Cintailah Aku Seperti Kau Membenciku
By: Valeska Valkyrie
Tahun ajaran baru telah dimulai. Clea
melangkahkan kaki menuju sekolah barunya sebagai murid baru kelas 2 SMA. Gadis
berambut kepangan dua itu memasuki ruangan kepala sekolah, Mrs. Renata.
“Permisi, Bu. Saya Clea, murid baru...”
“Ssst...”
bisik Dominic pada Wolfram, bos dari kalangan anak-anak jahil, “ada murid baru,
Bos! Tapi dilihat dari penampilannya... cupu abis!”
“Biar
saja. Ini tugas kita. Kita buat dia nggak betah berada di St. Orchid!” jelas Wolfram
sambil menyeringai jahat.
Clea
memasuki kelasnya yang baru bersama dengan Mrs. Renata. “Anak-anak,” kata Mrs.
Renata hendak memperkenalkan murid baru yang memasuki kelas Wolfram, “saya
punya teman baru untuk kalian. Ayo, perkenalkan dirimu.” Mrs. Renata
mempersilahkan Clea memperkenalkan diri.
“Nama saya Clea
Allison. Saya pindahan dari St. Trevor. Mohon bantuannya,” ucap gadis
berkacamata itu. Tiba-tiba... PLUK!
“Auw...” rintih Clea kesakitan ketika sebuah buntelan kertas melayang mengenai
kepalanya.
“Turun kau, anak
culun! Pindahan dari kampung lagi!” kata Dominic sambil tertawa puas. Tawanya
diikuti oleh anak-anak geng yang lain, tak terkecuali Wolfram. Namun, ada
sesuatu yang dipikirkannya. ‘Clea... Allison...? Kenapa dia ada disini?!’
pikirnya dalam hati. Wolfram mengenal Clea? Benarkah?
Mrs. Renata mendekati
bangku Dominic dan mengumpatnya dengan beberapa kata kasar namun tetap anggun
dan sopan. “Anak-anak, saya harap kalian dapat mengajarkan yang baik pada Clea.
Ia pindahan baru, jadi masih belum tahu aturan-aturan yang berlaku. Saya
meminta kalian membimbingnya,” kata Mrs. Renata, “sekian dari saya. Pelajaran
akan kembali dilanjutkan. Clea, silahkan kamu duduk di belakang laki-laki
berambut jabrik itu,” kata Mrs. Renata lagi sambil menunjuk ke arah Wolfram.
“Hai,” sapa Clea saat
ia telah duduk di bangkunya. Wolfram tak mengacuhkannya. Clea memakluminya dan
membetulkan kaca matanya yang melorot. “Boleh pinjam buku catatannya? Sekarang
sudah sampai mana ya?” tanya Clea sekali lagi pada Wolfram. Wolfram terpaksa
dan mau tak mau memberikan bukunya. Clea memperhatikan label namanya. “Wolfram...?
Kau Wolfram?!” kata Clea setengah percaya dengan apa yang dilihatnya. Bahwa
teman masa kecilnya ada di sini!
“Kau siapa? Aku tidak
menenalmu!” kata Wolfram tak acuh. Clea berdiri dari dudukannya secara spontan.
“Aku pindah ke sini
karena ingin mengejarmu!” sorak Clea kegirangan karena menemukan pangeran masa
kecilnya yang hilang. Namun...
“Hei, murid baru,
jaga sikapmu. Meskipun kau murid baru, pelajaran sedang berjalan. Kangen-kangenannya
nanti saja,” kata Mr. Bradford, guru Bahasa Inggris sedikit membentak Clea. Clea
kembali duduk dengan wajah memerah karena malu. Sedangkan seisi kelas sedang
menertawakan tingkah konyolnya.
***
“Gadis
cupu itu mengejarmu? Tidak mungkin kan? Apa kau mengenalnya?” tanya Dominic
pada Wolfram yang saat itu sedang duduk bersila di kursi kantin. Wolfram
geleng-geleng kepala sambil tetap menyeruput es kelapa muda yang ada di
tangannya.
Tiba-tiba,
Clea menyembul dari arah ruang penjaskes dan berjalan ke arah Wolfram. “Fram,
ini aku, Leah!” kata Clea tanpa ada rasa takut, “Leah Leah Fram!” kata Clea
lagi sambil menari kecil dan tak jelas. Dominic tertawa karena ulahnya yang
memalukan.
“Kenapa kau selalu
mempermalukan dirimu sendiri? Siap-siap pindah sekolah lagi ya,” ancam Dominic
dengan nada lembut. Wolfram tersenyum menyeringai yang terlihat palsu. Namun, Clea
tak bergeming.
“Meskipun kau tak
mengingatku, akan kubuat kau ingat kembali padaku!” teriak Clea sambil berlari
lagi menuju kelas, meninggalkan Wolfram yang masih terpaku di kantin, menikmati
es kelapa mudanya. ‘Leah... bebekku yang lucu. Aku masih mengingatmu, namun,
aku tak mungkin lagi dapat menerimamu. Aku... sudah hancur, Leah... hancur,’
pikir Wolfram dalam hatinya, ‘maaf, aku tak punya pilihan. Aku akan membuatmu
membenciku karena aku mencintaimu. Sedari dulu hingga sekarang...’
“Hei, Fram. Ayo,
masuk kelas. Bel sudah bunyi tuh. Kamu kenapa sih? Mikirin apa?” tanya Dominic
ingin tahu. Tapi, Wolfram hanya geleng-geleng kepala lalu menggandeng Dominic
masuk kelas.
***
Semenjak
Clea bersekolah di St. Orchid, Wolfram, Dominic, Nathan, Andrew, Gale, dan
kawanan jahil lainnya, mulai menjalankan aksi jahilnya yang membuat Clea tak
tahan. Misalnya, hari ini...
“Aduh...”
rintih Clea saat dirinya diperintah Mr. Karm untuk maju mengerjakan soal
aljabar di depan kelas. Rintihan Clea itu terdengar karena saat ia hendak
mengambil buku di tasnya, ia menyentuh beberapa silet tajam yang mengarah tepat
ke jarinya. Teman-teman sekelas tertawa berbisik agar tak didengar oleh sang korban.
Namun, bagaimana pun usaha mereka untuk menyembunyikannya, Clea tetap
mendengarnya. Clea membiarkannya dan hanya bisa mengelus dada.
Tapi,
semua aksi jahil itu tak berakhir hari itu. Keesokan harinya, ketika istirahat
tiba, ia mendapati sekresek penuh kecoa, binatang yang sangat dibencinya. Ia
berteriak-teriak ketika hewan berantena itu merambati tangannya yang lembut. “AAA!!! TOLONG AKU! SINGKIRKAN HEWAN ITU!
HUSH HUSH!” teriaknya sambil berlari naik meja. Ia menutup matanya karena
tak ingin melihat hewan itu merambati tasnya. Tak lama kemudian, Mrs. Vero
memasuki kelas karena kaget mendengar teriakan Clea yang nyaring dan menggema
di lorong.
“Ada apa ini?! Clea,
turun dari meja itu!” bentak Mrs. Vero ketika mendapati Clea menaiki meja.
“Ada kecoa, Bu! Di
laci meja saya!” kata Clea setengah histeris ketakutan. Mrs. Vero mengecek
kebenaran laporan Clea. Namun... tak ditemukannya hewan berantena itu dimana
pun.
“Kau ini terlalu
mengada-ada. Sudahlah. Jangan bersikap manja seperti anak kecil. Cepat turun
dan benahi kelakuanmu,” kata Mrs. Vero lalu segera pergi dari kelas. Istirahat
hari itu membuat Clea pucat pasi sepanjang hari. ‘Ternyata sampai saat ini, Leah
masih takut kecoa,’ kekeh Wolfram dalam hati, ‘sekali lagi maaf, Leah. Aku
harus membuatmu membenciku. Agar kau menjauhiku. Dan tak ingin mengenalku
lagi...’
Keesokan harinya,
kejahilan yang sama kembali dialami Clea. Ketika ia berada di kamar mandi untuk
membetulkan seragamnya yang sedikit berantakan, seseorang menguncinya dari
luar. Lalu terdengar suara beberapa orang gadis tertawa cekikikan. “Ada-ada
saja ide Wolfram untuk mengerjai Clea yang kampungan itu,” ucap gadis-gadis
centil itu sambil tercekikik. Clea kesal sekaligus terkejut dengan apa yang
baru saja ia dengar.
‘Wolfram? Kenapa Wolfram?
Jadi, dia yang mengerjaiku sedari kemarin? Yang memberiku sekresek kecoa itu?
Ia memang menjadi bos geng jahil di sekolah ini. Tapi, masa dia tega
menjahiliku seperti ini? Tidak. Aku ingin mempercayainya sampai akhir,’ ujarnya
dalam hati. Tak lama setelah itu, tiba-tiba, seember air dingin mengguyur
tubuhnya seperti hujan di musim dingin. Sudah terkunci, basah kuyub lagi. Ia
terkurung sepanjang istirahat hari itu. Hingga Mrs. Andien, guru pengurus UKS,
menemukannya dan membawanya ke ruang kesehatan karena demam. Keesokan harinya,
ia tidak masuk karena sakit.
Beberapa hari
kemudian, Clea mulai masuk sekolah dengan dandanannya yang khas. Berkepang dua
dan berkacamata. Di hari itu, kesialan terbesar dialaminya. Ketika istirahat
tiba, ia tak bisa berdiri dari dudukannya. “Ada apa?” tanya Sherly, seorang
gadis centil yang jarang sekali menyapa Clea. Ia tahu bahwa ini keisengan lagi,
sebab Sherly terkekeh melihatnya berusaha melepas dudukannya dari kursi.
“Sebentar, akan kutengok bagian kursinya,” kata Sherly lagi berpura-pura baik.
“Ups! Ada lem di kursinya. Kuharap, kau nyaman dengan kursi barumu. Hihi...”
Sherly pergi begitu saja. Clea terdiam... sedang Dominic dan Wolfram tertawa
senang dengan apa yang telah dialami Clea.
Clea terus menunduk,
tak bergerak dan tak berbicara. Dominic terus tertawa, sedangkan Wolfram sudah
mulai menampakkan kekhawatirannya. ‘Ada apa dengannya?’ tanyanya dalam hati. Ia
mendekati Clea. “Kau kenapa?” tanya Wolfram.
Clea tak menjawabnya.
Lalu tiba-tiba, jatuh setitik air mata dari pelupuk matanya. “Apa kau sudah
puas?” tanya Clea sambil tersenyum manis menghadap Wolfram. “Awalnya, aku tak
percaya bahwa kau adalah dalang di balik ini semua. Aku tak ingin percaya
dengan bukti-bukti yang ada di sekitarku. Tapi sekarang... baiklah, aku takkan
mengganggumu lagi. Selamat... kau berhasil membuatku menyerah menggapaimu.”
“Untuk apa kau
memperhatikannya, Fram?! Kau ini... hahaha...” kata Dominic tak bisa menahan
tawanya. Ia menggaet tangan Wolfram dan keluar kelas. Kini tinggal Clea saja di
kelas. “Aku tak ingin percaya bahwa itu kau... Fram... pangeranku yang
hilang... aku telah kehilangan pangeranku sekarang. Lalu... untuk apa lagi aku
berada di sini?” gumam Clea sambil terus menangis.
***
“Wow...
siapa gadis itu?!” tanya Nathan ketika seorang gadis cantik jelita, berambut
ikal, berlensa coklat, dan tinggi menyusuri lorong. “Murid baru ya?”
“Wah...
ada gadis secantik ini, tak boleh di sia-siakan!” sahut Dominic, tangan kanan Wolfram.
Wolfram mengangakan mulutnya... sebab ia tahu siapa gadis itu.
“Dia...
Clea...” katanya setengah tak percaya dengan gadis cantik di depannya. Gadis
itu menatapnya dengan mata indahnya.
“Hai...”
sapanya sambil tersenyum ramah, lalu berlalu begitu saja, tanpa ada rasa
apapun. ‘Apa itu kau, Gadisku? Kenapa kau... jadi sejelek itu...? Kenapa kau
tidak seceria yang biasanya? Meski kau cantik secara fisik, kenapa separuh
dirimu seperti hilang? Aku tak merasakan Clea yang dulu lagi... kemana dia? Apa
dia telah membenciku?’ pikir Wolfram. Tak terasa, air matanya menggenang di
pelupuk matanya.
“Seharusnya,
aku senang dengan ini semua,” gumamnya lirih. Dominic memandangnya.
“Apa yang baru saja
kau katakan?” tanya Dominic tak mendengar Wolfram. Ia hanya memperhatikan gadis
cantik itu.
“Tidak, aku tak
berkata apa-apa,” jawab Wolfram berusaha menutupi kesedihannya.
“Tak kupercaya gadis
itu Clea!” kata Dominic sambil menepuk dahi.
***
Hari-hari
berlalu dengan dingin. Clea menjadi gadis populer di Sr. Orchid dalam waktu
seminggu. Wolfram dan gengnya sudah tak lagi mengganggu Clea. Malah
mengaguminya. Hingga suatu hari, Wolfram yang duduk di depan Clea, mulai merasa
hampa. “Leah, boleh aku pinjam kamus?” tanya Wolfram.
“Boleh.
Pinjam saja,” kata Clea tanpa memandang Wolfram. Ia terlalu memperhatikan buku pelajarannya.
“Dimana
kamusnya?” tanya Wolfram berusaha agar Clea menatap dirinya.
“Bukannya
di hadapanmu persis? Sudahlah, jangan menggangguku,” kata Clea tak acuh sambil
tetap memperhatikan bukunya dan menulis. Wolfram mengambil kamus itu dengan
wajah sedih dan terpukul. Baru ia sadari... ia merindukan Clea dan
membutuhkannya. ‘Kini, ia benar-benar membenciku dan menjauhiku. Kenapa... aku
merasa sedih? Harusnya, aku senang kan?’ pikir Wolfram.
***
“Leah
Leah Fram!” kata seseorang dalam mimpi Wolfram.
“Fram
Fram Leah!” kata Wolfram menyahuti orang itu.
“Fram
Leah abadi selamanya!”
“LEAH!” teriak Wolfram terbangun tengah
malam. Ia mendapat mimpi, sesuatu yang sangat dirindukannya. “Leah... bodohnya
aku menyia-nyiakanmu hanya karena perceraian orang tuaku. Bukankah cinta
kita... abadi selamanya?”
***
“Leah,”
kata Wolfram mengejar Clea yang berjalan cepat, “aku ingin mengatakan sesuatu
padamu.”
“Cepatlah. Aku tak
punya waktu,” kata Clea tetap berjalan mengacuhkan Wolfram. Wolfram berlari,
tak ingin kehilangan Clea.
“Jangan seperti itu
padaku,” katanya.
“Apa maksudmu? Kau
siapa? Kau itu musuhku! Jelas aku tak ingin diganggu olehmu! Kalau tak ada yang
ingin disampaikan, cepat pergi dari hadapanku, dan jangan ikuti aku lagi,” kata
Clea semakin kejam. ‘Maafkan aku, Wolfram... sebab aku tak ingin menerima
kenyataan bahwa kau telah berubah... kini, kita hidup di dunia yang sama, tapi
jiwa kita serasa berbeda. Kau musuhku dan aku musuhmu. Persahabatan itu seperti
tak pernah ada dalam hati kita. Meski aku tak bisa melupakanmu, tapi bukankah
kau tak ingin kuganggu? Aku akan menjauhimu sebisaku,’ kata Clea lirih dalam
hatinya.
Wolfram dengan cepat
menggenggam tangan Clea. “Kumohon, jangan siksa aku seperti ini lagi...”
katanya lirih.
“Apa maksudmu?” tanya
Clea berusaha sekuat tenaga membendung air matanya.
“Aku...”
“Bukankah kau tak mau
kuganggu? Aku telah menjauhimu dan tak ingin mengenalmu. Puas kan? Aku sudah
tak mengganggumu. Apa lagi salahku kali ini, Fram...? Belum puaskah kau
menggangguku?!” kata Clea sambil menitikkan sebutir mutiara dari matanya.
Cepat-cepat, ia melepaskan genggaman tangan Wolfram dan pergi meninggalkan pria
itu sendirian dalam kemalangan.
“Kau... pergi
meninggalkanku...?” kata Wolfram bermonolog. Beberapa siswa yang melihat
kejadian itu hanya mengangakan bibir, tak percaya dengan apa yang baru saja
mereka saksikan. Wolfram? Cowok super kejam itu menyatakan cinta? Pada Clea?
***
Makin
hari, Clea makin dingin pada Wolfram. Begitu juga dengan Wolfram. Mereka berdua
seperti sedang berada di tengah zaman dimana berbicara adalah hal yang
dilarang. Jarang sekali mereka berbicara. Mungkin hanya sekedar urusan
pelajaran. “Leah, ada yang ingin kubicarakan,” kata Wolfram mencoba untuk
mengakhiri semua perang dingin di antara mereka.
“Tak
ada yang perlu dibicarakan lagi,” kata Clea lalu menghindari Wolfram. Wolfram
meringkuk seorang diri dalam keheningan suasana kelas.
“Bukankah
ini keinginanmu, Fram? Kini, ia membencimu! Bukankah... ini yang kau kehendaki,
Fram? Agar ia membencimu?! Lalu, kenapa sekarang aku seperti hidup dalam
kehampaan??!” teriak Wolfram dalam kesendiriannya. Ia mulai dirundung depresi
seorang diri. “Ya, Leah... bencilah aku seperti kau mencintaiku dahulu kala...”
***
“Leah,”
ucap Wolfram pada Clea saat mereka berpapasan di lorong kelas, “aku ingin...”
“Oh, Lenathan! Kau
habis darimana saja? Kutunggu sedari tadi,” kata Clea malah berlari menghampiri
seorang cowok di belakang Wolfram. Ia berusaha untuk cuek dengan perkataan dan
sapaan yang diungkapkan sahabat masa kecilnya itu. ‘Maafkan aku, Fram... aku
harus tega melakukannya padamu. Itu kan yang kau inginkan?’ pikir Clea dalam
hati. Tak terasa, air mata sudah hampir terjatuh dari bak penampungannya.
Wolfram yang mulai sadar bahwa Clea menghindarinya akhirnya menjauhi Clea dan
berjalan ke arah berlawanan. Clea berjongkok sambil mengelap air matanya.
“Clea? Kau kenapa?”
tanya Lenathan yang bingung dengan sikap Clea. Clea berusaha menghentikan air
matanya. Tapi tak bisa... ‘Kenapa kau tak bisa melihatku? Aku datang jauh-jauh
ke sini, hanya untuk dirimu. Bukan yang lain. Namun, kenapa kau juga tak bisa
melihatku? Apa kau sudah benar-benar tak mengenaliku lagi?’ pikir Clea dalam
hati. “Clea, apa kau sedang sedih? Kalau begitu, boleh aku menghiburmu? Izinkan
aku untuk memasuki ruang hatimu. Sebab, aku mencintaimu...”
***
“Guys!
Ada berita heboh!” seru Nathan sambil berlari ke arah Wolfram dan kawanannya.
“Berita
apa? Kau ini mengagetkanku saja!” seru Dominic seraya memukul kepala Nathan.
Nathan mengaduh kesakitan sejenak, lalu melanjutkan perkataannya.
“Percaya
nggak Clea sudah punya pacar?” DEG...
jantung Wolfram serasa berdetak semakin cepat. “Gosipnya, sang ratu baru di
sekolah kita itu sekarang sudah berpacaran dengan si ketua OSIS yang kuakui
memang cool, Lenathan!”
“Lenathan?!” sorak
Wolfram terkejut dengan pernyataan yang baru saja ia dapat.
“Iya. Ada apa?” tanya
Nathan yang bingung melihat tingkah laku bosnya. Dominic dan kawanan yang lain
malah tertawa cekikikan mendengar gosip itu. Sedangkan Wolfram buru-buru
mencari Clea di seluruh ruangan.
“Wolf! Kau mau
kemana?!” teriak Dominic mencoba mengejar bosnya itu. Namun... tak berhasil...
***
“Aku tahu aku salah.
Selama ini, kau tak salah dalam hal apapun. Akulah yang memungkiri kenyataan!”
kata Wolfram cepat-cepat ketika menemukan Clea di ruang OSIS yang sedang sepi.
Maklumlah begitu, sebab Clea memang baru saja diangkat menjadi sekretaris OSIS.
“Apa maksudmu?” tanya
Clea yang tak mengerti apapun yang diucapkan Wolfram padanya.
“Kau pacaran dengan
ketua OSIS kan?” tanya Wolfram dengan nafas masih tersengal-sengal. Ia
membungkuk 90° sambil mengelap keringat yang mengucur dari dahinya.
“Hah? Kenapa ada
berita seperti itu? Nggak kok. Lenathan memang menyukaiku, tapi... aku
menolaknya,” jawab Clea sambil berusaha sekuat tenaga agar ia tak terlihat
memberi harapan pada Wolfram, ia berwajah datar seolah cuek dengan kedatangan
Wolfram.
“Syukurlah aku tidak
terlambat...” ucap Wolfram spontan, membuat hati gadis yang ada di hadapannya
itu berbunga-bunga, “sebenarnya, Leah, aku mengenalmu. Aku adalah Wolfram,
teman masa kecilmu yang kau cari itu. Aku berusaha keras untuk menutupi segala
kekacauan yang terjadi di hidupku sekarang. Aku tak ingin kau tahu bahwa...
orang tuaku sudah bercerai. Aku ini anak terlantar. Ibu berselingkuh dan Ayah
nggak tahu kemana. Kumohon, maafkan aku... aku hanya tak ingin kau mengetahui
parahnya kondisi keluargaku. Aku...”
Tanpa pikir panjang, Clea
memeluk Wolfram dan menangis di pundaknya. “Separah apapun keluargamu, aku tak
peduli. Yang jelas, kau ada di sisiku. Hanya itu yang kuinginkan. Jika kau
berpikir bahwa aku akan membencimu hanya karena kondisi keluargamu, kau salah
besar. Sebab rasa sayangku padamu jauh lebih besar dibanding apapun. Jadi,
kumohon... jangan tindas aku dan jangan paksa aku untuk membencimu lagi...
sebab itu menyakitkan.”
“Tidak akan. Aku
takkan menyia-nyiakanmu untuk kedua kalinya. Aku tetaplah aku... Wolfram. Dan
kita akan abadi selamanya. Fram Fram Leah! Fram Leah abadi selamanya...” kata Wolfram
dengan mata berkaca-kaca. “Jadi... kumohon. Cintailah aku seperti kau
membenciku. Ya, Bidadariku...?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar