Salam Perkenalan

Hey Guys and Gurls! Blog ini bukan private blog yang artinya di sini ada banyak banget informasi, lirik, dan berbagai macam tulisan yang pastinya cool and interested to the max! So, if you like it, just post a comment and I'll read it soon, surely. And sure, kalian juga bisa kasih kritik dan saran buat blog ini supaya bisa maju dan nggak cuma gini-gini doang. So, it’s our kingdom, will you join with us?

Jumat, 24 Mei 2013

Antara Cerpen, Moey, dan Burung


Antara Cerpen, Moey, dan Burung
By: Josafat M Malau

            “Ray, jangan tinggalin aku!!!”
            “Maaf, tapi aku benar – benar harus pergi”
            “Ray, katanya kamu sayang sama aku, mana buktinya?”
            “Maaf, tapi ini semua demi kebaikan kita....”
“Ahh, apa – apaan sih yang gue tulis ini? Cerpen cinta basi yang itu – itu lagi isinya. Ngga bisa mikir lagi apa yang menarik buat diceritain.” Omel gue yang ngga menemukan ide untuk cerpen akhir semester. Padahal tugas cerpen ini sudah dimulai dari dua bulan yang lalu dan selama dua bulan itu pula ngga pernah ada lampu bohlam yang muncul di atas kepala gue. Ngga ada ide yang bisa dituangkan ke dalam secarik kertas putih bersih nan suci di hadapan gue saat ini. Oh, malangnya nasib gue.


***
            Pagi ini matahari tetap muncul dari ufuk timur dan hari Senin pun dimulai. Keseharian pagi menjelang sekolah seperti biasa berjalan secara alamiah. Mulai dari mengumpulkan nyawa setelah sukses bangun dengan selamat dari tidur semalam, beranjak ke arah kamar mandi untuk mandi tentunya, kemudian membereskan tempat tidur yang lebih mirip kapal perang ancur akibat “Horseness Sleep Disease” biasa disingkat HSD yang dalam bahasa Indonesia berarti penyakit tidur kuda (tidur ngga bisa diam ditempat, guling - guling kiri-kanan, atas-bawah, muka-belakang, dan sebangsanya), dan akhirnya sarapan yang diikuti berangkat ke sekolah. Seperti biasa gue berangkat dengan mengendarai Moey.
Moey adalah sepada motor yang sejak kelas 9 SMP lalu sudah menemani gue dalam cepat maupun lamban, dalam hujan maupun panas, dalam mulus maupun bergelombang, dan dalam segala apapun yang terjadi. Sebegitu sayangnya gue sama motor gue itu maka gue beri dia nama yaitu Moey. Moey sendiri adalah salah satu mastepiece dari Duhgatel salah satu perusahaan motor terkenal di Amerika yang motor – motornya biasa dipakai oleh Stooner, pembalap Moto GP. Dengan warna hitam legam yang eksotis, roda hitam besar yang sexy, serta suara mesin yang begitu garang, gue melaju menuju sekolah pagi ini.
Sekolah gue yang sangat besar dengan jumlah murid mencapai seribu kurang empat ratus siswa, mengharuskan parkir di rumah milik seorang pebisnis yang sudah setuju dengan pihak sekolah bila salah satu dari rumahnya, halamannya dijadikan tempat parkir siswa. Tentu saja dengan perhitungan dari seorang pebisnis handal, sang empunya rumah sudah memperkirakan berapa rupiah yang harus kami bayar untuk sekali parkir di tempatnya. Singkat cerita gue sudah memarkirkan Moey di tempat biasanya dan berjalan ke arah sekolah.
***
            Hari Senin adalah salah satu hari yang entah mengapa rasanya begitu lama dan berat banget untuk diselesaikan. Belum lagi harus mikirin gimana nasibnya cerpen akhir semester gue yang hanya dalam hitungan beberapa hari lagi harus dikumpulkan. Gue putuskan untuk mencari ide saat ini juga. Siapa tahu si ide muncul di pagi hari yang cerah nan sejuk ini, soalnya di siang hari yang panas nan terik dia ngga muncul, di sore hari yang kuning nan indah ngga muncul juga, bahkan di malam hari yang sepi nan gelap dia tetep ngga muncul juga. Maka dari itu timbulah sebuah kesimpulan jika si ide adalah seorang yang pemalu dan mungkin akan muncul pada pagi hari. Jadi gue teruskan dengan menutup mata dan mengingat – ingat kembali peristiwa indah yang....
“DUBRAKK!!!
Ryan! Ryan!! Loe ngga apa – apa kan?” Oke, dari suaranya yang khas dan gebrakan meja yang begitu kuat gue bisa menyimpulkan satu hal dan menjelaskan apa yang sedang terjadi beberapa detik yang lalu. Ino, sahabat gue yang paling absurd baru saja sampai di kelas. Kemudian dia menebar pandangan ke seluruh penjuru kelas dan menemukan diri gue yang sedang duduk sembari memejamkan kedua bola mata dengan sedikit senyum – senyum. Dan hanya dengan 5 langkah Ino sudah berada di depan bangku gue diikuti dengan gaya menepuk meja seraya berkata, “Ryan! Ryan!! Loe ngga apa – apa kan?”. Ino, terimakasih kamu sudah dengan sangat sukses membuat ide di kepala gue menjadi kaget, pucat, dan menghembuskan nafas terakhirnya.
“Apa sih? Gue baik – baik ajah kale!” dengan mata melotot, alis kanan terangkat, dan hidung kembang – kempis, kata – kata itu yang keluar dari mulut. “Syukurlah, gue kira loe jadi gila gara – gara loe kena timpuk pisang molen, hahahaha” dia tertawa dengan begitu puasnya. “Loe, itu yang gila! Mana ada orang kena timpuk pisang molen terus bisa jadi gila!” Emm, tiba – tiba gue terdiam sejenak dan teringat kejadian tujuh tahun yang lalu. Kejadian dimana temen main gue yang namanya Edi mengalami kejadian tragis. Dia menjadi gila setelah kejatuhan . . . . . MOLEN. Tragisnya molen tersebut ngga jatuh sendirian, dia jatuh bawa teman. Dan temannya itu adalah 2 buah batu bata yang dengan anggunnya mengikuti jejak sang molen. “Emm, oke mungkin molen bisa membuat orang jadi gila, tapi tetep ajah gue ngga gila!” gue berusaha membela diri setelah flashback yang terjadi dengan begitu cepat.
“Hahahaha, iya iya! Habis loe pake senyum – senyum sendiri sembari merem – merem gitu. Gue kan serem jadinya liat loe kaya gitu!” oke, mungkin kali ini Ino benar. Serem juga sih emang, liat orang merem – merem terus senyum – senyum sendiri. Gue jadi ingin tahu, sampai mana sih perkembangan cerpennya si Ino, “No, gimana cerpen loe? Dah sampai mana?” Mukanya sih santai gitu, dalam hati gue dah berpikir, wah kayanya sih dari gelagat si Ino nih, dia mah udah selesai cerpennya. Masa punya gue belom mulai sama sekali? Kalah dong gue sama Ino. Dengan muka polos, Ino mengucapkan empat kata, “EMANG ADA TUGAS CERPEN?” What? Coba bayangin, gue yang dengan susah payah sejak dari 2 bulan yang lalu mikirin ide buat cerpen dan ngga pernah dapat – dapat sampai merasa “Cukup ! Cukup! Otak gue tak bisa berpikir lagi”. Mendapat jawaban dengan muka polos tanpa dosa mengatakan, “EMANG ADA TUGAS CERPEN?”. “Halo? Pisang pada molen! Pisang pada molen! Kemana ajah loe selama ini sahabat gue? Tenang gue akan menyelamatkan engkau wahai pisang molen yang tersesat!” Jujur, gue jengkel. “Beneran ada nih?? Hmm... Gampang deh, ngga perlu khawatir. Serahkan pada Ino, hahahaha.” Satu hal yang paling gue sesali dalam hidup gue adalah bertanya pada Ino. Tetapi ngga apa – apa, ada pesan moral yang bisa gue ambil dibalik kejadian ini yaitu, “Jangan pernah bertanya pada Ino terutama mengenai Pisang Molen”.
***
Siang itu, seperti biasa yang gue lakukan hanya termenung di kelas, mulai lagi gue paksakan otak gue untuk berkerja rodi. Berbekal pensil dan sebuah buku tulis kosong dan tatapan memelas yang gue tujukan kepada buku tulis tersebut, dengan harapan akan terukir baris demi baris tulisan untuk cerpen akhir semester gue dengan sendirinya. Nampaknya hal itu menjadi sia – sia. Kali ini strategi muka memelas gue ngga berhasil sama sekali untuk menipu buku tulis dan pensil ini. Mereka ngga mau berkerjasama, padahal strategi ini biasanya sangat ampuh untuk digunakan dalam segala macam situasi, tapi kali ini ngga berhasil.
Lelah ngga mendapatkan ide yang dapat dituangkan dalam cerpen ini, akhirnya gue putuskan untuk mengedarkan pandangan gue keseluruh penjuru kelas. Nampaknya sesuatu yang baik akan menghampiri gue dan . . . . . sesuatu yang buruk akan mengikutinya. “Ryan!” Irene datang menghampiri gue dengan senyum sumringah yang Uhhhh, melelehkan hati. Gue pun membalasnya dengan senyuman manis yang gue punya (oke, mungkin emang ngga semanis yang gue pikir dan beberapa orang mengatakan kalau itu lebih ke arah menyeramkan). “Apa yang lagi kamu kerjain nih?” Dia bingung karena melihat buku tulis di meja dan pensil di tangan gue. “Emm, gue? Ohh, ini gue lagi nyari inspirasi buat......” Belum sempat meneruskan kata – kata, bencana yang gue bicarakan tadi akhirnya datang menghampiri gue. “Ryan!” Kali ini nadanya berbeda, suaranya lebih keras dan menyentak. Nampaknya hari penghakiman telah tiba untuk gue. “Mana komik gue? Katanya loe yang terakhir baca!?” Mukanya si Endi serem baget, kaya orang sembelit tujuh hari tujuh malam. “Ehh! Apa – apaan sih ini? Ada apa sih En?” Terimakasih Tuhan, Engkau telah mengirimkan malaikat penolong pada gue, tolong bela gue, ohh Irene. Dari beberapa kata yang diucapkan Irene, gue tahu kalau Irene meminta kejelasan dari Endi. Oke, daripada Endi yang menjelaskan, lebih baik gue yang memulai dulu. Bisa – bisa jadi tambah kacau kalau Endi yang ngejelasin.
Kejadian ini terjadi sekitar setengah bulan yang lalu. Ceritanya gue, Ino, Regi, Adi, dan Romi sedang melakukan riset. Riset ini tidak lain dan tidak bukan adalah untuk membuktikan bacaan apa yang paling menarik minat pembaca kalangan pelajar SMA. Kami membawa segala sesuatu, mulai dari koran, majalah, komik, novel, kamus, dan lain – lain. Setelah itu kami mengambil satu persatu bacaan tersebut, mulai membaca serta di akhiri dengan menuliskan pendapat masing – masing di sebuah kertas. Dua puluh menit pun berlalu. Kami meletakkan bacaan, dan menuliskan pendapat masing – masing. Anehnya hanya Romi sendirian yang belum meletakkan bacaannya dan menuliskan pendapat. Dia tetap berada di pojokan dengan wajah excited memegang bacaannya. Gue putuskan untuk menghampirinya. Pertanyaan pun muncul di pikiran gue, sebenarnya apa sih yang Romi baca sampai – sampai begitu asiknya. Baru beberapa meter hingga menuju dirinya, dia tertawa dengan aksen yang aneh. Sampai akhirnya terlihat cover depan bacaan yang sedang dia baca. Sialan, pantes ajah dia betah, yang dibaca “majalah yang modelnya kepanasan semua!”. Akhirnya secarah sah, Romi dicoret dari kegitan riset ini.
Kembali ke posisi semula, kegiatan ini terus berlanjut hingga akhirnya giliran gue untuk membaca komik. Cover dan judulnya sih ngga  terlalu meyakinkan. Yang lain udah selesai baca ini raut mukanya jadi sedih semua gitu. Mereka semua melontarkan kata – kata yang sama setelah membaca komik ini. Dengan raut muka cemen mereka semua kurang lebih bilang kaya gini, “Loe pasti sedih nih setelah baca komik ini. Loe pasti langsung nyesel and merenungi apa yang telah loe buat selama ini.” Jelaslah gue ngga percaya sama omongan mereka. Cuma kepala ajah sok angguk – angguk setuju, dalam hati mah kaya gini, “Halah, itu mah cuma kalian ajah yang pada cemen. Baru baca yang kaya begitu ajah dah sedih, liat reaksi gue setelah baca tuh komik”.  Dan setelah selesai terbaca komik itu, gue nangis ngga berhenti – berhenti.
Singkat cerita masalah riset berakhir, dan gue putusin untuk bawa komik itu pulang   dengan tujuan siapa tahu bisa dapat ide dari komik itu. Di rumah gue baca lagi tuh komik, gue pikir kali ini ngga bakal nangis lagi soalnya ceritanya masih nempel di kepala. Akan tetapi Tuhan berkata lain, gue nangis lagi. Setelah parade air mata sukses terlaksanakan gue putuskan untuk memulihkan tenaga yang terbuang. Gue taruh komik itu dekat tumpukan kertas dan gue langsung tidur. Waktu gue bangun sore itu entah apa yang terjadi, komik itu raib. Refleks, gue langsung turun dan bertanya ke seluruh penjuru rumah. Beberapa orang mengindikasikan agar gue bertanya sama mbok Yanti. Akhirnya gue meluncur ke kamar mbok Yanti. Dan alangkah mengejutkan jawaban yang diberikan mbok Yanti, “Ohh, tumpukan kertas yang di kamar mas Ryan? Ya sudah jadi abu semua, toh sudah ngga dipakai kan mas, ya si mbok bakar ajah sekalian waktu bakar sampah”. Gue langsung balik ke kamar dengan duka, “Selamat jalan kawanku”.
Besoknya si Ino tanya sama gue, “Yan, komik yang loe pinjem kemarin mana? Besok mau diambil tuh sama yang punya”. Gue kaget mendengar kata – kata Ino. Gue kira komik itu punya Ino dan gue udah niat minta maaf hari ini. Secara, Ino kan sahabat gue jadi dia ngga bakal marah sama gue. “Woi! Masih di loe kan komik itu? Itu komik punya si Roy lho! Gue susah payah minjem komik itu dari Roy, tau?” Mendengar hal itu, gue cuma bisa jawab, “Komiknya udah jadi abu, No”. Saat itu juga, waktu di sekitar gue berhenti berputar dan gue yakin cepat atau lambat gue bakalan jadi pisang molen.
 “Udah – udah, sekarang gini ajah, kalau emang kaya gitu situasinya ya mau gimana lagi? Selesakan dengan baik – baik dan jangan pakai kekerasan.” Gue sangat setuju dengan pemikiran bijak Irene. Jangan pakai kekerasan! Gue belum siap jadi pisang molen. Akhirnya gue melayangkan kata – kata damai demi hidup gue, “Maaf deh! Gini ajah, gimana kalau gue ganti rugi tuh komik, sebutin ajah berapa harganya”. Mendengar kata – kata itu, dengan tegas dan tanpa ragu Roy menjawab, “Seratus lima puluh ribu!”. Sialan, gue ngga nyangka kalau kata – kata sok keren gue buat cari aman malah jadi bumerang. Harganya sih bener kalau dua digit pertama satu dan lima, tapi nolnya kelebihan satu! Dasar udah apes ya mau gimana lagi? Ampunilah dosa mereka yang telah menganiyaya gue ya Tuhan.
***  
Senin kelam gue pun selesai. Waktunya pulang dan bersantai di home sweet home. Tunggu gue di parkiran ya Moey, Papa akan datang menjemputmu! Begitu gue sampai di tempat parkir, gue dapat surprise. Putih ijo kecil di atas jok, apakah itu? Sialan gue dapat “rejeki” dari burung. Setelah gue bersihin Moey dari putih ijo kecil itu tadi, gue langsung meluncur ke rumah. Kurang ajar bener tuh burung, pake bagi – bagi  hajat segala!
Besok harinya, rutinitas sehari – hari berjalan seperti biasa. Lengkap dari awal hingga akhir ngga ada yang terlewatkan. Memang perfect hari ini, hari – hari flat gue yang biasanya terjadi berjalan sangat mulus. Sampai di sekolah, parkir si Moey, masuk ke kelas, pelajaran, istrahat, pusing – pusing masalah cerpen, pelajaran lagi, dan KRIIIIINGGG, bel pulang pun berbunyi. Tanpa basa – basi gue langsung mengudara ke tempat parkir. Moey sayang papa dat ...! KAMPREETT !!! Apa – apaan ini !? Kenapa gue dapet “rejeki” lagi !? Se-fakir itukah gue?
***
Sejak hari itu gue bersumpah, gue bakal cari “orang dermawan”  yang suka bagi – bagi “rejeki” itu dan bikin perhitungan sama dia. Pembalasan lebih kejam daripada tidak sama sekali !
Rencana demi rencana sudah tertanam dalam otak gue. Hari pertama investigasi nampaknya tidak menghasilkan sesuatu. Hari kedua pun menghasilkan hasil yang sama dengan hari pertama. Begitu selanjutnya hingga genap satu minggu. “KAMPREEEET ! Masa satu minggu udah gue ivestigasi ngga ada hasil apa – apa !?” akhirnya emosi gue selama satu minggu pun meledak keluar. Dengan masih meluapkan emosi di tengah – tengah tempat parkir (untung udah ngga ada yang lain, tinggal gue sendiri) tampaklah sesosok makhluk putih kehitam – hitaman terbang di atas langit nan putih kebiru – biruan membagikan “rejeki”. “Oh, jadi itu loe ! Oke, lihat tanggal mainnya!” gue pun tersenyum sumringah.
Mengetahui bahwa sang pembagi “rejeki” adalah sesosok burung merpati putih kehitam – hitaman, gue pun langsung bergerak menuju rencana tahap dua yaitu “Taktik Gerilya”. Hari pertama taktik gerilya gue parkir si Moey di tempat biasanya. Alhasil,    1 – 0 untuk kekalahan gue dari si burung. Hari kedua gue pindah si Moey di bawah pohon mangga, gue senyum kegirangan berpikir, “Kali ini pasti ngga bisa loe! Secara pohon mangganya rindang and ngga mungkin ada burung yang bisa lewat di atasnya”. Dan ternyata, gue salah besar! Bukannya berhasil malah sekarang jadi banyak semut ranggang di Moey,  2 – 0 untuk kemenangan si burung, lagi. Hari ketiga gue parkir si Moey di daerah depan, ngga mungkin juga kan sampai di daerah depan kena juga. Tetapi langit berkata lain, hari itu gue kalah lagi.
Hampir dua minggu kejadian itu berlanjut terus. Setiap gue pindah tempat buat parkir si Moey, si burung ngikut terus. Gue heran sama si burung ini, apa jangan – jangan ngefans sama gue sebegitu fanatiknya. Tiap gue pindah ngikut terus dan nggak kelupaan bagi – bagi “rejeki”. Atau mungkin si burung ngiri sama gue yang keren ini ya, makanya dia neror gue pakai bom “rejeki” ? Ngga bisa ngerti gue sama jalan pikiran burung. Yang jelas hampir dua minggu dan gue kalah terus, “Udah ! Gue nyerah! Puas kan loe sekarang !?” dengan pernyataan gue itu, gue mengaku kalah pada si burung. Gue  pulang dengan bau kekalahan beserta bau “rejeki”.
Sejak deklarasi kekalahan gue, nampaknya si burung ngga pernah nunjukin batang hidungnya lagi. Dan bombardir “rejeki” pun telah berhenti. Si Moey pun aman dari teror si burung. Entah mengapa si burung menghilang begitu saja tanpa kabar maupun sepucuk surat. Akhirnya, kehidupan damai gue pun kembali seperti semula. Kabar baik buat gue, peperangan gue pun secara resmi berakhir.
Perang antara gue dengan si burung untuk keamanan dan kenyamanan si Moey berakhir pada 25 April 2013 dengan hasil 14 – 0 untuk kekalahan gue secara berturut – turut selama dua minggu dengan “Taktik Gerilya”. Diakhiri dengan deklarasi kekalahan gue dan kepergian si burung tanpa kabar maupun surat. Akhir cerita, gue bisa senyum santai lagi setiap pergi ke sekolah, gue lihat tanggal di jam tangan nampaknya besok cerpen dikumpulkan. Gue senyum – senyum aja sampai akhirnya gue baru sadar  . . . . . CERPEN GUE BELOM SELESAI !!!!  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar