Salam Perkenalan

Hey Guys and Gurls! Blog ini bukan private blog yang artinya di sini ada banyak banget informasi, lirik, dan berbagai macam tulisan yang pastinya cool and interested to the max! So, if you like it, just post a comment and I'll read it soon, surely. And sure, kalian juga bisa kasih kritik dan saran buat blog ini supaya bisa maju dan nggak cuma gini-gini doang. So, it’s our kingdom, will you join with us?

Jumat, 14 Desember 2012

Treasure of My Heart


Treasure of My Heart

 By: Valeska Valkyrie

Namaku Gabrielle. Aku adalah gadis yang tidak pintar sama sekali, not smart at all. Aku juga seorang gadis yang biasa saja. Karena semua itulah… aku merasa diriku ini tak berguna untuk berada di dunia yang seindah ini. Merasa Tuhan mungkin menciptakanku berdasarkan kesalahan terbesar yang pernah dimiliki-Nya. Caci maki sudah menjadi makananku sehari-hari dari keluarga dan kedua orang tuaku. Aku tidak sepintar kakakku, Nanda, dalam hal apapun. Aku selalu bertanya-tanya, untuk apa aku hidup bila hanya ini yang kuterima? Namun… berawal dari satu masalah kecil dalam hidupku, aku mulai memandang segalanya dari sudut pandang yang berbeda. Dari itu semualah aku memulai segala perubahan dalam hidupku…
***
            “Ya ampun, Yo!” kataku pada sahabatku, Yoel, “catatan matematikaku mana?”
            Yoel mengobrak-abrik mejanya, berusaha mencari catatan matematika yang mungkin terbawa olehnya. “Nggak ada tuh. Kamu lupa naruhnya kali… coba kamu inget-inget lagi. Apa nggak ketinggalan di rumah?”
            Aku mencoba mengingat-ingat apa yang kulakukan pada catatan matematikaku. Mmm… karena hari ini ulangan matematika, kemarin lusa aku membawanya dan membaca buku catatan itu. Lalu… setelah membacanya… mmm… aku meletakkannya di samping bantal tidurku, dan aku tertidur. Pada pagi harinya, aku kembali membawa catatan matematikaku untuk… mmm… apa ya? Ah… aku lupa! “Aku nggak inget, Yo. Aku lupa, kapan terakhir kali aku melihatnya… aku lupa! Argh…! Gimana nih? Aku ini goblok di setiap mata pelajaran! Dan hanya matematika ini pelajaran yang membuatku merasa pintar… nah, sekarang, aku nggak tahu harus apa. Kurang sepuluh menit lagi pelajarannya Bu Lily, aku harus gimana?! Aku nggak inget!” kataku panik dengan mata berkaca-kaca.
            “Masa kamu nggak inget sedkit pun tentang rumus-rumus yang pernah diajarin itu?” Tanya Yoel. Aku menggeleng dengan wajah memelas, seperti orang hendak menangis seember.
            “Mana aku ingat?! Dalam keadaan panik gini! Ah… aku paling benci keadaan kayak gini! Nge-blank semua kan jadinya?! Urgh!! Resek!!!”
***
            “Gaby!” teriak Yoel sambil membawa selembar kertas dari kejauhan. Ia berlari sambil melambai-lambaikan kertas itu padaku dengan wajah cemas bercampur sedih. Saat ia sudah sekitar satu kaki dariku, ia berkata, “matematikamu… dapat dua puluh tiga, Gaby! Dua puluh tiga! Kamu yang biasanya dapat sembilan puluh dan seratus itu… dapet dua puluh tiga! Oh my! Bayangin, Gab!”
***
            “Maaf untuk Gaby, Ibu melakukan ini karena nilai kamu yang menurun untuk bab logaritma ini. Padahal bab logaritma ini adalah bab pokok untuk olimpiade matematika yang akan kamu ikuti. Jadi… maafkan saya untuk keputusan yang mendadak ini. Ibu akan mengganti posisimu sebagai peserta olimpiade dengan Harris,” kata Bu Lily mengumumkan sesuatu yang membuatku sangat shock. Tahu kenapa? Karena saat Mama dan Papa mendengar aku akan mengikuti olimpiade, mereka sangat senang sekali. Ugh…!
***
            “Gimana nih, Yo?” kataku sambil terisak, “aku harus gimana biar Mama dan Papa nggak kecewa waktu tahu aku dicabut dari olimpiade cuma gara-gara catatan matematikaku hilang! Aku harus gimana?!”
            “Aku nggak mau kalo nanti kamu bohong malah menambah masalah. Bilang saja terus terang. Toh… orang tua tahu apa yang terbaik untuk anaknya. Mereka memarahimu pasti ada sesuatu…” Tahu tidak sih kalo Papa dan Mama hanya membanding-bandingkanku dengan Kak Nanda?! “Ini yang bisa aku omongin sekarang. Kuharap… masalahmu cepet selesai.”
            Yoel, cowok paling cuek yang pernah kukenal itu, terdiam… terhening sambil memalingkan wajahnya. Entah kenapa, cowok cuek ini bisa menjadi sahabat sebangku, sahabat seperjuangan, dan sahabat dekatku. Ugh… kenapa aku malah menceritakan ini pada Yoel? Padahal… aku masih punya Chris, pacarku…
***
            “Chriss…” kataku merengek pada cowok manjaku yang satu itu, “gimana nih? Mama dan Papa pasti marah besar padaku!”
            Chris terlihat sibuk sebentar dengan handphonenya. Siapa sih? Bahkan karena handphone, dia tak menghiraukanku? “Oh… maaf, orang tuaku mengirimiku sms, menyuruhku untuk pulang cepat karena Nenekku masuk rumah sakit,” katanya, “mmm… bagaimana kalau kau bilang saja bahwa Bu Lily itu orang yang pilih kasih? Bilang saja, dia lebih tertarik pada Harris, mentang-mentang Harris orang kaya.”
            Aku terdiam sejenak. Ya ampun… aku sungguh orang yang tega bila aku sampai mengatakan dusta sekejam itu pada orang tuaku karena kesalahanku sendiri? “Tidak tidak. Aku tak bisa bohong kayak gitu… alasan lain bisa?”
            Chris fokus kembali pada handphonenya. Setelah sejenak ia membalas sms yang masuk ke handphonenya, dia berkata, “maaf sayang, Papa minta sekarang juga aku pulang. Nenek kritis di rumah sakit. Mmm… aku tahu dan percaya, kamu pasti tahu apa yang terbaik buat kamu, sayang… aku percaya sama kamu.” Perkataannya itu membuatku kuat kembali. Love you, Chris…
            “Huft… iya, makasih sayang. Kamu udah buat aku kembali kuat…”
***
            Dengan perasaan berat, aku melangkahkan kakiku di jalan setapak dekat rumahku. Dengan takut-takut, aku melangkah sambil memikirkan apa yang akan terjadi jika aku mengatakan alasan sesungguhnya pada Mama dan Papa. Namun tak pernah kusangka, kaki ini sudah membawaku sampai di depan rumah. Aku sudah tak sempat berpikir lagi… sudah saatnya aku menghadapi mereka…
            “Apa katamu…? Kau gagal ikut olimpiade? Kenapa? Apa alasan Bu Lily mengeluarkanmu?” tanya Papa sambil sesekali menengok koran yang dipegangnya.
            Aku menelan ludah sesaat lalu menjawab, “mmm… anu, Pa. nilai ulangan matematikaku bab logaritma… dua puluh tiga…”
            “Dua puluh tiga? Kamu niat sekolah atau nggak, Gab?! Jangan buat malu Mama!” sahut Mama sambil membanting piring plastik di tangannya, “kamu mau jadi apa sekarang? Semua mata pelajaran dapet nilai dibawah tujuh puluh. Nggak usah sekolah aja sekalian!”
            “Lho, tapi Ma, ulangan matematikaku kali ini dapet jelek karena…”
            “Udah cukup, Gab! Papa kecewa sama kamu! Coba donk kamu tiru kakak kamu, Nanda. Cewek cantik yang pinter dalam segala hal!” sela Papa.
            Seketika itu… aku lemparkan tas sekolahku tepat dihadapan mereka. Dengan tetes air mata yang tak dapat kuhentikan, aku berkata, “pernah nggak… sekali aja, Papa dan Mama nggak bandingin aku sama Kak Nanda? Iya Ma, Pa, Gaby tahu, Gaby nggak kayak kak Nanda yang cantik dan pinter. Tapi… ini Gaby bukan Nanda. Pernah nggak Mama atau Papa mau ngerti gimana perasaan Gaby? Selalu dibanding-bandingin setiap saat? Kak Nanda begini lah, begitu lah… Gaby capek Pa, Ma. Pernah nggak kalian mau ngerti Gaby sedikit, hah? Bukan Gaby mau bantah Mama dan Papa, tapi Gaby udah capek sama sikap kalian yang selalu kayak gini. Padahal Kak Nanda juga pernah ngelakuin kesalahan, kenapa selalu Gaby yang kena imbasnya dan Kak Nanda nggak? Pernah nggak Papa dan Mama mau dengerin penjelasan Gaby sekali aja? Selalu diselat dan bilang ‘kecewa’ ‘sedih’, Gaby tahu. Gaby juga sadar kalo kehadiran Gaby cuma bikin kalian malu. Padahal… ulangan Gaby kali ini dapet jelek gara-gara catatan Gaby hilang. Dan sekarang… Gaby cuma bisa berharap… seandainya Gaby nggak pernah terlahir di dunia ini…”
            Setelah berkata panjang lebar, Papa dan Mama terdiam terpaku dan membiarkanku pergi dengan tetesan air mata deras yang tak terbendung…
***
            Pikiranku kosong, jantung dan otakku bergemuruh… serasa seluruh dunia mengolok dan mencaci-makiku. Aku capek dengan segala kondisi yang menyalakanku? Apa aku tidak boleh bahagia, Tuhan… walau hanya sekali? Kenapa aku tak mendapat kebahagiaan yang kuinginkan sampai sekarang, Tuhan? Kemana Kau ambil orang tuaku yang dulu sayang padaku? Sekarang… hanya ini Tuhan yang ingin kutanyakan pada-Mu… “Andai aku mati saat ini juga… apa yang akan dikenang orang-orang tentang diriku?”
            TIIINNN!!! BRAK!!
***
Ah… aku ada dimana? Aku bangun di tempat yang dingin dan sunyi. Aku melihat cahaya yang terang di depan mataku. Siapa itu? “Gaby, Aku telah mengabulkan apa yang kau harapkan. Kini, giliranmu untuk mencari tahu… apa yang menjadi pertanyaanmu… Kuharap… kau tak pernah menyesal dengan keputusan dan perkataanmu…”
***
            Aku kembali terbangun di tempat yang berbeda. Sepertinya… aku kenal tempat ini. Sering ada di film-film dan sinetron-sinetron yang sering ditonton Mama. Ini… di rumah sakit… tapi, kenapa aku ada disini? Dan… kenapa ini? Aku sudah berdiri, tapi… aku tak bisa bicara?! Terlihat Papa dan Mama segera masuk ruangan dan melihat tepat ke arahku! Ups… dan tak lupa, dengan mata melotot! Astaga! Apa yang akan mereka lakukan?! Apa aku akan dimarahi karena kekasaranku tadi? “GABY!!” Mama memanggil namaku dengan berteriak lalu berlari ke arahku. APA YANG AKAN TERJADI SELANJUTNYA?!
Aku menutup mataku untuk sesaat. Lalu… aku mengintip sedikit ketika terdengar suara isakan yang kutahu adalah suara Mama. Aku membuka mataku perlahan dan mendapati… Mama menangis tersedu-sedu sambil memeluk seseorang dibalik kain putih menutupi wajahnya. Siapa itu? Lalu… kenapa mereka tak melihatku? “Tenang, Ma. Ikhlaskan saja… mau bagaimana lagi? Ini memang salah kita, kedua orang tuanya. Andai kita tak melakukan hal itu… padahal… itu adalah cara untuk memacu motivasinya,” kata Papa merangkul pundak Mama dan… tak kusangka, ia juga mengeluarkan setetes air mata. Kedua orang tua ‘nya’? Apa itu… Kak Nanda?! Kakakku yang cantik dan Perfect itu… meninggal…? Aku lebih bisa disebut sedih saat ini dibanding senang. Sebenci-bencinya aku dibanding-bandingkan dengan Kak Nanda, Kak Nanda tak pernah kasar padaku, selalu baik dan mengajarkanku segala yang tak kuketahui. Dan sekarang…
BRAK! Pintu ruangan dibuka keras oleh seorang wanita cantik yang kukenal… lho… Kak Nanda? Bukannya… dia… “Ma, Pa,” kata Kak Nanda turut menangis dan terisak, “apa benar itu… Gaby?”
DEG! Jantungku berdegup kencang ketika namaku disebut-sebut. Mama dan Papa mengangguk sambil membuka kain penutup. Dan… AKU MENDAPATI TUBUHKU TENGAH TERBARING PUCAT DISANA…! Oh… tidak! Tidak! INI PASTI KESALAHAN!
Aku berlari sekuat tenaga, tak ingin mempercayai apa yang baru saja kulihat. Aku tidak mati! Aku pasti masih hidup! Tapi sekuat tenaga aku berlari, tetap tak ada orang yang memperhatikanku. Seolah… aku berlari seorang diri di dunia yang bukan duniaku… lalu… untuk apa aku ada disini?
***
Akhirnya… kuputuskan untuk pergi ke rumah Chris sambil merenung. Aku ingin tahu bagaimana keadaan Chris. Aku memasuki rumahnya dan melihat Papa dan Mamanya sedang makan di ruang makan. “Ma, katanya, ada teman Chris yang meninggal ya?” tanya Pak Charles, Papanya Chris. Ha? Pasti yang dimaksud aku…
“Mama denger-denger sih begitu. Tadi sore tertabrak truk saat pulang sekolah, katanya. Chris sendiri nggak sebegitu tahu,” kata Bu Rere, Mamanya Chris. Oh… iya ya, Chris kan tadi pergi ke rumah sakit… “Chris kemana ya jam segini belum pulang, Pa?” lho… bukannya Chris… ada di rumah sakit?
“Nggak tahu deh, Ma. Anak itu kalo nggak di sms nggak akan pulang. Padahal udah dari tadi Papa mau sms dia. Dibiarin malah tambah ngelunjak,” kata Pak Charles. Hah? Bukannya tadi… Chris dapet sms dari Papa dan Mamanya ya? Katanya… Neneknya masuk rumah sakit? Lho… dia… bohong?
“Duh… anak itu memang susah dibilangin sudah capek Mama ngadepin anak yang satu itu…”
“Moga aja dia bisa mengubah sikap…”
***
            Aku berjalan menjauh dari rumah Chris. Berusaha berpikir jernih atas apa yang terjadi dengan pacarku. Apa maksud kedua orang tua Chris? Jadi… Chris itu anak nakal yang susah diatur? Dan juga… pembohong? Lalu… dia ada dimana sekarang? Atau jangan-jangan… dia sedang menjengukku di rumah sakit?! Ah… semoga saja!
            Aku kembali berlari menuju rumah sakit. Saat aku melintasi alun-alun kota… aku melihat Chris berada di sana… berdua dengan seorang cewek. “Sayang… aku nggak akan bisa hidup tanpa kamu. Andai kamu tahu, aku itu sayang banget sama kamu,” kata Chris membuat mataku terbelalak tak percaya dengan apa yang baru saja kulihat.
“Lalu, bagaimana dengan Gaby-mu itu?” kata cewek di sebelahnya.
Chris menggenggam tangan cewek itu lalu berkata, “katanya hari ini dia tertimpa musibah dan meninggal. Apa yang udah terjadi biar aja terjadi. Anggap saja dia masa laluku. Toh… aku tak pernah mencintainya.” MENJIJIKKAN! Tak pernah kusangka… cowok yang kupercaya selama ini… menusukku dan mengkhianatiku dari belakang?
            Aku kembali berlari menuju rumah sakit. Semuanya sudah terlanjur terjadi… aku telah salah menilai orang. Dan… kedua orang tuaku… tak pernah kusangka akan kehilanganku seperti ini…
Sesampainya di rumah sakit, aku berharap setidaknya sahabat-sahabatku menjengukku… melihat mereka datang saja sudah pasti akan membuatku sangat senang. Ternyata… Henry, Gloria, Grace, Viona, Randy, Marcus, dan Jessica datang! Aku merasa sangat senang… karena setidaknya, aku masih dihargai. “Tak kusangka… Gaby akan meninggal secepat ini,” kata Gloria sambil terisak.
“Seandainya kita lebih memperhatikannya ya… aku nyesel deh…” kata Grace menyahuti.
“Kita ikhlaskan saja. Mungkin di alam sana… dia sudah lebih bahagia daripada disini…” kata Randy sambil mengusap setitik air mata yang ada di pucuk matanya. Meski tak terlihat, aku melihatnya. Ya ampun… aku tak salah memiliki sahabat seperti mereka. Tapi… kenapa… Yoel tidak ada? Apa dia… tak menyukaiku dari awal?
***
            Keesokan harinya, setelah sehari kulewatkan dengan penuh air mata, melihat apa yang tak pernah kulihat sebelumya, aku memutuskan untuk pergi ke sekolah…
            “Anak-anak,” speaker sekolah berbunyi pagi-pagi, sesaat setelah bel masuk sekolah berbunyi, “kami pihak sekolah ingin memberitahukan sebuah berita duka. Teman kita semua, Gabrielle Stefany, telah meninggal dunia siang hari kemarin karena kecelakaan. Maka dari itu, pihak sekolah mengadakan acara bakti sosial untuk diberikan pada keluarga yang ditinggalkan.” Setelah pengumuman itu, anak-anak di kelasku dengan hening menyumbang baksos itu. Yoel juga. Namun… ia terlihat berbeda. Wajahnya seperti orang ketakutan… ada apa, Yoel? Kenapa kau tak datang menemuiku? Sebelum aku dimakamkan…
            Gloria dan Grace memperhatikan Yoel sedari pagi. Dan aku mengamati mereka. Mereka berbisik-bisik sambil menunjuk-nunjuk Yoel lalu berdiskusi lagi dengan Randy dan yang lain. Ada apa?
            Saat istirahat, ketika Yoel sedang sendiri di kelas dengan tatapan kosong yang lebih kosong daripada biasanya, teman-teman yang sehari sebelumnya menjengukku mendatanginya. “Yo,” kata Randy, “kenapa kau tak datang menjenguk Gaby? Padahal… Gaby sudah menganggapmu sahabatnya!”
            Yoel hanya terdiam dan tak memandang mereka semua. Seolah jiwanya tak ada di sana. Ia menatap kosong pada bangku yang biasa kududuki. Aku menangis melihatnya… Yo… kau kenapa…? “Jawab, Yo! Kenapa kau tak menjenguk Gaby? Padahal… kau tahu pasti kan, Gaby menganggapmu sahabatnya!” bentak Viona.
            Yoel tetap tak menjawab. Ia tetap memandangi bangku kosong yang kini sudah tak kutempati itu. “Jawab Yoel! Jangan pura-pura budek deh! Ada apa sih sama kamu?!” bentak Grace mulai kehilangan kesabaran.
            Yoel tetap tak bergeming. Hingga akhirnya, Jessica, cewek tomboy itu, menampar Yoel keras. “Sadar, Yo! Gaby udah nggak ada!”
Seketika itu, tatapan Yoel berubah. “Kamu juga tahu kan Yo…” Gloria menyelat dengan air mata mengalir di pipinya, “bahwa Gaby menunggumu…?” Yoel menunduk sesaat lalu mendongak. Ia… menangis.
“Karena aku tahu Gaby menungguku… aku tak akan datang. Aku nggak ingin mengetahui fakta tentang apalah sebagainya yang bilang… Gaby udah nggak ada. Aku akan tetap menganggapnya ada… dan sedang ada di sekitar kita, mendengar pembicaraan kita lalu tertawa seperti biasanya… jadi, jangan pernah ingatkan aku kalo Gaby udah nggak ada. Aku nggak akan mau denger kalimat macam itu.” Aku terdiam sesaat. Ya… aku ada di sekitar kalian. Mendengar kalian namun setelah itu… aku tidak tertawa… melainkan menangis. Betapa bodohnya aku hingga memutuskan untuk memohon kematian.
            Aku berjalan di jalan setapak di sekitar sekolah. Memikirkan semuanya… aku tidak pernah mencintai orang-orang yang mencintaiku, malah mencintai orang yang tak layak kucintai. Aku sungguh sangat bodoh bila melakukannya. Dan sekarang… “aku menyesal… andai aku bisa kembali walau tuk ucapkan… aku mencintai kalian…”
            Dan seketika itu… cahaya terang kembali menyerang mataku. Dan ketika sadar, aku ada di sebuah tempat putih yang hening… sama seperti sebelumnya. Dan cahaya terang sperti sebelumnya, ada di depanku… “Kini kau berkata, kau menyesal. Bukankah ini yang kau inginkan?”
            “Maaf…” kataku, “aku ingin mati karena kukira… tak ada orang yang mencintaiku. Aku melihat hanya sekerjap mata saja, hanya sebelah mata. Maaf… hanya ini yang dapat kukatakan… aku menyesal…”
            “Ini yang kau mau kan?”
            “Ini memang yang kumau,” kataku, “jika tahu mereka semua akan bahagia bila aku tak ada, ini yang kumau. Tapi… kenapa semuanya menangis karenaku? Aku hanya ingin mereka yang kucintai bahagia di dunia ini… hanya itu…”
            “Mereka bahagia jika kau menemukan kebahagiaanmu. Apa kau menyesal telah meminta kematian?”
            “Sangat menyesal. Andai aku bisa kembali ke dunia… walau hanya sesaat dan menghabiskan waktu untuk mengucapkan tiga patah kata, aku mencintai kalian…”
            “Maka, kembalilah ke dunia. Dan perbaiki semuanya. Mulailah dari awal dan cintai siapapun yang menurutmu benar dan maafkan siapapun yang berbuat jahat padamu. Perbaiki hidupmu agar kau menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya, yang bahkan tak dapat dimiliki orang lain…”
***
            Ketika sadar, aku berada di pinggir jalan, sedang menangis entah karena apa. Aku hidup dan aku berwujud! Oh Tuhan…! Aku kembali hidup?! Ah… terima kasih! Aku sangat bahagia!
            Aku berlari sekencang-kencangnya hingga tak kurasa air mataku itu berubah menjad tangisan bahagia. Bahagia karena aku masih bisa berlari di jalan ini… karena aku masih bisa berteriak sekuat-kuatnya untuk meluapkan perasaan bahagiaku.
            Sesampainya di rumah, aku memeluk Mama dan Papa. Dengan tangisan bahagia… “Aku sayang kalian! Aku cinta kalian! Kalian orang tua terbaik yang pernah kumiliki. Untunglah aku terlahir… untung aku bisa hidup di rumah ini sebagai Gaby, anak kalian,” kataku sambil menangis…
            Mama dan Papa hanya bisa melongo sebentar lalu membalas pelukanku. “Iya, sayang. Kami juga mencintaimu. Maaf kalo sikap kami selama ini salah. Tapi… kami tak punya cara lain yang lebih efektif untuk menambah motivasi belajarmu. Kami ingin menaikkan motivasimu menjadi lebih baik dari sebelumnya. Maaf ya, sayang,” kata Papa.
            “Iya, sayang. Kami baru sadar kalo cara kami ini salah. Maaf sayang… dan terima kasih atas teguranmu,” kata Mama sambil menangis memelukku.
            “Tidak, Ma, Pa. Karena kalian, aku sadar akan satu hal. Orang tua ingin yang terbaik untuk anaknya, walau bagaimanapun caranya,” sahutku.
***
            Keesokan harinya di sekolah, aku berjalan dengan ceria, menikmati sinar matahari pagi. Di kelas, aku menyapa Gloria, Grace Randy, Viona, Jessica , dan Marcus dengan senyum yang berbeda dari biasanya. Mereka sahabatku…
            Dan… “Gimana?” tanyaku, “lancar nggak hubunganmu?”
            “Ma… maksudmu?” tanya Chris.
            Aku tertawa. “Udah, nggak usah sandiwara lagi disini. Aku nggak cinta kamu dan kamu nggak cinta aku. Aku nggak pernah mau kamu menjadi masa depanku, sebab masa depanku terlalu cerah bila harus dilewatkan bersamamu. Sudah ya… aku menyesal pernah berhubungan denganmu dan jangan harap bisa kembali ke masa dimana mencintaimu adalah segalanya bagiku. Itu nggak akan pernah terjadi!”
***
            “Maaf… aku harus…” kataku dengan wajah memelas.
            “Tapi… kenapa mendadak?” kata Yoel dengan panik.
            “Tenang aja. Nanti satu tahun lagi, aku pasti balik kok. Cuma satu tahun, setelah itu aku janji bakal balik ke sini dan ketemu sama kamu,” kataku dengan senyum menyungging lebar d wajahku. Aku mencintai Yoel, maka aku harus lakuin yang terbaik, walaupun harus berpisah selama satu tahun, tapi tak apa. Dalam satu tahun, aku akan kembali jadi gadis yang lebih pintar, cantik, dan baik…
            “Iya deh…” kata Yoel dengan wajah cemberut.
            “Tenang aja. Sejauh apapun aku bakal pergi, hatiku tetap untukmu kok,” kataku membuat Yoel terbelalak kaget.
            “Kamu… salah makan ya? Atau salah minum obat? Ih… Ada perempuan gila disini…” katanya meledekku. Kita tertawa bersama hari itu…
***
Dan sekarang, aku adalah Gaby, seorang siswi yang pintar dan berbakat. Cewek cantik yang bahkan diikutkan casting untuk menjadi model. Dan… aku bersiap untuk kembali ke kota tempat kelahiranku untuk bertemu dengan seseorang yang kukasihi dan takkan pernah kulupakan… Yoel…
“Hai Yo,” kataku menyapa seorang cowok berkaca mata yang terlihat keren dengan seragamnya yang masih sama seperti dulu.
“Maaf, kau siapa? Sepertinya… aku mengenalmu,” katanya.
“Wah… masa sama sahabat sendiri lupa, Yo?” ledekku.
Yoel membetulkan posisi kacamatanya lalu membulatkan mulutnya. Mengamatiku dari ujung kaki sampai ujung rambut. “Ini… kamu? Gaby? Gabrielle Stefany?”
“Yap. Ini aku, Yo. Gaby!” kataku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar