, aku tak bisa berkata apa-apa
lagi. Aku tak ingin membuat Kak Ian semakin sedih. Tapi jujur saja, perasaan
bersalah itu masih saja berkecamuk di otakku. Seolah dunia berjalan melawanku
dan menyalahkanku atas segala yang telah terjadi pada kedua orang tuaku. Aku
hanya bisa mendesah panjang sambil membiarkan air mataku mengalir begitu deras
meski telah kutahan sekuat tenaga supaya tak membuat Kak Ian ikut bersedih.
Namun tiba-tiba… orang itu datang. “Grace? Kau… sudah sadar?” tanyanya.
Kak Ian langsung tersenyum ketika
dia datang menjengukku. Akupun segera menyeka air mataku dengan tanganku
sendiri. “Cloud, kau sudah ditunggu Grace sedari tadi. Dia baru saja sadar hari
ini. Kemana saja kau?” kata Kak Ian turut membuatku tersipu.
Cloud tertawa kemudian berkata,
“maaf aku sedikit terlambat karena ada rapat OSIS menyambut HUT sekolah. Maaf
ya aku terlambat datang…”
“Iya iya. Ayo duduk. Grace, kakak
harus pergi ke kampus, mengambil tugas kuliah. Kan sudah seminggu kakak
mengambil cuti. Sebentar ya… kakak akan kembali kurang dari dua jam,” kata Kak
Ian terlihat sangat tergesa-gesa.
Dengan cepat kugenggam tangannya dan
tak kulepas untuk beberapa saat. “Jangan cepat-cepat. Pelan-pelan saja. Aku
takkan menunggumu,” kataku dengan tatapan sendu.
Seolah tahu apa yang kumaksud, Kak
Ian membelai kepalaku sambil berkata, “iya, Grace. Takkan terjadi apa-apa
padaku. Cloud, tolong jaga Grace sampai aku kembali.” Cloud mengangguk sambil
tersenyum dan duduk di sampingku. Kak Ian tersenyum sesaat padaku lalu segera
pergi meninggalkan ruangan kamarku.
Kini tinggal aku dan Cloud sendirian
di kamar itu. Rasanya… jadi salah tingkah bila begini keadaaannya. Ya ampun…
tak pernah bisa kusangka, aku punya sahabat seperti Cloud yang mampu melakukan
apa saja termasuk menjengukku di saat dunia melangkah maju menentangku. “Ini
apel yang sedang dikupas kakakmu? Mau kukupaskan?” tawarnya. Aku mengangguk
sambil tersenyum.
“Bagaimana pelajarannya selama
seminggu ini? Apa teman-teman merindukanku?” tanyaku dengan tatapan jahil,
menggodanya yang sedang mengupas apel, memperhatikan kulit-kulit apel yang
berjatuhan.
“Yah… sayangnya, tidak ada yang
merindukanmu,” katanya sambil memeletkan lidah dengan jahilnya. Aku
menggembungkan pipiku seperti biasa dan dia tertawa, sama seperti halnya Kak
Ian. “Tidak tidak, semuanya merindukanmu. Kelas jadi sepi kalau kau tak ada.”
“Wah… aku tersanjung,” jawabku
setengah malu, “kau juga merindukanku?” Jantungku berdegup kencang tak
beraturan. Kumohon… jawab iya…
“Tentu saja,” jawabnya, “tak ada
yang bisa diajak bercanda.” Aku senang sekali! Hihi… ternyata Cloud, cowok yang
satu ini, bisa ya merindukanku… “Nanti sore, Stella, Lily, dan Allen akan
menjengukmu. Saat itulah aku harus pulang,” kata Cloud. Sedikit sedih… tapi tak
apa deh. Toh, nanti ketiga sahabatku yang lain akan datang.
“Ya sudah deh. Oh iya, pelajarannya
susah ya minggu ini?” tanyaku. Cloud berpikir sejenak.
“Lumayan sih. Ada ulangan sejarah
mendadak beberapa hari yang lalu. Kalau aku tidak salah, hari Selasa. Oh iya,
ulangan matematika minggu lalu sudah dibagi tadi pagi. Seperti biasa, kau
mendapat nilai yang lumayan, meskipun masih di bawah nilai Allen. Hehehe…”
“Hah? Aku dapat berapa? Allen dapat
berapa?”
“Kau dapat 96 sedangkan Allen perfect mark. 100,” kata Cloud. Ugh…
kenapa selalu Allen yang tertinggi? Aku tahu, cowok yang satu itu memang perfect di segala bidang pelajaran.
Sudah begitu, dia adalah ketua OSIS yang menjadi ace klub basket. Tapi, masa iya tidak ada orang yang dapat
mengalahkannya sampai sekarang? Oh iya…
“Kamu sendiri dapat berapa?”
“Jangan ditanya deh. Aku remed.
Hehe… dapat 67,” katanya, “toh aku memang paling benci pelajaran hitung
menghitung.” Aku sontak tertawa mendengar fakta yang baru diucapkannya. Mata
pelajarannya yang tak pernah bisa menang dari aku adalah matematika dan fisika.
Memang kuakui dia lemah pada mata pelajaran hitung menghitung. Tapi
bagaimanapun juga, cita-citanya menjadi seorang dokter sudah bulat. Itu
berarti, dia harus mengambil jurusan IPA di SMA nanti. Sedangkan pada jurusan
IPA, dia akan setiap saat bertemu dengan matematika dan fisika. Lama-lama,
kasihan juga aku dengan anak ini. Hihi… “Nih apelnya. Akhirnya selesai juga,”
katanya menyerahkan sebuah apel yang dari tadi cukup menguras tenaganya.
Aku memandangi apel itu, apel yang
semula bulat kini menjadi kotak. Bagaimana bisa dia mengupas apel menjadi
kotak?! Hahaha… aku tertawa keras hingga ia bertanya-tanya ada apa. “Tidak bisa
mengupas apel sudah sok jago mau mengupaskanku. Dasar…!” kataku. Diapun jadi
ikut tertawa. Setidaknya saat itu, aku merasa tak sendirian di dunia ini. Meski
kedua orang tuaku sudah tidak ada, kurasa itu bukan akhir segalanya. Masih ada
sahabat dan kakak yang menyayangiku. Seharusnya, aku patut bersyukur, bukan?
***
Akhirnya tiba waktunya untukku
kembali bersekolah. Sekolah yang lama, tempat aku menuntut ilmu dengan banyak
teman di sampingku. Syukurlah aku masih memiliki kalian. Selama ini, aku tak
pernah merasa sendirian selama aku bersama kalian semua dan Kak Ian. Terima
kasih karena selalu ada untukku, hanya hal itu yang dapat kusampaikan pada
kalian…
Ketika aku melangkahkan kaki memasuki gerbang sekolah, seorang cowok
sudah berlari lewat tengah lapangan lalu membawakan tasku. “Perlu bantuan,
putri?” tanyanya membuatku tertawa.
“Kau ini sedang apa, Len? Aku tidak apa-apa. Aku hanya cedera tangan kan
karena terjepit pintu mobil. Tidak terlalu parah hingga aku tak bisa membawa
tas kok. Aku masih kuat kalau hanya membawa tas,” sahutku. Allen menyerahkan
kembali tasku. Dasar… cowok yang satu ini masih saja terlihat ramah dan lucu.
Allen menemaniku bercerita sampai di pintu kelas. Satu kelas berbalik
menatapku ketika aku menapakkan kakiku di lantai kelas. Semuanya tersenyum
padaku dan berkata serempak, “selamat datang kembali, Grace…”
***
Setelah terharu biru aku kembali ke
kelas tempatku selama ini menuntut ilmu, ada juga ulangan-ulangan yang
membuatku sedikit kelabakan. Karena seminggu aku tertidur dan tak terbangun,
banyak pelajaran telah kutinggalkan. Huft… untunglah aku memiliki sahabat
seperti Allen, Stella, Lily, dan tentunya… Cloud. Merekalah yang membantuku
mengejar ketertinggalanku selama ini. Terima kasih… sahabat membuatku mengerti
apa arti cinta yang sesungguhnya… kuharap, Mama dan Papa mengerti apa yang saat
ini tengah kurasakan. Betapa bahagia aku masih memiliki cinta di dunia ini…
Grace, begitulah namaku dipanggil.
Maka dari itu, aku ingin semua orang merasa aku ini seperti berkat bagi
siapapun yang mengenalku. Tapi ironisnya, aku masih merasa bahwa kedua orang
tuaku meninggal karena ulahku. Masih saja belum kuterima kondisi yang
menyalahkanku ini. Aku sungguh merasa sesak setiap kali memandang foto mereka
berdua terpajang di sudut kamarku.
“Hei,” seseorang mengagetkanku dan
membuyarkan lamunanku yang mulai mengarah pada air mata, “melamun terus.
Kenapa? Apa ada yang kau pikirkan? Kau masih memikirkan sesuatu yang tak
penting lagi? Sesuatu yang seharusnya sudah kau lupakan? Benar, kan?”
“Hmm… kau benar,” jawabku singkat
sambil sekuat tenaga tersenyum.
“Untuk apa kau masih menjadikannya
beban? Kedua orang tuamu ingin kau bahagia. Sekarang, mereka di atas sedang
melihatmu menyiksa dirimu sendiri dengan hal-hal seperti itu. Apa mereka tidak
sakit dan sedih melihatmu seperti ini? Kau kira hanya kau yang sedih? Mereka
pun juga sedih karena harus meninggalkanmu dengan beban berat seperti ini. Tapi
Tuhan telah merencanakan seperti ini, maka terjadilah apa yang dikehendaki-Nya!
Kau harus sadar akan hal itu, Grace,” bentak Cloud akhirnya menyadarkanku akan
sesuatu yang penting. Bahwa setiap langkah dalam hidupku merupakan rancangan-Nya.
Semua ini telah diatur dan takkan ada yang berubah, aku ikut maupun tidak ikut
dalam kecelakaan itu. Semua ini… sudah digariskan…
Seketika itu, aku kembali menitikkan
air mata. Setidaknya sekarang, biarkanlah aku menangis untuk mengenang kembali
masa-masa indah dimana mereka masih berada di sebelahku bukan menangis untuk
kembali meratapi masa lalu. Aku berjanji takkan lagi menyalahkan diriku sendiri
untuk hal yang tak penting seperti ini. Cloud… terima kasih kau telah hadir
dalam hidupku dan mengubah pandanganku mengenai masa lalu. Terima kasih…
“Menangislah sepuasmu… tapi berjanjilah, kau akan kembali tertawa setelahya…”
***
Sejak kejadian itu, aku jadi
mengagumi sosok Cloud dalam hidupku. Sesosok sahabat yang selalu ada untukku
dalam kondisi apapun yang kualami. Atau mungkin bahkan lebih dari sahabat? Aku
tak tahu. Yang jelas, perasaan ini asing bagiku. Sebuah perasaan yang membuatku
bingung tak menentu ketika aku tak bisa membantunya dalam hal apapun. Perasaan
yang membuatku ingin selalu dekat dengannya. Perasaan yang membuatku ingin melihatnya
bahagia walaupun bukan bersamaku. Aku tak tahu apa arti perasaan seperti ini.
Dan… aku benar-benar tak ingin mengetahuinya. Karena jujur, aku tak ingin
merusak persahabatan di antara kita ketika aku mengetahui apa arti perasaan
ini. Pasti akan ada yang berubah…
***
“Kau menyukainya, Grace!” ujar
Stella sambil memandangku dengan tatapan bersemangat. Ma… maksudnya? Aku selalu
menyukainya sejak dulu…
“Mmm… salah salah. Kau
mencintainya,” kata Lily masih dengan nada bicaranya yang sok cool, berbeda dengan image aslinya yang cerewet. Mencintainya? Aku selalu mencintainya.
“Atau bahkan… kau menyayanginya?”
ujar Stella lagi.
“Tunggu tunggu,” potongku, “kalian
ini membicarakan apa? Aku menyukainya, aku mencintainya, dan aku juga
menyayanginya. Lalu… apa perbedaannya dengan perasaan sebelumnya?”
“Begini, Grace. Kurasa, kau tak mengerti
perasaan asing ini. Kau mengerti istilah
Love kan? Love isn’t a friendship.
Yang kau rasakan saat ini adalah cinta, bukan persahabatan,” ujar Lily jadi sok
British. Hah? Cinta? Aku jatuh cinta
pada Cloud begitu?! Ini mustahil kan?!
“Ti… tidak mungkin kan!” jawabku
dengan wajah tersipu.
Lily dan Stella saling berpandangan
mata dan menggodaku. “Atau jangan-jangan… sebenarnya kau sudah menyukainya
sejak lama, Grace. Hanya saja, kau tak pernah menyadarinya. Bagi gadis polos
sepertimu, hal itu wajar saja terjadi,” ujar Stella dengan tatapan mematikan.
“Sekarang aku ingin bertanya, apa
kau merasa seperti ingin selalu berada di dekatnya?” tanya Lily.
Aku terdiam sejenak lalu menjawab
pertanyaan itu dengan wajah tersipu, “mmm… yaaa… sedikiiit…”
“Nah! Itu tandanya, kau jatuh cinta
pada Cloud,” ujar Lily jadi berjingkrak-jingkrak dengan Stella sambil
memandangiku.
“Jadi… aku mencintai Cloud…?”
***
Ini yang kutakutkan. Sejak aku tahu
aku jatuh cinta pada Cloud, aku jadi sedikit aneh terhadapnya. Setiap dia
memandangku, aku selalu mengalihkan pandangan. Setiap dia menyapaku, aku selalu
menjawabnya dengan cuek dan tak acuh. Setiap dia berbicara padaku, aku jadi
salah tingkah. Aduh… “Apa yang seharusnya kulakukan?! Sudah kuduga aku akan
berubah bila mengetahui perasaan apa ini sebenarnya!”
Kak Ian malah tertawa saat aku
bercerita tentang hal ini. Katanya, “wajar saja. Siapa yang tak berubah ketika
tahu bahwa sahabat dekatnya kini menjadi cinta pertamanya? Aku bahkan sudah
tahu sejak dulu bahwa kau mencintainya lebih dari sahabat.”
Aku memiringkan wajahku dan
memandang Kak Ian lekat-lekat. “Maksudnya? Bagaimana kakak bisa tahu?”
“Jelas saja aku tahu. Wajahmu dan
matamu seolah berkata bahwa kau mencintainya dan ingin melihatnya bahagia. Kau
saja yang terlalu lambat untuk menyadarinya. Hal itu maklum saja terjadi bagi
remaja seumuranmu. Maka dari itu, jaga perasaan itu. Toh Cloud adalah laki-laki
yang baik. Tak apa bila nanti sudah waktunya kalian pacaran, aku memberikanmu
padanya,” kata Kak Ian panjang lebar diselingi kekehan yang menyebalkan.
“Ih… kakak! Kenapa jadi seperti
pernikahan begini sih?!” bentakku sambil menutupi wajahku dengan kedua
tanganku. Wajahku panas! Seperti terbakar! Ugh… sebel kakak bisa membuatku malu
begini! Kak Ian hanya bisa tertawa lalu kembali mengerjakan proyek kuliahnya.
Ugh… dasar…
***
Pulang sekolah hari itu, langit
terlihat mendung. Awan berkumpul di sekitar matahari, membuat sesosok bulatan
merah itu menghilang ditelan gumpalan kapas. Aku melangkah maju hendak mengayuh
sepedaku ditemani Allen dan teman-temanku yang lain. Namun, langkahku terhenti
ketika melihat Cloud sedang berjalan berdampingan dengan seorang gadis yang aku
tahu bernama Jessica. Aku segera mengambil langkah seribu menuju tempat Allen,
lapangan parkir. “Maaf, Len. Kau pulang saja duluan. Aku masih ada urusan.
Nanti menyusul…” kataku. Setelah berucap beberapa patah kata, aku segera
berlari mencari Cloud dan Jessica.
Awan terlihat mulai banyak datang dan bergerombol di sekitar matahari,
menandakan hari akan segera hujan. Tak apa aku membuntuti mereka. Daripada aku
pulang dan mati penasaran? Aku berlari menyusuri lorong-lorong kelas namun tak
dapat kutemukan mereka dalam jangkauan mataku. Aku berlari kian kemari dan tak
kutemukan. Ketika kutemukan, mereka berada di lapangan basket. “Clou…”
“Aku tak bisa bila terus begini,” kata Jessica sambil menangis, “aku
sudah lelah menjalani kisah cinta yang seperti ini. Lebih baik, aku minta putus
saja…”
Perasaanku mengatakan akan ada sesuatu terjadi. Dadaku terasa sesak…
seakan berjuta kembang api yang menyala ketika aku melihat senyummu telah
hilang ditelan sangkakala cinta. Aku tak bisa mendengar ini. Hatiku sakit…
terasa tersayat. Dan… seketika, aku kembali menangis… “Tidak, Jess. Kau tidak
bisa memutuskannya begitu saja,” kata Cloud sambil memegang tangan Jessica.
Kenapa? Kenapa kau tak pernah menceritakannya padaku, Cloud?!
“Cloud!!” teriakku membuat Jessica berhenti meronta dan Cloud memandangku
dengan tatapan kaget dan tercengang. Dengan cepat, ia melepas pegangan
tangannya. Aku tak mau melihatnya lagi! Aku segera berlari sekuat tenaga,
menangis dan menjerit dalam hati… kenapa kau tega melakukannya di belakangku?
Apa kau tak menganggapku sahabat lagi hingga kau tak menceritakan masalah ini
padaku?!
“Tunggu, Grace! Kurasa kau salah paham dengan semua yang kau lihat. Aku
bisa jelaskan,” katanya sambil berlari mengejarku. Ia mendapatkan tanganku dan
menarikku, “apa yang kau lihat itu bisa kujelaskan!”
“Aku tak butuh penjelasan apapun
darimu! Yang perlu kau tahu, hanya satu. Ini merupakan ungkapan yang pertama
dan akan jadi yang terakhir… I love you…”
kataku lalu kembali berlari dalam derasnya air mata. Ia terdiam, tercekat
sejenak. Lalu kembali mengejarku. Aku sudah setengah jalan di zebra cross, menuju lapangan parkir di
seberang. Namun tiba-tiba…
“Aku juga mencintaimu!” hah…? Aku
berhenti sejenak lalu memutar badan hingga memandang Cloud. Ia akan
mengucapkannya sekali lagi… ucapkan, Cloud… “Aku juga…”
TIIINNN…!
Bunyi klakson mobil menyadarkanku akan dunia kita yang nyata. Sebuah mobil
dengan kecepatan tinggi bergerak maju ke arahku. A… apa yang harus kulakukan?!
Aku memejamkan mata, berharap ini semua hanya mimpi. Dan ketika aku terbangun,
aku akan bahagia karena Cloud kini telah menjadi pacarku. Bahagianya…
BRAK!
Suara benturan keras kini menyadarkanku kembali dari lamunanku. Dan di
hadapanku… aku melihat Cloud mendorongku, hingga dirinya sendiri tertabrak. Aku
terduduk lemas dan melihat dengan mata kepalaku sendiri, Cloud terkapar
bersimbah darah. Dunia seolah berhenti, keadaan jadi serba hening, dan… air
mataku mengalir deras tanpa ditemani rintihan dan jeritan dariku. Dengan sisa
tenaganya, ia memegang tanganku dan berkata sambil tersenyum, “aku juga…
mencintaimu. Ja…ngan salahkan dirimu… a…tas kejadian ini. Se…mua ini kulakukan
karena a…ku mencintaimu. Berba…hagialah ketika a…ku tak ada nan…ti. I always… love… you…” Setelah
mengucapkannya, tangannya terkulai lemas, tak lagi menggenggam tanganku. Mataku
terbelalak dan tetap menangis. Dengan mata kepalaku sendiri, aku melihat orang
yang kusayang lagi-lagi melakukan hal bodoh demi gadis sepertiku… setelah itu,
aku tak ingat apa-apa lagi dan saat tersadar, aku sudah berada kembali di rumah
sakit…
***
“Ada temanmu menjenguk,” kata Kak
Ian lalu mempersilahkan seorang gadis masuk. Aku dapat melihat Kak Ian menangis
ketika meninggalkan kamar inapku. Aku tahu sebabnya. Sedari aku tersadar sampai
saat itu, aku tak berbicara. Aku hanya bisa meneteskan air mata, tanpa tertawa,
dan tanpa mengatakan apapun.
Seorang gadis yang aku tahu betul itu Jessica, melangkah masuk dan duduk
di kursi sebelah ranjangku. Ia menangis seketika saat melihatku lalu
menggenggam tanganku. Katanya, “Cloud meninggal di tempat, tak dapat
diselamatkan. Bukan hanya kau, aku juga kehilangan sahabat seperti dia. Cloud
adalah seorang laki-laki yang baik. Sudah sekian kalinya dia mendengarkan
curhatku tentang Nicky, pacarku yang ada di luar kota. Hari itu, aku
menceritakan masalahku pada Cloud. Maaf bila kau salah paham karenanya. Tapi
percayalah… Cloud sangat sangat mencintaimu, bahkan sebelum kau menyadarinya.
Kau beruntung memiliki pemuda seperti dia.”
Air mataku semakin deras menetes. Aku memandang Jessica dan berkata
lirih dan pelan, “Cloud… mencintaiku? Benarkah?”
Jessica mengangguk dengan air mata di pelupuk pipinya. “Benar sekali.
Maaf aku tak pernah mengatakannya padamu. Cloud sendiri yang melarangku
mengatakannya padamu. Katanya, ia ingin mengatakannya sendiri dengan mulutnya
bila saatnya tiba nanti. Ia bahkan rela mati demi kau. Bersyukurlah kau karena
memiliki cinta seperti dia.”
Aku menangis dan terus menangis. “Kumohon… tinggalkan aku sendiri saat
ini. I… need time…” kataku. Jessica menggenggam tanganku lalu memandangku
sambil menangis. Ia berjalan menjauhiku.
“Tabahkan hatimu,” kata Jessica lalu membuka pintu kamar dan keluar.
Keheningan menyelimuti kamarku. Kepedihan yang teramat sangat menghunjam
jantungku.
Kali itu, aku hanya bisa menangis dan terus menangis… merintih dalam
kesendirianku… Aku sadar akan satu fakta pahit yang tak dapat kupungkiri, bahwa
aku telah kehilangan sesosok laki-laki yang selalu menghiburku dan mendengarkan
curhatku… I always love you. Just you and
only you…
Saat ini, aku
tidak menangis karena kau meninggalkanku. Aku menangis karena aku telah
kehilangan sebuah pelita dalam hidupku yang dikirimkan Tuhan untuk membuatku bahagia. Satu hal yang tak
mungkin kulupakan tentangmu adalah saat kau hadir dalam hidupku untuk ada bersama
matahari yang kau berikan padaku.
Grace… begitulah namaku disebut. Aku
ingin menjad berkat bagi siapapun yang mengenalku. Tapi sekali lagi, aku tidak
menjadi berkat bagi seseorang yang kucinta. Tapi aku percaya, aku telah menjadi
salah satu bagian terindah dari kenangan yang dimilikinya. Aku bisa menghadapi
kehilangan ini dengan ikhlas. Sebab oleh karenamu, aku mengerti satu hal… Masa lalu adalah pilihan yang kita lalui, sedangkan masa depan adalah
pilihan yang kita tentukan. Kini, masa-masa indah itu takkan pernah terulang
kembali walau aku menyalahkan
diriku sebanyak apapun. Itu adalah masa lalu yang telah
kulewati. Dan kini, saatnya aku untuk menjalani masa depanku dengan kenangan dan kekuatan yang telah kau
berikan padaku…
~ THE END ~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar