Kebahagiaan untuk Dibagikan
By: Valeska Valkyrie
Aku tak pernah menyangka, kehadiran
seseorang akan menyadarkanku apa arti kehidupan sebenarnya. Arti kebahagiaan
dalam memberi dan berbagi. Arti kehilangan seseorang yang takkan pernah bisa
muncul lagi di hadapan kita. Ya, seperti pepatah Inggris, “You never miss something until it’s gone”. Ya, aku mulai mengerti
perasaan itu. Kita bisa mengukur seberapa penting sesuatu itu hanya ketika
sesuatu itu hilang dalam hidup kita.
Singkat cerita, aku memiliki
seorang teman yang kudapat dari pekerjaanku. Namaku Andien, aku bekerja sebagai
editor sebuah majalah. Awal mula, aku sedang menggubah sebuah artikel tentang
perang. Di sana, aku memperhatikan sebuah artikel singkat yang ditulis oleh
juniorku, tentang bagaimana menjadi seorang fotografer perang. Salah seorang
narasumbernya bernama Tara. Aku tertarik untuk membaca artikel itu. Semakin
lama, aku semakin menyelami dunia Tara dan bagaimana cara Tara melihat dunia
menggunakan lensa kameranya. Akhirnya, kuputuskan untuk menemui Dana, juniorku
yang menulis artikel tentang “Tara dan Kamera Perangnya”.
“Nomer handphonenya kak? Punya sih,
tapi buat apa?” tanya Dana.
“Sudah tak usah tanya-tanya.
Berikan saja nomernya,” jawabku singkat. Mulai dari sana, hidupku berubah
sepenuhnya. Aku mencoba menghubungi Tara, dengan alasan pekerjaan. Pekerjaannya
menuntutnya untuk lebih sering meninggalkan handphonenya, sehingga pesanku
sering tak terbalas. Tara adalah seorang pemuda berusia 20 tahun yang sudah
aktif di dunia fotografer sejak duduk di bangku kelas 1 SMA. Pertama kali ia
menjajaki dunia fotografer adalah saat ia memutuskan untuk melamar pekerjaan di
sebuah agensi model. Dengan pengalaman pas-pasan, ia akhirnya diterima bekerja
sebagai asisten fotografer. Karena banyak belajar, akhirnya ia dipromosikan
sebagai fotografer amatir. Dari situlah ia mulai memutuskan untuk menyelami
dunia fotografer. Hmmm… pekerjaan yang unik, pikirku. Namun… semuanya tak
seindah yang kupikir.
Suatu hari, dua bulan setelah aku
sudah cukup akrab dengan Tara, aku diperintahkan atasanku, Bu Femy, untuk
menghadiri seminar internasional tentang dunia media cetak di luar negeri.
Sebagai salah satu editor senior di tempatku bekerja, aku harus menuruti
permintaan atasanku. Untuk menambah pengetahuan sekaligus pengalaman. Takdir
ternyata berpihak padaku. Hari itu, selesai mengikuti seminar yang berlangsung
sekitar 2 jam itu, aku memutuskan untuk beristirahat di sebuah Café. Di saat
itulah, aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, Tara, yang hanya bisa kulihat
dalam foto, sedang meminum kopi di kursi paling pojok. Dengan sedikit nekat,
aku memberanikan diri menyapanya. “Tara ya…?” tanyaku sedikit malu-malu. Pemuda
itu memandangku dari kaki sampai ujung rambut.
“Hmmm… kita pernah bertemu?”
tanyanya. Aku tertawa.
“Belum. Aku Andien, editor majalah Super Magazine,” kataku. Dari sanalah,
aku mulai menanyainya bermacam-macam pertanyaan, lagi-lagi dengan berstatus
pekerjaan. “Apa sih yang membuatmu ingin menyelami dunia fotografi?”
“Sepertinya… keluarga,” jawabnya
singkat, “tak pernah terbersit sedikit pun dalam otakku tentang dunia
fotografi.”
Sorot matanya seolah berubah.
Seolah ia tengah bernostalgia, membayangkan saat-saat paling sedih dalam
hidupnya, menerawang jauh ke dalam angannya. Ia sedikit bercerita, “aku lahir
di keluarga yang sederhana. Aku dibesarkan layaknya seorang tentara, penuh
dengan kekerasan. Ayahku pergi meninggalkan ibuku ketika aku berusia 5 tahun.
Maklum saja, preman pasar…” Ia tertawa, walau dari sorot matanya terpancar
kesedihan yang teramat sangat. “Waktu itu, ibu menangis sambil memelukku. Aku
melihat luka memar di sekujur tangannya. Dan dari situlah, aku memulai tekadku
untuk membahagiakan ibu.”
“Lalu, kenapa kau akhirnya
memutuskan untuk mengambil tawaran di dunia fotografi?” tanyaku lagi.
“Awalnya hanya iseng-iseng saja. Eh
ternyata, aku malah jadi ketagihan,” jawabnya.
“Hmmm… terus, apa yang membuatmu
mengambil pekerjaanmu saat ini? Padahal pekerjaan itu adalah pekerjaan yang
menantang maut?” tanyaku.
Ia terdiam sejenak, lalu mulai
membuka mulutnya, “setelah kupikir-pikir, jadi fotografer biasa saja tidaklah
cukup. Apalagi sejak aku memutuskan untuk berhenti sekolah di bangku kelas 2
SMA, ibu jatuh sakit karena terlalu banyak bekerja. Aku jadi harus kerja ekstra
keras untuk membayar biaya obat dan dokter. Apalagi sudah menjadi rutinitasku
setiap bulan untuk menyumbangkan setengah dari hasil jerih payahku untuk
anak-anak yang kurang beruntung di panti asuhan. Sudah sepantasnya kita
membantu sesama kita yang kurang beruntung. Jadi, kuputuskan untuk menjadi
fotografer perang. Bayarannya cukup untuk memenuhi kedua hal itu.”
Aku mulai kehabisan kata-kata.
Orang di depanku ini adalah sesosok orang berhati mulia yang patut dibanggakan.
Hanya bisa mengaguminya dalam kejapan mata. Setelah beberapa detik aku terpaku
menatapnya, aku mulai memikirkan sesuatu. “Sebenarnya… apa cita-citamu?”
“Hmm… cita-cita ya?” ia terdiam.
“Kurasa… menjadi fotografer majalah olahraga.” Ia tertawa. Di sana, aku semakin
menyelami dunianya. Menanyakan segalanya tentang dia, keluarganya, dan semua
tanda tanya mengenai pemuda di depanku itu.
***
Beberapa
minggu setelahnya, aku mendapat pesan dari Tara. Bunyinya begini: “Andien!
Akhirnya aku berhasil meraih cita-citaku. Aku direkrut menjadi fotografer tetap
oleh Sport Magazine! Itu artinya aku
menjadi fotografer olah raga! Besok adalah hari pertamaku bekerja. Aku
berangkat ke Amerika untuk meliput lomba marathon yang akan diadakan di Boston.
Doakan aku ya. Jika ini adalah pesan terakhirku, tolong jaga ibuku. Dan
teruskan kegiatan sosialku. Jika tak ada orang yang mempedulikan anak-anak
yatim piatu itu, siapa lagi yang akan merawat mereka? Terima kasih sudah mau
menjadi temanku ^^ Tara”.
***
Di Boston,
perlombaan lari marathon itu, diledakkan dua bom yang mengakibatkan banyak
orang luka parah. Di hari pertamanya bekerja, Tara harus kehilangan hidupnya.
Aku pernah membaca artikel tentang kematian dan inilah kalimat yang sepertinya
merupakan fakta.
“Orang yang akan meninggal telah mengetahui takdir dan ajalnya. Sebelum
ia pergi, ia akan mengucapkan perpisahan pada orang yang dekat dengannya.
Sebagai tanda bahwa ia akan pergi jauh dan takkan kembali selamanya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar