Antara Cerpen, Moey, dan Burung
By: Josafat M Malau
“Ray,
jangan tinggalin aku!!!”
“Maaf,
tapi aku benar – benar harus pergi”
“Ray,
katanya kamu sayang sama aku, mana buktinya?”
“Maaf,
tapi ini semua demi kebaikan kita....”
“Ahh, apa – apaan sih yang gue tulis ini? Cerpen cinta basi yang itu – itu lagi isinya. Ngga bisa mikir lagi apa yang menarik
buat diceritain.” Omel gue yang ngga menemukan ide untuk cerpen akhir semester. Padahal tugas
cerpen ini sudah dimulai dari dua bulan yang lalu dan selama dua bulan itu pula
ngga pernah ada lampu bohlam yang
muncul di atas kepala gue. Ngga ada ide yang bisa dituangkan ke dalam
secarik kertas putih bersih nan suci di hadapan gue saat ini. Oh, malangnya nasib gue.
***
Pagi
ini matahari tetap muncul dari ufuk timur dan hari Senin pun dimulai.
Keseharian pagi menjelang sekolah seperti biasa berjalan secara alamiah. Mulai
dari mengumpulkan nyawa setelah sukses bangun dengan selamat dari tidur
semalam, beranjak ke arah kamar mandi untuk mandi tentunya, kemudian
membereskan tempat tidur yang lebih mirip kapal perang ancur akibat “Horseness Sleep
Disease” biasa disingkat HSD yang dalam bahasa Indonesia berarti penyakit
tidur kuda (tidur ngga bisa diam ditempat,
guling - guling kiri-kanan, atas-bawah, muka-belakang, dan sebangsanya), dan
akhirnya sarapan yang diikuti berangkat ke sekolah. Seperti biasa gue berangkat dengan mengendarai Moey.
Moey adalah sepada motor yang sejak
kelas 9 SMP lalu sudah menemani gue
dalam cepat maupun lamban, dalam hujan maupun panas, dalam mulus maupun bergelombang, dan dalam segala apapun yang terjadi.
Sebegitu sayangnya gue sama motor gue itu maka gue beri dia nama yaitu Moey. Moey sendiri adalah salah satu mastepiece dari Duhgatel salah satu perusahaan motor terkenal di Amerika yang motor
– motornya biasa dipakai oleh Stooner, pembalap Moto GP. Dengan warna hitam
legam yang eksotis, roda hitam besar
yang sexy, serta suara mesin yang
begitu garang, gue melaju menuju
sekolah pagi ini.
Sekolah gue yang sangat besar dengan jumlah murid mencapai seribu kurang
empat ratus siswa, mengharuskan parkir di rumah milik seorang pebisnis yang
sudah setuju dengan pihak sekolah bila salah satu dari rumahnya, halamannya
dijadikan tempat parkir siswa. Tentu saja dengan perhitungan dari seorang
pebisnis handal, sang empunya rumah sudah memperkirakan berapa rupiah yang
harus kami bayar untuk sekali parkir di tempatnya. Singkat cerita gue sudah memarkirkan Moey di tempat
biasanya dan berjalan ke arah sekolah.
***
Hari
Senin adalah salah satu hari yang entah mengapa rasanya begitu lama dan berat banget untuk diselesaikan. Belum lagi
harus mikirin gimana nasibnya cerpen
akhir semester gue yang hanya dalam
hitungan beberapa hari lagi harus dikumpulkan. Gue putuskan untuk mencari ide saat ini juga. Siapa tahu si ide muncul di pagi hari yang cerah
nan sejuk ini, soalnya di siang hari yang panas nan terik dia ngga muncul, di sore hari yang kuning
nan indah ngga muncul juga, bahkan di
malam hari yang sepi nan gelap dia tetep ngga
muncul juga. Maka dari itu timbulah sebuah kesimpulan jika si ide adalah seorang yang pemalu dan mungkin akan muncul pada pagi
hari. Jadi gue teruskan dengan
menutup mata dan mengingat – ingat kembali peristiwa indah yang....
“DUBRAKK!!!
Ryan! Ryan!! Loe ngga apa – apa kan?”
Oke, dari suaranya yang khas dan gebrakan
meja yang begitu kuat gue bisa
menyimpulkan satu hal dan menjelaskan apa yang sedang terjadi beberapa detik
yang lalu. Ino, sahabat gue yang
paling absurd baru saja sampai di
kelas. Kemudian dia menebar pandangan ke seluruh penjuru kelas dan menemukan
diri gue yang sedang duduk sembari
memejamkan kedua bola mata dengan sedikit senyum – senyum. Dan hanya dengan 5
langkah Ino sudah berada di depan bangku
gue diikuti dengan gaya menepuk meja seraya berkata, “Ryan! Ryan!! Loe ngga apa – apa kan?”. Ino,
terimakasih kamu sudah dengan sangat sukses membuat ide di kepala gue menjadi kaget, pucat, dan
menghembuskan nafas terakhirnya.
“Apa sih? Gue baik – baik ajah kale!” dengan mata melotot, alis kanan
terangkat, dan hidung kembang – kempis, kata – kata itu yang keluar dari mulut.
“Syukurlah, gue kira loe jadi gila gara – gara loe kena timpuk pisang molen, hahahaha” dia tertawa dengan begitu puasnya. “Loe, itu yang gila! Mana ada orang kena timpuk pisang molen terus bisa jadi
gila!” Emm, tiba – tiba gue terdiam
sejenak dan teringat kejadian tujuh tahun yang lalu. Kejadian dimana temen main gue yang namanya Edi mengalami kejadian
tragis. Dia menjadi gila setelah kejatuhan
. . . . . MOLEN. Tragisnya molen
tersebut ngga jatuh sendirian, dia
jatuh bawa teman. Dan temannya itu adalah 2 buah batu bata yang dengan
anggunnya mengikuti jejak sang molen. “Emm, oke mungkin molen bisa membuat
orang jadi gila, tapi tetep ajah gue ngga
gila!” gue berusaha membela diri
setelah flashback yang terjadi dengan
begitu cepat.
“Hahahaha, iya iya! Habis loe pake
senyum – senyum sendiri sembari merem – merem gitu. Gue kan serem jadinya liat loe kaya gitu!” oke, mungkin kali ini Ino benar. Serem juga sih
emang, liat orang merem – merem terus senyum – senyum sendiri. Gue jadi ingin tahu, sampai mana sih
perkembangan cerpennya si Ino, “No, gimana
cerpen loe? Dah sampai mana?” Mukanya sih santai gitu, dalam hati gue dah berpikir, wah kayanya sih dari gelagat si Ino nih, dia mah udah selesai
cerpennya. Masa punya gue belom mulai sama sekali? Kalah dong gue sama Ino.
Dengan muka polos, Ino mengucapkan empat kata, “EMANG ADA TUGAS CERPEN?” What? Coba bayangin, gue yang dengan susah payah sejak dari 2
bulan yang lalu mikirin ide buat cerpen dan ngga
pernah dapat – dapat sampai merasa “Cukup
! Cukup! Otak gue tak bisa berpikir lagi”. Mendapat jawaban dengan muka
polos tanpa dosa mengatakan, “EMANG ADA TUGAS CERPEN?”. “Halo? Pisang pada
molen! Pisang pada molen! Kemana ajah loe
selama ini sahabat gue? Tenang gue akan menyelamatkan engkau wahai pisang
molen yang tersesat!” Jujur, gue
jengkel. “Beneran ada nih?? Hmm...
Gampang deh, ngga perlu khawatir.
Serahkan pada Ino, hahahaha.” Satu hal yang paling gue sesali dalam hidup gue
adalah bertanya pada Ino. Tetapi ngga
apa – apa, ada pesan moral yang bisa gue
ambil dibalik kejadian ini yaitu, “Jangan pernah bertanya pada Ino terutama
mengenai Pisang Molen”.
***
Siang itu, seperti biasa yang gue lakukan hanya termenung di kelas,
mulai lagi gue paksakan otak gue untuk berkerja rodi. Berbekal
pensil dan sebuah buku tulis kosong dan tatapan memelas yang gue tujukan kepada buku tulis tersebut,
dengan harapan akan terukir baris demi baris tulisan untuk cerpen akhir
semester gue dengan sendirinya.
Nampaknya hal itu menjadi sia – sia. Kali ini strategi muka memelas gue ngga
berhasil sama sekali untuk menipu buku tulis dan pensil ini. Mereka ngga mau berkerjasama, padahal strategi
ini biasanya sangat ampuh untuk digunakan dalam segala macam situasi, tapi kali
ini ngga berhasil.
Lelah ngga mendapatkan ide yang dapat dituangkan dalam cerpen ini,
akhirnya gue putuskan untuk
mengedarkan pandangan gue keseluruh
penjuru kelas. Nampaknya sesuatu yang baik akan menghampiri gue dan . . . . . sesuatu yang buruk akan mengikutinya. “Ryan!”
Irene datang menghampiri gue dengan
senyum sumringah yang Uhhhh, melelehkan hati. Gue pun membalasnya dengan senyuman
manis yang gue punya (oke, mungkin emang ngga semanis yang gue
pikir dan beberapa orang mengatakan kalau itu lebih ke arah menyeramkan). “Apa
yang lagi kamu kerjain nih?” Dia bingung karena melihat buku tulis di meja dan
pensil di tangan gue. “Emm, gue?
Ohh, ini gue lagi nyari inspirasi
buat......” Belum sempat meneruskan kata – kata, bencana yang gue bicarakan tadi akhirnya datang
menghampiri gue. “Ryan!” Kali ini
nadanya berbeda, suaranya lebih keras dan menyentak. Nampaknya hari penghakiman
telah tiba untuk gue. “Mana komik gue? Katanya loe yang terakhir baca!?” Mukanya si Endi serem baget, kaya orang
sembelit tujuh hari tujuh malam. “Ehh!
Apa – apaan sih ini? Ada apa sih En?” Terimakasih Tuhan, Engkau telah
mengirimkan malaikat penolong pada gue,
tolong bela gue, ohh Irene. Dari
beberapa kata yang diucapkan Irene, gue
tahu kalau Irene meminta kejelasan dari Endi. Oke, daripada Endi yang
menjelaskan, lebih baik gue yang
memulai dulu. Bisa – bisa jadi tambah kacau kalau Endi yang ngejelasin.
Kejadian ini terjadi sekitar
setengah bulan yang lalu. Ceritanya gue,
Ino, Regi, Adi, dan Romi sedang melakukan riset. Riset ini tidak lain dan tidak
bukan adalah untuk membuktikan bacaan apa yang paling menarik minat pembaca
kalangan pelajar SMA. Kami membawa segala sesuatu, mulai dari koran, majalah,
komik, novel, kamus, dan lain – lain. Setelah itu kami mengambil satu persatu
bacaan tersebut, mulai membaca serta di akhiri dengan menuliskan pendapat
masing – masing di sebuah kertas. Dua puluh menit pun berlalu. Kami meletakkan
bacaan, dan menuliskan pendapat masing – masing. Anehnya hanya Romi sendirian
yang belum meletakkan bacaannya dan menuliskan pendapat. Dia tetap berada di
pojokan dengan wajah excited memegang
bacaannya. Gue putuskan untuk
menghampirinya. Pertanyaan pun muncul di pikiran gue, sebenarnya apa sih yang Romi baca sampai – sampai begitu
asiknya. Baru beberapa meter hingga menuju dirinya, dia tertawa dengan aksen
yang aneh. Sampai akhirnya terlihat cover depan bacaan yang sedang dia baca.
Sialan, pantes ajah dia betah, yang dibaca “majalah
yang modelnya kepanasan semua!”. Akhirnya secarah sah, Romi dicoret dari
kegitan riset ini.
Kembali ke posisi semula, kegiatan
ini terus berlanjut hingga akhirnya giliran
gue untuk membaca komik. Cover dan judulnya sih ngga terlalu meyakinkan.
Yang lain udah selesai baca ini raut mukanya jadi sedih semua gitu. Mereka semua melontarkan kata –
kata yang sama setelah membaca komik ini. Dengan raut muka cemen mereka semua kurang lebih bilang kaya gini, “Loe pasti
sedih nih setelah baca komik ini. Loe
pasti langsung nyesel and merenungi
apa yang telah loe buat selama ini.”
Jelaslah gue ngga percaya sama omongan mereka. Cuma kepala ajah sok angguk –
angguk setuju, dalam hati mah kaya gini, “Halah, itu mah cuma
kalian ajah yang pada cemen. Baru baca yang kaya
begitu ajah dah sedih, liat reaksi gue setelah baca tuh komik”. Dan setelah selesai terbaca komik itu, gue nangis ngga berhenti – berhenti.
Singkat cerita masalah riset
berakhir, dan gue putusin untuk bawa
komik itu pulang dengan tujuan siapa tahu bisa dapat ide dari
komik itu. Di rumah gue baca lagi tuh
komik, gue pikir kali ini ngga bakal nangis lagi soalnya ceritanya
masih nempel di kepala. Akan tetapi Tuhan berkata lain, gue nangis lagi. Setelah parade air mata sukses terlaksanakan gue putuskan untuk memulihkan tenaga
yang terbuang. Gue taruh komik itu
dekat tumpukan kertas dan gue
langsung tidur. Waktu gue bangun sore
itu entah apa yang terjadi, komik itu raib. Refleks, gue langsung turun dan bertanya ke seluruh penjuru rumah. Beberapa
orang mengindikasikan agar gue
bertanya sama mbok Yanti. Akhirnya gue meluncur ke kamar mbok Yanti. Dan alangkah mengejutkan
jawaban yang diberikan mbok Yanti, “Ohh, tumpukan kertas yang di kamar mas
Ryan? Ya sudah jadi abu semua, toh sudah ngga
dipakai kan mas, ya si mbok bakar
ajah sekalian waktu bakar sampah”. Gue langsung balik ke kamar dengan duka, “Selamat jalan kawanku”.
Besoknya si Ino tanya sama gue, “Yan, komik yang loe pinjem kemarin mana? Besok mau
diambil tuh sama yang punya”. Gue kaget
mendengar kata – kata Ino. Gue kira
komik itu punya Ino dan gue udah niat
minta maaf hari ini. Secara, Ino kan sahabat gue jadi dia ngga bakal
marah sama gue. “Woi! Masih di loe kan komik itu? Itu komik punya si
Roy lho! Gue susah payah minjem komik
itu dari Roy, tau?” Mendengar hal itu, gue
cuma bisa jawab, “Komiknya udah jadi
abu, No”. Saat itu juga, waktu di sekitar gue
berhenti berputar dan gue yakin cepat
atau lambat gue bakalan jadi pisang molen.
“Udah – udah, sekarang gini ajah, kalau emang
kaya gitu situasinya ya mau gimana lagi? Selesakan dengan baik – baik dan
jangan pakai kekerasan.” Gue sangat
setuju dengan pemikiran bijak Irene. Jangan pakai kekerasan! Gue belum siap jadi pisang molen. Akhirnya gue
melayangkan kata – kata damai demi hidup gue,
“Maaf deh! Gini ajah, gimana kalau gue
ganti rugi tuh komik, sebutin ajah berapa harganya”. Mendengar kata – kata itu,
dengan tegas dan tanpa ragu Roy menjawab, “Seratus lima puluh ribu!”. Sialan, gue ngga nyangka kalau kata – kata sok
keren gue buat cari aman malah jadi
bumerang. Harganya sih bener kalau dua digit pertama satu dan lima, tapi nolnya
kelebihan satu! Dasar udah apes ya
mau gimana lagi? Ampunilah dosa
mereka yang telah menganiyaya gue ya
Tuhan.
***
Senin kelam gue pun selesai. Waktunya pulang dan bersantai di home sweet home. Tunggu gue di parkiran ya Moey, Papa akan
datang menjemputmu! Begitu gue sampai
di tempat parkir, gue dapat surprise. Putih ijo kecil di atas jok,
apakah itu? Sialan gue dapat “rejeki” dari burung. Setelah gue bersihin Moey dari putih ijo kecil itu tadi, gue langsung meluncur ke rumah. Kurang
ajar bener tuh burung, pake bagi – bagi hajat segala!
Besok harinya, rutinitas sehari –
hari berjalan seperti biasa. Lengkap dari awal hingga akhir ngga ada yang terlewatkan. Memang perfect hari ini, hari – hari flat gue
yang biasanya terjadi berjalan sangat mulus. Sampai di sekolah, parkir si Moey,
masuk ke kelas, pelajaran, istrahat, pusing – pusing masalah cerpen, pelajaran
lagi, dan KRIIIIINGGG, bel pulang pun
berbunyi. Tanpa basa – basi gue
langsung mengudara ke tempat parkir. Moey sayang papa dat ...! KAMPREETT !!! Apa – apaan ini !? Kenapa gue dapet “rejeki” lagi !? Se-fakir itukah gue?
***
Sejak hari itu gue bersumpah, gue bakal
cari “orang dermawan” yang suka bagi – bagi “rejeki” itu dan bikin perhitungan sama dia. Pembalasan lebih kejam
daripada tidak sama sekali !
Rencana demi rencana sudah tertanam
dalam otak gue. Hari pertama
investigasi nampaknya tidak menghasilkan sesuatu. Hari kedua pun menghasilkan
hasil yang sama dengan hari pertama. Begitu selanjutnya hingga genap satu
minggu. “KAMPREEEET ! Masa satu
minggu udah gue ivestigasi ngga ada
hasil apa – apa !?” akhirnya emosi gue
selama satu minggu pun meledak keluar. Dengan masih meluapkan emosi di tengah –
tengah tempat parkir (untung udah ngga
ada yang lain, tinggal gue sendiri)
tampaklah sesosok makhluk putih kehitam – hitaman terbang di atas langit nan
putih kebiru – biruan membagikan “rejeki”.
“Oh, jadi itu loe ! Oke, lihat
tanggal mainnya!” gue pun tersenyum
sumringah.
Mengetahui bahwa sang pembagi “rejeki” adalah sesosok burung merpati
putih kehitam – hitaman, gue pun
langsung bergerak menuju rencana tahap dua yaitu “Taktik Gerilya”. Hari pertama taktik gerilya gue parkir si Moey di tempat biasanya. Alhasil, 1 – 0 untuk kekalahan gue dari si burung. Hari kedua gue
pindah si Moey di bawah pohon mangga, gue
senyum kegirangan berpikir, “Kali ini pasti ngga
bisa loe! Secara pohon mangganya
rindang and ngga mungkin ada burung yang bisa lewat di atasnya”. Dan ternyata, gue salah besar! Bukannya berhasil malah
sekarang jadi banyak semut ranggang di Moey,
2 – 0 untuk kemenangan si burung, lagi. Hari ketiga gue parkir si Moey di daerah depan, ngga mungkin juga kan sampai di daerah depan kena juga. Tetapi
langit berkata lain, hari itu gue
kalah lagi.
Hampir dua minggu kejadian itu
berlanjut terus. Setiap gue pindah
tempat buat parkir si Moey, si burung ngikut
terus. Gue heran sama si burung ini,
apa jangan – jangan ngefans sama gue sebegitu fanatiknya. Tiap gue pindah ngikut terus dan nggak
kelupaan bagi – bagi “rejeki”. Atau
mungkin si burung ngiri sama gue yang keren ini ya, makanya dia neror gue pakai bom “rejeki” ? Ngga bisa ngerti gue sama jalan pikiran burung.
Yang jelas hampir dua minggu dan gue
kalah terus, “Udah ! Gue nyerah! Puas
kan loe sekarang !?” dengan
pernyataan gue itu, gue mengaku kalah pada si burung. Gue pulang dengan bau kekalahan beserta bau “rejeki”.
Sejak deklarasi kekalahan gue, nampaknya si burung ngga pernah nunjukin batang hidungnya lagi. Dan bombardir “rejeki” pun telah berhenti. Si Moey pun aman dari teror si burung.
Entah mengapa si burung menghilang begitu saja tanpa kabar maupun sepucuk
surat. Akhirnya, kehidupan damai gue pun
kembali seperti semula. Kabar baik buat gue,
peperangan gue pun secara resmi
berakhir.
Perang antara gue dengan si burung untuk keamanan dan kenyamanan si Moey berakhir
pada 25 April 2013 dengan hasil 14 – 0 untuk kekalahan gue secara berturut – turut selama dua minggu dengan “Taktik Gerilya”. Diakhiri dengan
deklarasi kekalahan gue dan kepergian
si burung tanpa kabar maupun surat. Akhir cerita, gue bisa senyum santai lagi setiap pergi ke sekolah, gue lihat tanggal di jam tangan
nampaknya besok cerpen dikumpulkan. Gue senyum
– senyum aja sampai akhirnya gue baru
sadar . . . . . CERPEN GUE BELOM SELESAI !!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar