Salam Perkenalan

Hey Guys and Gurls! Blog ini bukan private blog yang artinya di sini ada banyak banget informasi, lirik, dan berbagai macam tulisan yang pastinya cool and interested to the max! So, if you like it, just post a comment and I'll read it soon, surely. And sure, kalian juga bisa kasih kritik dan saran buat blog ini supaya bisa maju dan nggak cuma gini-gini doang. So, it’s our kingdom, will you join with us?

Senin, 20 Mei 2013

Kebahagiaan untuk Dibagikan



Kebahagiaan untuk Dibagikan
By: Valeska Valkyrie

Aku tak pernah menyangka, kehadiran seseorang akan menyadarkanku apa arti kehidupan sebenarnya. Arti kebahagiaan dalam memberi dan berbagi. Arti kehilangan seseorang yang takkan pernah bisa muncul lagi di hadapan kita. Ya, seperti pepatah Inggris, “You never miss something until it’s gone”. Ya, aku mulai mengerti perasaan itu. Kita bisa mengukur seberapa penting sesuatu itu hanya ketika sesuatu itu hilang dalam hidup kita.
Singkat cerita, aku memiliki seorang teman yang kudapat dari pekerjaanku. Namaku Andien, aku bekerja sebagai editor sebuah majalah. Awal mula, aku sedang menggubah sebuah artikel tentang perang. Di sana, aku memperhatikan sebuah artikel singkat yang ditulis oleh juniorku, tentang bagaimana menjadi seorang fotografer perang. Salah seorang narasumbernya bernama Tara. Aku tertarik untuk membaca artikel itu. Semakin lama, aku semakin menyelami dunia Tara dan bagaimana cara Tara melihat dunia menggunakan lensa kameranya. Akhirnya, kuputuskan untuk menemui Dana, juniorku yang menulis artikel tentang “Tara dan Kamera Perangnya”.

“Nomer handphonenya kak? Punya sih, tapi buat apa?” tanya Dana.
“Sudah tak usah tanya-tanya. Berikan saja nomernya,” jawabku singkat. Mulai dari sana, hidupku berubah sepenuhnya. Aku mencoba menghubungi Tara, dengan alasan pekerjaan. Pekerjaannya menuntutnya untuk lebih sering meninggalkan handphonenya, sehingga pesanku sering tak terbalas. Tara adalah seorang pemuda berusia 20 tahun yang sudah aktif di dunia fotografer sejak duduk di bangku kelas 1 SMA. Pertama kali ia menjajaki dunia fotografer adalah saat ia memutuskan untuk melamar pekerjaan di sebuah agensi model. Dengan pengalaman pas-pasan, ia akhirnya diterima bekerja sebagai asisten fotografer. Karena banyak belajar, akhirnya ia dipromosikan sebagai fotografer amatir. Dari situlah ia mulai memutuskan untuk menyelami dunia fotografer. Hmmm… pekerjaan yang unik, pikirku. Namun… semuanya tak seindah yang kupikir.
Suatu hari, dua bulan setelah aku sudah cukup akrab dengan Tara, aku diperintahkan atasanku, Bu Femy, untuk menghadiri seminar internasional tentang dunia media cetak di luar negeri. Sebagai salah satu editor senior di tempatku bekerja, aku harus menuruti permintaan atasanku. Untuk menambah pengetahuan sekaligus pengalaman. Takdir ternyata berpihak padaku. Hari itu, selesai mengikuti seminar yang berlangsung sekitar 2 jam itu, aku memutuskan untuk beristirahat di sebuah CafĂ©. Di saat itulah, aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, Tara, yang hanya bisa kulihat dalam foto, sedang meminum kopi di kursi paling pojok. Dengan sedikit nekat, aku memberanikan diri menyapanya. “Tara ya…?” tanyaku sedikit malu-malu. Pemuda itu memandangku dari kaki sampai ujung rambut.
“Hmmm… kita pernah bertemu?” tanyanya. Aku tertawa.
“Belum. Aku Andien, editor majalah Super Magazine,” kataku. Dari sanalah, aku mulai menanyainya bermacam-macam pertanyaan, lagi-lagi dengan berstatus pekerjaan. “Apa sih yang membuatmu ingin menyelami dunia fotografi?”
“Sepertinya… keluarga,” jawabnya singkat, “tak pernah terbersit sedikit pun dalam otakku tentang dunia fotografi.”
Sorot matanya seolah berubah. Seolah ia tengah bernostalgia, membayangkan saat-saat paling sedih dalam hidupnya, menerawang jauh ke dalam angannya. Ia sedikit bercerita, “aku lahir di keluarga yang sederhana. Aku dibesarkan layaknya seorang tentara, penuh dengan kekerasan. Ayahku pergi meninggalkan ibuku ketika aku berusia 5 tahun. Maklum saja, preman pasar…” Ia tertawa, walau dari sorot matanya terpancar kesedihan yang teramat sangat. “Waktu itu, ibu menangis sambil memelukku. Aku melihat luka memar di sekujur tangannya. Dan dari situlah, aku memulai tekadku untuk membahagiakan ibu.”
“Lalu, kenapa kau akhirnya memutuskan untuk mengambil tawaran di dunia fotografi?” tanyaku lagi.
“Awalnya hanya iseng-iseng saja. Eh ternyata, aku malah jadi ketagihan,” jawabnya.
“Hmmm… terus, apa yang membuatmu mengambil pekerjaanmu saat ini? Padahal pekerjaan itu adalah pekerjaan yang menantang maut?” tanyaku.
Ia terdiam sejenak, lalu mulai membuka mulutnya, “setelah kupikir-pikir, jadi fotografer biasa saja tidaklah cukup. Apalagi sejak aku memutuskan untuk berhenti sekolah di bangku kelas 2 SMA, ibu jatuh sakit karena terlalu banyak bekerja. Aku jadi harus kerja ekstra keras untuk membayar biaya obat dan dokter. Apalagi sudah menjadi rutinitasku setiap bulan untuk menyumbangkan setengah dari hasil jerih payahku untuk anak-anak yang kurang beruntung di panti asuhan. Sudah sepantasnya kita membantu sesama kita yang kurang beruntung. Jadi, kuputuskan untuk menjadi fotografer perang. Bayarannya cukup untuk memenuhi kedua hal itu.”
Aku mulai kehabisan kata-kata. Orang di depanku ini adalah sesosok orang berhati mulia yang patut dibanggakan. Hanya bisa mengaguminya dalam kejapan mata. Setelah beberapa detik aku terpaku menatapnya, aku mulai memikirkan sesuatu. “Sebenarnya… apa cita-citamu?”
“Hmm… cita-cita ya?” ia terdiam. “Kurasa… menjadi fotografer majalah olahraga.” Ia tertawa. Di sana, aku semakin menyelami dunianya. Menanyakan segalanya tentang dia, keluarganya, dan semua tanda tanya mengenai pemuda di depanku itu.
***
            Beberapa minggu setelahnya, aku mendapat pesan dari Tara. Bunyinya begini: “Andien! Akhirnya aku berhasil meraih cita-citaku. Aku direkrut menjadi fotografer tetap oleh Sport Magazine! Itu artinya aku menjadi fotografer olah raga! Besok adalah hari pertamaku bekerja. Aku berangkat ke Amerika untuk meliput lomba marathon yang akan diadakan di Boston. Doakan aku ya. Jika ini adalah pesan terakhirku, tolong jaga ibuku. Dan teruskan kegiatan sosialku. Jika tak ada orang yang mempedulikan anak-anak yatim piatu itu, siapa lagi yang akan merawat mereka? Terima kasih sudah mau menjadi temanku ^^ Tara”.
***
            Di Boston, perlombaan lari marathon itu, diledakkan dua bom yang mengakibatkan banyak orang luka parah. Di hari pertamanya bekerja, Tara harus kehilangan hidupnya. Aku pernah membaca artikel tentang kematian dan inilah kalimat yang sepertinya merupakan fakta.

Orang yang akan meninggal telah mengetahui takdir dan ajalnya. Sebelum ia pergi, ia akan mengucapkan perpisahan pada orang yang dekat dengannya. Sebagai tanda bahwa ia akan pergi jauh dan takkan kembali selamanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar