Antara Sahabat dan Kedisiplinan
By: Valeska Valkyrie
“Ayah!” rengek Dinda sepulang dari
sekolah. Aku yang sedang mengerjakan tugas kantor segera menghampirinya.
Aku mendekatinya dan berjongkok
untuk menghapus air matanya yang berderai. “Ada apa?” tanyaku lembut, “kenapa
Dinda menangis?”
“Rani, Yah! Rani membohongiku! Dia
jahat! Katanya, dia sayang aku. Dia ingin jadi sahabatku! Tapi kenapa ia
berbohong padaku? Bahkan kata Rendra, dia menjelek-jelekkanku tanpa
sepengetahuanku,” katanya sambil tetap menangis. Rani? Bukankah Rani adalah
sahabatnya?
Aku menenangkannya dan mengelap
peluh air mata yang turun dengan derasnya. Kugendong Dinda dan kuturunkan di
sebuah sofa empuk. Aku duduk di sebelahnya. “Kamu sahabatnya kan? Apa kamu
percaya dia? Kalau kamu tidak mempercayai berita yang kamu dengar dari Rendra,
jangan dengarkan berita aneh itu. Tetaplah mempercayai Rani,” ucapku. Dinda
memperhatikanku dengan seksama, bahkan air matanya tak menetes lagi. Ia
tersenyum dan mengangguk.
“Ya. Aku mempercayainya,” katanya.
Aku membalas senyumannya dan kemudian membetulkan kaca mataku yang melorot.
Dinda tetap memperhatikanku. Tiba-tiba, ia bertanya, “apa Ayah pernah punya
sahabat?”
Aku menatap matanya yang seolah
menginginkan jawaban dariku. Aku tersenyum sumringah dan mengangguk. “Tentu saja
pernah. Bahkan lika-liku kehidupan sepertinya ingin memisahkan kami.” Aku
memandang tatapan Dinda yang benar-benar dipenuhi perasaan penasaran. Aku
tertawa karenanya. “Mau mendengar kisahnya?” Dinda mengangguk dengan cepat. Aku
mendesah dan kembali menatapnya. “Kisah ini tercipta saat Ayah berumur 14
tahun. Tepatnya, di bangku kelas 3 SMP...”
21 tahun silam...
“Andiiii!!! Oper bolanya padaku!”
teriak Rico yang berseru padaku. Aku yang menggiring bola sepak di lapangan
hijau itu tersentak oleh suaranya yang nyaring. Spontan, aku menoleh ke arahnya
dan memberikan bola di kakiku padanya. Ia menerimanya dengan tanggap dan segera
berlari menuju gawang lawan. Ayo, Rico! Waktunya tinggal setengah menit lagi!
Tepat saat waktu menginjak ¼ menit
terakhir, Rico berada tepat di depan gawang lawan, bersiap untuk menembakkan
bola terakhir di pertandingan yang saat itu berangka seri 2-2. “Ayo, Ric! Kau
pasti bisa! Tendang si botak itu dan mencetak kemenangan bagi SMP kita!”
teriakku dan kawan-kawan memberi dukungan untuknya. Ia segera menembakkan
serangan terakhir, dan... gol! Bola itu memasuki gawang! Dengan ini, point
menjadi 3-2! Point terakhir untuk pertandingan terakhir bagi tim sepak bola
kelas 9.
“Kau hebat, Ric! Memang pantas
menjadi kapten kami,” kata Rizal, kiper di tim kami. Ia mengacak-acak rambut
Rico dan Rico tertawa. Aku hanya bisa memandangi mereka. Rico menghampiriku.
“Operanmu bagus, Di! Thanks ya!”
katanya. Aku tersenyum. Kami berdua adalah sahabat yang akrab sejak ia masuk di
SMP ini. Rico adalah pindahan dari kota tetangga. Pertama kali memasuki SMP ini
di kelas 7, ia tidak punya teman dan selalu menyendiri. Makanya, aku
mendekatinya dan menjadi sahabatnya. Bahkan sampai sekarang...
Aku dikenal sebagai siswa yang
pintar dan menjadi juara kelas. Sedari kelas 7 sampai sekarang, aku tetap
menjadi nomor satu di antara yang lainnya. Sedangkan Rico? Tidak, ia tidak
mengikutiku. Ia menjadi anak terbandel dan anak yang berkasus. Berkali-kali ia
membuat guru jengkel karena tingkahnya. Apalagi karena gerombolannya yang
salah. Sudah berkali-kali aku memperingatkannya, tapi tak didengarnya. Saat aku
menceramahinya dengan segala nasihat baikku, ia hanya berkata, “iya, Pak. Kalau
saya ingat, saya akan berubah.” Setelahnya...? Ya, seperti kata kebanyakan
orang tua yang mendidik anak bandelnya. Masuk telinga kanan, keluar telinga
kiri. Ia tak pernah mendengarkannya dengan serius.
Saat pelajaran matematika...
“Psst... Di, kau sudah kerja PR?” tanyanya sambil berbisik ke arahku. Aku yang
saat itu sedang duduk di bangku paling depan, mendengarkan Bu Susan menerangkan
kesebangunan dan kongruensi, mau tak mau harus menoleh ke arah sahabatku itu
yang duduk di bangku pojok belakang. Berkali-kali aku mengajaknya untuk duduk
bersamaku di bangku depan, ia ngotot tidak mau. Katanya, ia bisa tidur puas di
bangku pojok.
“Sudah. Kenapa? Mau pinjam?” tanyaku
dengan wajah jengkel. Ini bukan pertama kalinya ia meminjam PR matematikaku.
Mungkin sudah... ke-99 kalinya. Sudahlah. Tak terhitung... Ia mengangguk dengan
senyum tak berdosa. Aku yang memang merasa jengkel karena ulahnya lagi-lagi mau
tak mau memberikan
PR matematika yang sudah susah payah kukerjakan sampai mengganggu waktu
tidurku. Kalau bukan karena ia sahabatku satu-satunya, aku takkan membantunya!
Untunglah ia masih sahabatku... Kejadian pinjam meminjam PR itu berlangsung
berkali-kali.
Saat pelajaran sastra... Terdengar
dengkuran keras seseorang dari bangku pojok belakang. Bangku kesukaan Rico dan
masih didudukinya. Pak Randy adalah guru sastra yang tidak mentolerir adanya
pelanggaran dalam kelas. Ia segera mendekati Rico dan memandanginya sambil
membawa tongkat papan. “RI-CO! Keluar kamu dari kelas saya! SE-KA-RANG!” bentak
Pak Randy. Bentakan itu membuat Rico terbangun. Ia malah menyahutnya dengan...
“Eh... apa, Pak?” tanyanya linglung
seperti orang bodoh. Aku ingin tertawa karena tingkahnya, tapi tak bisa karena
menahan malu. Apalagi...
“Hei, Andi,” kata Rita yang ada di
sebelahku, juara kedua, “itu sahabatmu? Tak disangka, Rico yang berkasus kau
pilih menjadi sahabatmu. Kau salah pilih, Di.” Aku hanya bisa menatap lurus
pada papan tulis tanpa menatap Rico yang sedang dihajar habis-habisan oleh Pak
Randy. Alhasil, tak lama setelahnya, Rico sudah berdiri dengan satu kaki di
depan kelas. Aku tak bisa menatap wajah orang-orang yang memandangku sebagai
“sahabatnya Rico”. Sepanjang pelajaran, aku menunduk sambil tetap mendengarkan
penjelasan Pak Randy tentang iklan dan sebagainya. Tak tahulah apa artinya.
Hari itu, aku benar-benar merasa galau...
Saat pelajaran IPA... “Andi!”
katanya berusaha menyaingi keramaian yang tercipta di laboratorium berhiaskan
tengkorak itu. Ia mendekatiku dan menarikku menuju tempat sepi. Di kelas memang
sudah banyak anak yang datang. Jadi agak susah untuk berkomunikasi satu sama
lain. “Hei, kau mau membantuku kan?” tanyanya. Ia mengedipkan sebelah matanya.
Ya, aku tahu apa artinya itu. Ia ingin meminta bantuanku supaya dia bisa bolos
dengan nyaman. Sering sekali ia melakukannya. Bolos di tengah pelajaran.
“Hari ini, apa alasannya?” tanyaku
dengan wajah kesal. Ia malah tertawa.
“Jangan
bermuram durja begitu. Besok, aku janji tidak bolos. Tapi mungkin, besok lusa,
aku bolos lagi,” katanya dengan sangat enteng dan kemudian disusul dengan suara
tawa. “Hari ini, bilang saja aku sedang tidak enak badan dan izin pulang
cepat.” Aku mengangguk mengiyakan permintaannya. Sabar, Di... dia sahabatmu.
Sabar...
Saat pelajaran IPS... “Pssst...!
Andi!” katanya berbisik padaku. Aku tak menoleh padanya. Aku tetap fokus pada
ulangan mendadak yang diadakan Bu Prisca. Sebenarnya, aku mendengar bisikannya
itu. Aku tahu tindakannya yang seperti itu. Rico yang tidak pernah belajar itu
pasti ingin meminta jawaban padaku. Bukan sekedar jawaban. Tapi semua jawaban
dari soal itu. Ugh... Aku ingin menolongnya, tapi kalau kubantu, berarti aku
bukan teman yang baik. Kalau tidak kutolong... kasihan dia... Biarlah! Ia harus
berusaha. Berpikir memeras otak! “Psst... Andi! Hei!” Ia tetap
memanggil-manggil namaku, membuat Bu Prisca menoleh padanya dan padaku secara
bergantian. Ia menampakkan senyum.
“Andi,” ucapnya sambil menatapku.
Aku sontak menatapnya. “Rico memanggilmu,” katanya sambil tertawa memandang
Rico. Aku tetap mengerjakan soal ulangan di depan mataku tanpa menghiraukan
teman-teman sekelas menatap Rico dan menertawakannya. Aku malu menjadi sahabatnya...
Aku takkan membahas perlakuan kurang
ajarnya di berbagai kelas. Karena... sudah banyak tingkahnya yang aneh. Mungkin
aku sudah sebagian lupa. Dan yang kuingat hanya itu. Sudahlah. Bicara tentang
kasus, pernah sewaktu waktu, aku terlibat kasus karenanya.
“Apa yang kamu lakukan, Rico!
Memanjat pagar belakang sekolah saat pelajaran PPKN adalah hal yang kurang
ajar! Dan kamu juga, Andi!” kata Bu Rini menatapku. Bu Rini adalah guru bagian
tata tertib di SMP Harapan Bangsa ini. Dan ia memiliki sifat yang sama dengan
Pak Randy, tidak akan berbelas kasihan meski yang berbuat salah itu adalah
anaknya sendiri. Ia menatapku lekat-lekat dengan tatapan tajam dan tangan
mengepal, seperti harimau yang siap menerkamku. “Tak kusangka, Andi yang selama
ini dibanggakan malah akan jadi rusak seperti ini!”
“Maaf, Bu. Saya benar-benar
menyesal...” kataku dengan nada sendu, berharap aku segera dimaafkan. Aku juga
menundukkan kepala menunjukkan rasa penyesalan yang teramat sangat kurasakan.
Aku tidak ingin turun pangkat dari “anak teladan” menjadi “salah pergaulan”.
Rico malah tertawa melihat tingkahku yang gelagapan karena ulahnya.
“Kamu kenapa, Rico?! Saya rasa, Andi
sudah menunjukkan penyesalannya. Kenapa kamu malah tertawa dengan tak bersalah
dan tanpa ada rasa penyesalan?!” bentak Bu Rini ke arahnya. Aku tetap menundukkan
kepala. Bu Rini menyeret Rico menjauhiku. Mereka berbicara berdua. Sekitar 10
menit kemudian, Rico meninggalkan kami berdua di tempat itu, tinggal aku dan Bu
Rini. Ia mendekatiku yang masih dengan posisi kepala menunduk. “Andi, Ibu rasa,
kamu salah pilih teman. Jangan sampai Rico yang bandel dan berkasus itu merusak
pendidikanmu. Cari teman yang pantas untukmu. Jangan Rico. Dia pasti akan
membawa dampak buruk untukmu,” kata Bu Rini menasihatiku. Kurasa, perkataannya
benar. Tapi, aku harus bagaimana? Aku takut mengatakannya pada Rico. Aku
menghampiri Rico dan menyatakan bahwa kita berdua tak pantas bersahabat? Apa
seperti itu? Aku bukan tipikal nekat seperti Rico. Aku adalah tipikal orang
yang berpikir panjang sebelum mengambil keputusan.
Tak
lama setelah mendapat ceramah dari Bu Rini, aku kembali ke kelas dengan wajah
sedih dan bingung. Apa yang harus kulakukan?
Sejak saat itu, aku sedikit menjauhi
Rico dan menjadi lebih dekat dengan saingan terberatku, Rita. Ia yang selalu
duduk di sampingku lambat laun menjadi sahabat karibku. Ya, mungkin aku harus
mendekati Rita dan menjauhi Rico. Tapi, ada yang berbeda. Pandanganku dan Rita
dalam suatu permasalahan, selalu menemui jawaban yang sama. Berbeda dengan
kami, jawaban Rico pasti tidaklah se-ilmiah pemikiran kami. Tapi, aku merasa
aneh. Aku dipenuhi sebuah pemikiran. Seperti pemikiran bahwa... “aku lebih suka
cara Rico menunjukkan pemikiran spontan dalam dirinya dengan gaya khasnya,
tidak dibuat-buat karena pemikiran itu langsung dari dalam dirinya”. Mungkin,
itulah yang kusuka dari Rico. Makanya, ia selalu bisa membawa keceriaan bagiku.
Tapi aku tidak bisa menerimanya sebagai “teman yang pantas”, seperti kata Bu
Rini.
Sudah seminggu berlalu.
Kuperhatikan... sepertinya, Rita adalah gadis yang cantik. Aku sedikit terpikat
padanya. Kenapa aku tak pernah melihatnya sedari dulu? Mungkin karena aku ini
culun di pandangan orang lain. Terlalu memikirkan pelajaran dan pertemanan.
Hubunganku dengan Rico pun sedikit merenggang. Ia tak lagi meminta bantuanku,
seperti saat mencontek dan membolos. Tapi anehnya, ia juga semakin mendekati
Rita. Sebenarnya, aku sedikit cemburu karena Rita juga dekat dengannya. Ah...
kenapa ia melakukan itu? Apa ia akan merebut Rita dariku?
Hubungan kami bertiga seperti ini
adanya. Sampai pada hari ujian tengah semester. Seperti biasa, aku duduk di
bangku paling depan dan Rico di bangku pojok belakang. Sedangkan Rita berpindah
bangku. Ia pindah ke bangku belakang di samping Rico. Memang kuakui Rico tampan
dan cocok bila disandingkan dengan Rita. Tapi, apa Rita juga akan dirusaknya?
Mata
pelajaran matematika. Rita memang paling jago dalam hal ini. Berkali-kali
kudengar saat ujian berlangsung, Rico mengancam Rita lewat bisikan. “Pssstt...
Rit, jawaban dan cara no. 2 apa?” tanyanya. Rita tak mau menjawabnya dan
kembali berfokus pada ujian. Rico berbisik sekali lagi, “Rit! Kau ini jahat
sekali! Masa meminta begitu saja tidak kau beri?” Rita dengan terpaksa
memberikan jawabannya pada Rico yang kerjanya hanya bisa mencontek pada ujian
itu. Aku sudah tak tahan dengan sikapnya yang kekanakan!
Sepulang sekolah di hari terakhir
ujian, aku berbicara berdua dengannya di lapangan basket belakang sekolah.
“Hei, Ric, kau mengancam Rita di ujian matematika kan?” tanyaku setengah
membentak, “oh tidak. Lebih tepatnya, di semua mata ujian. Benar kan?!”
“Tidak. Apa buktimu menuduhku
seperti itu?” jawabnya malah balik bertanya.
“Aku memang tak punya bukti apapun.
Tapi aku mendengarnya, Ric! Sudah! Jangan perlakukan Rita seenaknya! Ia takut
diancam olehmu!” kataku membela Rita. Kasihan dia jika harus setiap hari
meladeni ulah Rico yang mulai menjadi buas.
“Oh... rupanya, kau sekarang sudah
bisa menjadi pahlawan ya. Atau jangan-jangan...” ia berhenti sejenak dan
tertawa, kemudian melanjutkan perkataannya, “kau suka pada Rita?”
“Memang kenapa? Itu bukan urusanmu!”
kataku. Ia malah tertawa lebih keras. Aku memasang wajah jengkel. Ya, sudah tak
tahan aku melihat sikap meremehkannya itu.
“Oh ya? Bagaimana jika Rita kuambil
darimu? Kurasa, ia lebih tertarik padaku daripada dirimu,” katanya tambah
membuatku seakan berada di dapur penuh kompor. Panas!
“Jangan kurang ajar kamu, Ric!”
kataku mulai memukul Rico. Aku sudah tak kuat menahan segala penat yang
kusimpan sedari dulu hingga sekarang. Ia selalu memperbudakku untuk menjalankan
aksi kekanakannya itu. Ia bukanlah murid yang baik. Ia juga bukan murid yang
buruk. Ia adalah murid yang hancur!
Ia memegangi tepian bibirnya yang
mulai berdarah. Dengan gerakan cepat, ia memukulku dan menyebabkanku jatuh
tersungkur ke tanah. Ia mencengkeram kerah seragamku. “Jangan macam-macam kau!
Kau memang sahabatku, tapi jangan harap aku mengasihanimu. Kau sudah mencari
gara-gara dengan memukulku barusan. Maka kau akan habis di tanganku!” Ia
kembali memukulku hingga kaca mataku terlempar. Saat ia hendak meluncurkan
serangan ketiga, Bu Rini diikuti Pak Ravi, pelatih basket yang bertanggung
jawab atas lapangan yang sedang kugunakan untuk bergelut-ria dengan Rico, dating menghampiri kami.
Bu Rini membantuku membersihkan seragam dan merapikan kaca mataku sedangkan Pak
Ravi membantu Rico meredakan amarahnya.
“Apa yang kau lakukan, Rico?!” bentak
Bu Rini. Rico tetap melotot ke arahku. Membuat nyaliku semakin ciut. Tak
kusangka semua akan jadi begini.
“Dia yang mulai memukulku duluan,
Bu!”
“Tidak! Dia berbohong!” kataku.
Ah... Apa yang kukatakan?! Aku yang memukulnya, kenapa aku berbohong?! Rico
terdiam, memandangku tak percaya. Aku menundukkan kepala, merasa bersalah.
Tapi, apalah artinya itu?
“Rico, kamu memang anak bandel! Saya
sudah merasakannya sedari awal kalian berteman. Kalian memang tidak cocok. Rico
yang berada di dunia berandalan bersahabat dengan Andi yang berada di dunia
ilmiah dan logika. Kalian sama sekali tidak bisa bersahabat!” bentak Bu Rini
seolah membuatku terhenyak. “Kau bukanlah sahabat yang baik untuk Andi!”
Rico dan aku menundukkan kepala saat
digiring menuju ruang kepala sekolah. Rico membisikkan sesuatu kepadaku. “Apa
kau merasa yang dikatakan Bu Rini itu benar?” Aku tetap menundukkan kepala
tanpa menjawabnya. Rico memandangku sedih. Ia kemudian berbisik lagi, “baiklah.
Aku akan menjauhimu dan kau jauhi aku.”
Semenjak saat itu, kita tak lagi
bertegur sapa. Bahkan berbicara satu sama lain pun tak pernah. Kami seperti
sedang perang dingin. Hari itu, penyelesaian masalahnya berakhir dengan damai.
Rico mendapat hukuman “membersihkan seluruh toilet sepulang sekolah setiap hari
selama satu minggu”, dan aku mendapat hukuman “membantu Bu Rini menilai hasil
ujian seluruh murid selama satu minggu”. Hukuman yang benar-benar tidak adil,
dan kupikir Rico juga berpikir sama denganku. Sesuai perintah, kami
menghabiskan waktu bersantai kami karena harus menjalankan hukuman. Menurutku,
hukuman yang kuterima sangat menguntungkan dan aku menikmatinya. Bisa belajar
sambil mengobrol dengan Bu Rini yang ternyata tidak sekejam perkiraan anak-anak
yang lain. Berbeda denganku, mungkin hukuman yang diterima Rico sangat kejam.
Setiap hari sepulang sekolah, Rico harus bergelut dengan bau kamar mandi yang
menyengat hidung dan bisa mengakibatkan rusaknya indera penciuman kita. Ugh...
tak sanggup aku membayangkannya.
“Lalu, Ayah dan teman Ayah itu bermusuhan
sampai hari ini?” tanya Dinda saat menyimak ceritaku dengan seksama. Aku
menggeleng dengan senyuman menyungging.
“Tentu saja tidak. Masih ada
kelanjutannya...” kataku. Aku kembali meneruskan ceritaku.
Beberapa bulan telah berlalu sejak pertengkaran
sengit itu. Aku dan Rico tetap tak berbicara satu sama lain. Ia juga sering
bolos tanpa sepengetahuanku, tanpa minta bantuanku. Tak pernah meminjam PR
padaku. Juga tak pernah menggangguku saat ulangan. Seharusnya, aku suka jika
tak diganggu seperti itu lagi. Tapi, kenapa aku malah jadi sedih dan kesepian?
Aku memutuskan untuk mengajak Rico
mengobrol berdua. “Ada apa? Apa aku melakukan hal yang salah padamu? Kalau
benar, aku minta maaf,” katanya tanpa menatap mataku. Aku risih akan hal itu.
Aku tetap terdiam. Aku tak bisa berkata. Hubungan kami jadi sedingin ini.
Aku... aku menyesal telah membencimu hanya karena kamu anak yang bandel. Aku
seharusnya menjadi sahabat yang baik bagimu. Selalu mengingatkan kesalahanmu,
selalu membuatmu kembali ke jalan yang benar, selalu menuntunmu menuju
kesuksesan. Bukan malah pergi saat kau hancur. Aku bukan sahabat yang baik.
Makanya, aku kesal pada diriku sendiri. Aku membenci diriku yang tidak setia
kawan ini! Tiba-tiba, setitik air mata jatuh membasahi pipiku dan menetes ke
tanah yang kering. Rico melihatnya. “Di, kau kenapa? Ada apa? Kenapa kau
menangis?” tanyanya dengan cepat dan nada panik, “apa ada seseorang yang
mengganggumu? Beritahu aku, siapa orang itu. Dia akan mati di tanganku.” Aku
memeluknya. Kaca mataku basah karena derasnya air mata kesedihan yang tak bisa
kutahan.
“Maafkan aku, Ric. Aku bukan sahabat
yang baik untukmu. Seharusnya, aku sebagai sahabatmu lah yang akan membimbingmu
menuju kebenaran, bukan malah meninggalkanmu saat kau sedang hancur seperti
ini. Maafkan aku. Aku memang sahabat yang sangat buruk,” kataku sambil
memejamkan mataku. Mungkin aku takkan dimaafkan Rico karena pengkhianatanku
ini. Yang jelas, aku sudah meminta maaf dan entah karena apa, perasaanku menjadi
sangat lega. Rico terdiam tak membalas pelukanku. Aku sadar diri dan segera
melepas pelukanku. Mungkin memang tak ada lagi pintu maaf bagiku... Sudahlah.
Ini adalah suatu pengalaman tak terlupakan untukku. Aku berjalan menjauhi Rico.
Tapi kemudian...
“Mau kemana kamu, Di? Aku akan
menemanimu. Bukankah kita... sahabat?” tanya Rico dengan tersenyum. Saat
mendengar kata-katanya, aku percaya tidak percaya ia mau memaafkanku. Aku
menoleh padanya dan berlari memeluknya sekali lagi. Kali ini bukan dengan
tangisan, tapi dengan senyuman. Senyuman lega yang melampiaskan segala bentuk
perasaan. Dari lega, senang, dan bahagia.
Ujian terakhir... Ujian Nasional
yang akan menjadi standar kelulusan kami, para siswa kelas 9. Huft... akhirnya
datang juga. Aku sudah siap. Latihan setiap hari ditemani Rico telah menempa
diriku menjadi seorang siswa yang cerdas. Aku pasti bisa! Aku memandang Rico.
Rico kini duduk di sebelahku, di bangku yang sering ditempati Rita. Ia begitu
serius mengerjakan soal UNAS. Ia juga tidak lagi tertidur, membolos, ataupun
mencontek saat pelajaran sedang berlangsung. Ia benar-benar sudah kembali ke
jalan yang benar sekarang.
Hari kelulusan. Aku lulus dengan
nilai yang amat baik dan nyaris sempurna, sedangkan Rico berhasil lulus dengan
nilai yang memuaskan. Yang terpenting baginya bukanlah nilai tapi... “yang
penting, aku sudah lulus”. Semua akan berakhir setelah hari kelulusan ini, atau
istilahnya hari pelepasan. Rico akan pergi ke luar kota untuk melanjutkan
pendidikan SMA. Di hari kelulusan itu, tawa bercampur tangisan mengantar kami
menuju kehidupan yang lebih dewasa lagi...
Yang kupelajari dari persahabatanku
dengan Rico bukanlah kebandelan ataupun ketidakdisiplinan Rico. Yang kudapat
darinya adalah:
1.
Setiap ada kemauan,
kita pasti bisa berubah menjadi lebih baik.
2.
Pengalaman menempa kita
menjadi orang yang sukses di masa mendatang.
3.
Sahabat akan selalu ada
saat orang lain membutuhkannya.
4.
Orang yang tidak
disiplin bukan berarti orang yang hancur dan harus dijauhi. Malah mereka adalah
orang yang butuh bimbingan dan kasih sayang dari orang lain.
5.
Kesetiakawanan dan
kepercayaan adalah hal terpenting dalam suatu persahabatan.
6.
Ketidakdisiplinan akan
menempa kita menjadi orang yang lebih baik dari sebelumnya.
“Lalu, Om Rico sekarang dimana?”
tanya Dinda. Aku mengangkat bahu.
“Ia tak mau menyebutkan alamat
rumahnya. Tapi yang jelas sekarang, ia sudah ada di Jakarta. Dan sudah menjadi
orang sukses seperti Ayah,” jawabku. Dinda tersenyum ke arahku.
“Aku akan memaafkan Rani. Aku
percaya, dia takkan melakukannya. Aku takkan meninggalkannya dan akan
membuatnya bertobat!” kata Dinda sambil tertawa kecil menuju kamarnya.
Sedangkan aku tetap di tempat. Menatap langit-langit rumah sambil membetulkan
kaca mata. Setelahnya, aku mengambil sebuah buku bertuliskan:
Fenomena Alam di
Berbagai Negara
By: Rico Aditya
Setiawan
Blog: www.ricofansclub.com
Ya, Rico sekarang sudah menjadi
orang yang sukses. Bahkan sangat sukses dan terkenal. Kehidupan telah
menempanya menjadi seorang pria yang hebat dan dikagumi. Aku beruntung memiliki
sahabat sepertinya. Karenanya, aku bisa sedikit belajar tentang pengalaman,
kedisiplinan, dan persahabatan. Ia mengubahku menjadi orang yang lebih kuat
dari sebelumnya...
Tiba-tiba, handphone di saku
celanaku berbunyi. “Halo?” sahutku. Aku mendengar sebuah suara menyahut
perkataanku. Dan kubalas dengan, “oh... Rico. Apa kabar kamu sekarang? Sudah
lama kamu tidak menghubungiku...”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar