Antara Sahabat dan Kedisiplinan
By: Valeska Valkyrie
“Ayah!” rengek Dinda sepulang dari
sekolah. Aku yang sedang mengerjakan tugas kantor segera menghampirinya.
Aku mendekatinya dan berjongkok
untuk menghapus air matanya yang berderai. “Ada apa?” tanyaku lembut, “kenapa
Dinda menangis?”
“Rani, Yah! Rani membohongiku! Dia
jahat! Katanya, dia sayang aku. Dia ingin jadi sahabatku! Tapi kenapa ia
berbohong padaku? Bahkan kata Rendra, dia menjelek-jelekkanku tanpa
sepengetahuanku,” katanya sambil tetap menangis. Rani? Bukankah Rani adalah
sahabatnya?
Aku menenangkannya dan mengelap
peluh air mata yang turun dengan derasnya. Kugendong Dinda dan kuturunkan di
sebuah sofa empuk. Aku duduk di sebelahnya. “Kamu sahabatnya kan? Apa kamu
percaya dia? Kalau kamu tidak mempercayai berita yang kamu dengar dari Rendra,
jangan dengarkan berita aneh itu. Tetaplah mempercayai Rani,” ucapku. Dinda
memperhatikanku dengan seksama, bahkan air matanya tak menetes lagi. Ia
tersenyum dan mengangguk.
“Ya. Aku mempercayainya,” katanya.
Aku membalas senyumannya dan kemudian membetulkan kaca mataku yang melorot.
Dinda tetap memperhatikanku. Tiba-tiba, ia bertanya, “apa Ayah pernah punya
sahabat?”
Aku menatap matanya yang seolah
menginginkan jawaban dariku. Aku tersenyum sumringah dan mengangguk. “Tentu saja
pernah. Bahkan lika-liku kehidupan sepertinya ingin memisahkan kami.” Aku
memandang tatapan Dinda yang benar-benar dipenuhi perasaan penasaran. Aku
tertawa karenanya. “Mau mendengar kisahnya?” Dinda mengangguk dengan cepat. Aku
mendesah dan kembali menatapnya. “Kisah ini tercipta saat Ayah berumur 14
tahun. Tepatnya, di bangku kelas 3 SMP...”