Treasure of My Heart
By: Valeska Valkyrie
Namaku Gabrielle. Aku adalah gadis
yang tidak pintar sama sekali, not smart at all. Aku juga seorang gadis yang
biasa saja. Karena semua itulah… aku merasa diriku ini tak berguna untuk berada
di dunia yang seindah ini. Merasa Tuhan mungkin menciptakanku berdasarkan
kesalahan terbesar yang pernah dimiliki-Nya. Caci maki sudah menjadi makananku
sehari-hari dari keluarga dan kedua orang tuaku. Aku tidak sepintar kakakku,
Nanda, dalam hal apapun. Aku selalu bertanya-tanya, untuk apa aku hidup bila
hanya ini yang kuterima? Namun… berawal dari satu masalah kecil dalam hidupku,
aku mulai memandang segalanya dari sudut pandang yang berbeda. Dari itu
semualah aku memulai segala perubahan dalam hidupku…
***
“Ya ampun,
Yo!” kataku pada sahabatku, Yoel, “catatan matematikaku mana?”
Yoel
mengobrak-abrik mejanya, berusaha mencari catatan matematika yang mungkin
terbawa olehnya. “Nggak ada tuh. Kamu lupa naruhnya kali… coba kamu inget-inget
lagi. Apa nggak ketinggalan di rumah?”
Aku mencoba
mengingat-ingat apa yang kulakukan pada catatan matematikaku. Mmm… karena hari
ini ulangan matematika, kemarin lusa aku membawanya dan membaca buku catatan
itu. Lalu… setelah membacanya… mmm… aku meletakkannya di samping bantal
tidurku, dan aku tertidur. Pada pagi harinya, aku kembali membawa catatan
matematikaku untuk… mmm… apa ya? Ah… aku lupa! “Aku nggak inget, Yo. Aku lupa,
kapan terakhir kali aku melihatnya… aku lupa! Argh…! Gimana nih? Aku ini goblok
di setiap mata pelajaran! Dan hanya matematika ini pelajaran yang membuatku
merasa pintar… nah, sekarang, aku nggak tahu harus apa. Kurang sepuluh menit
lagi pelajarannya Bu Lily, aku harus gimana?! Aku nggak inget!” kataku panik
dengan mata berkaca-kaca.
“Masa kamu
nggak inget sedkit pun tentang rumus-rumus yang pernah diajarin itu?” Tanya
Yoel. Aku menggeleng dengan wajah memelas, seperti orang hendak menangis
seember.
“Mana aku
ingat?! Dalam keadaan panik gini! Ah… aku paling benci keadaan kayak gini!
Nge-blank semua kan jadinya?! Urgh!! Resek!!!”
***
“Gaby!” teriak
Yoel sambil membawa selembar kertas dari kejauhan. Ia berlari sambil
melambai-lambaikan kertas itu padaku dengan wajah cemas bercampur sedih. Saat
ia sudah sekitar satu kaki dariku, ia berkata, “matematikamu… dapat dua puluh
tiga, Gaby! Dua puluh tiga! Kamu yang biasanya dapat sembilan puluh dan seratus
itu… dapet dua puluh tiga! Oh my! Bayangin, Gab!”
***
“Maaf untuk
Gaby, Ibu melakukan ini karena nilai kamu yang menurun untuk bab logaritma ini.
Padahal bab logaritma ini adalah bab pokok untuk olimpiade matematika yang akan
kamu ikuti. Jadi… maafkan saya untuk keputusan yang mendadak ini. Ibu akan
mengganti posisimu sebagai peserta olimpiade dengan Harris,” kata Bu Lily
mengumumkan sesuatu yang membuatku sangat shock. Tahu kenapa? Karena saat Mama
dan Papa mendengar aku akan mengikuti olimpiade, mereka sangat senang sekali.
Ugh…!
***
“Gimana
nih, Yo?” kataku sambil terisak, “aku harus gimana biar Mama dan Papa nggak
kecewa waktu tahu aku dicabut dari olimpiade cuma gara-gara catatan
matematikaku hilang! Aku harus gimana?!”
“Aku nggak
mau kalo nanti kamu bohong malah menambah masalah. Bilang saja terus terang.
Toh… orang tua tahu apa yang terbaik untuk anaknya. Mereka memarahimu pasti ada
sesuatu…” Tahu tidak sih kalo Papa dan Mama hanya membanding-bandingkanku
dengan Kak Nanda?! “Ini yang bisa aku omongin sekarang. Kuharap… masalahmu
cepet selesai.”
Yoel, cowok
paling cuek yang pernah kukenal itu, terdiam… terhening sambil memalingkan
wajahnya. Entah kenapa, cowok cuek ini bisa menjadi sahabat sebangku, sahabat
seperjuangan, dan sahabat dekatku. Ugh… kenapa aku malah menceritakan ini pada
Yoel? Padahal… aku masih punya Chris, pacarku…
***
“Chriss…”
kataku merengek pada cowok manjaku yang satu itu, “gimana nih? Mama dan Papa
pasti marah besar padaku!”
Chris
terlihat sibuk sebentar dengan handphonenya. Siapa sih? Bahkan karena
handphone, dia tak menghiraukanku? “Oh… maaf, orang tuaku mengirimiku sms,
menyuruhku untuk pulang cepat karena Nenekku masuk rumah sakit,” katanya, “mmm…
bagaimana kalau kau bilang saja bahwa Bu Lily itu orang yang pilih kasih?
Bilang saja, dia lebih tertarik pada Harris, mentang-mentang Harris orang kaya.”
Aku terdiam
sejenak. Ya ampun… aku sungguh orang yang tega bila aku sampai mengatakan dusta
sekejam itu pada orang tuaku karena kesalahanku sendiri? “Tidak tidak. Aku tak
bisa bohong kayak gitu… alasan lain bisa?”
Chris fokus
kembali pada handphonenya. Setelah sejenak ia membalas sms yang masuk ke
handphonenya, dia berkata, “maaf sayang, Papa minta sekarang juga aku pulang.
Nenek kritis di rumah sakit. Mmm… aku tahu dan percaya, kamu pasti tahu apa
yang terbaik buat kamu, sayang… aku percaya sama kamu.” Perkataannya itu
membuatku kuat kembali. Love you, Chris…
“Huft… iya,
makasih sayang. Kamu udah buat aku kembali kuat…”
***
Dengan
perasaan berat, aku melangkahkan kakiku di jalan setapak dekat rumahku. Dengan
takut-takut, aku melangkah sambil memikirkan apa yang akan terjadi jika aku
mengatakan alasan sesungguhnya pada Mama dan Papa. Namun tak pernah kusangka,
kaki ini sudah membawaku sampai di depan rumah. Aku sudah tak sempat berpikir
lagi… sudah saatnya aku menghadapi mereka…
“Apa
katamu…? Kau gagal ikut olimpiade? Kenapa? Apa alasan Bu Lily mengeluarkanmu?”
tanya Papa sambil sesekali menengok koran yang dipegangnya.
Aku menelan
ludah sesaat lalu menjawab, “mmm… anu, Pa. nilai ulangan matematikaku bab
logaritma… dua puluh tiga…”
“Dua puluh
tiga? Kamu niat sekolah atau nggak, Gab?! Jangan buat malu Mama!” sahut Mama
sambil membanting piring plastik di tangannya, “kamu mau jadi apa sekarang?
Semua mata pelajaran dapet nilai dibawah tujuh puluh. Nggak usah sekolah aja
sekalian!”
“Lho, tapi
Ma, ulangan matematikaku kali ini dapet jelek karena…”
“Udah
cukup, Gab! Papa kecewa sama kamu! Coba donk kamu tiru kakak kamu, Nanda. Cewek
cantik yang pinter dalam segala hal!” sela Papa.
Seketika
itu… aku lemparkan tas sekolahku tepat dihadapan mereka. Dengan tetes air mata
yang tak dapat kuhentikan, aku berkata, “pernah nggak… sekali aja, Papa dan
Mama nggak bandingin aku sama Kak Nanda? Iya Ma, Pa, Gaby tahu, Gaby nggak
kayak kak Nanda yang cantik dan pinter. Tapi… ini Gaby bukan Nanda. Pernah
nggak Mama atau Papa mau ngerti gimana perasaan Gaby? Selalu
dibanding-bandingin setiap saat? Kak Nanda begini lah, begitu lah… Gaby capek
Pa, Ma. Pernah nggak kalian mau ngerti Gaby sedikit, hah? Bukan Gaby mau bantah
Mama dan Papa, tapi Gaby udah capek sama sikap kalian yang selalu kayak gini.
Padahal Kak Nanda juga pernah ngelakuin kesalahan, kenapa selalu Gaby yang kena
imbasnya dan Kak Nanda nggak? Pernah nggak Papa dan Mama mau dengerin
penjelasan Gaby sekali aja? Selalu diselat dan bilang ‘kecewa’ ‘sedih’, Gaby
tahu. Gaby juga sadar kalo kehadiran Gaby cuma bikin kalian malu. Padahal…
ulangan Gaby kali ini dapet jelek gara-gara catatan Gaby hilang. Dan sekarang…
Gaby cuma bisa berharap… seandainya Gaby nggak pernah terlahir di dunia ini…”
Setelah
berkata panjang lebar, Papa dan Mama terdiam terpaku dan membiarkanku pergi
dengan tetesan air mata deras yang tak terbendung…
***
Pikiranku
kosong, jantung dan otakku bergemuruh… serasa seluruh dunia mengolok dan
mencaci-makiku. Aku capek dengan segala kondisi yang menyalakanku? Apa aku
tidak boleh bahagia, Tuhan… walau hanya sekali? Kenapa aku tak mendapat
kebahagiaan yang kuinginkan sampai sekarang, Tuhan? Kemana Kau ambil orang
tuaku yang dulu sayang padaku? Sekarang… hanya ini Tuhan yang ingin kutanyakan
pada-Mu… “Andai aku mati saat ini juga… apa yang akan dikenang orang-orang
tentang diriku?”
TIIINNN!!!
BRAK!!
***
Ah… aku ada dimana? Aku bangun di
tempat yang dingin dan sunyi. Aku melihat cahaya yang terang di depan mataku.
Siapa itu? “Gaby, Aku telah mengabulkan apa yang kau harapkan. Kini, giliranmu
untuk mencari tahu… apa yang menjadi pertanyaanmu… Kuharap… kau tak pernah
menyesal dengan keputusan dan perkataanmu…”
***
Aku kembali
terbangun di tempat yang berbeda. Sepertinya… aku kenal tempat ini. Sering ada
di film-film dan sinetron-sinetron yang sering ditonton Mama. Ini… di rumah
sakit… tapi, kenapa aku ada disini? Dan… kenapa ini? Aku sudah berdiri, tapi…
aku tak bisa bicara?! Terlihat Papa dan Mama segera masuk ruangan dan melihat
tepat ke arahku! Ups… dan tak lupa, dengan mata melotot! Astaga! Apa yang akan
mereka lakukan?! Apa aku akan dimarahi karena kekasaranku tadi? “GABY!!” Mama memanggil
namaku dengan berteriak lalu berlari ke arahku. APA YANG AKAN TERJADI
SELANJUTNYA?!
Aku menutup mataku untuk sesaat.
Lalu… aku mengintip sedikit ketika terdengar suara isakan yang kutahu adalah
suara Mama. Aku membuka mataku perlahan dan mendapati… Mama menangis
tersedu-sedu sambil memeluk seseorang dibalik kain putih menutupi wajahnya.
Siapa itu? Lalu… kenapa mereka tak melihatku? “Tenang, Ma. Ikhlaskan saja… mau
bagaimana lagi? Ini memang salah kita, kedua orang tuanya. Andai kita tak
melakukan hal itu… padahal… itu adalah cara untuk memacu motivasinya,” kata
Papa merangkul pundak Mama dan… tak kusangka, ia juga mengeluarkan setetes air
mata. Kedua orang tua ‘nya’? Apa itu… Kak Nanda?! Kakakku yang cantik dan Perfect itu… meninggal…? Aku lebih bisa
disebut sedih saat ini dibanding senang. Sebenci-bencinya aku
dibanding-bandingkan dengan Kak Nanda, Kak Nanda tak pernah kasar padaku,
selalu baik dan mengajarkanku segala yang tak kuketahui. Dan sekarang…
BRAK! Pintu ruangan dibuka keras
oleh seorang wanita cantik yang kukenal… lho… Kak Nanda? Bukannya… dia… “Ma,
Pa,” kata Kak Nanda turut menangis dan terisak, “apa benar itu… Gaby?”
DEG! Jantungku berdegup kencang
ketika namaku disebut-sebut. Mama dan Papa mengangguk sambil membuka kain
penutup. Dan… AKU MENDAPATI TUBUHKU TENGAH TERBARING PUCAT DISANA…! Oh… tidak!
Tidak! INI PASTI KESALAHAN!
Aku berlari sekuat tenaga, tak
ingin mempercayai apa yang baru saja kulihat. Aku tidak mati! Aku pasti masih
hidup! Tapi sekuat tenaga aku berlari, tetap tak ada orang yang
memperhatikanku. Seolah… aku berlari seorang diri di dunia yang bukan duniaku…
lalu… untuk apa aku ada disini?
***
Akhirnya… kuputuskan untuk pergi ke
rumah Chris sambil merenung. Aku ingin tahu bagaimana keadaan Chris. Aku
memasuki rumahnya dan melihat Papa dan Mamanya sedang makan di ruang makan.
“Ma, katanya, ada teman Chris yang meninggal ya?” tanya Pak Charles, Papanya
Chris. Ha? Pasti yang dimaksud aku…
“Mama denger-denger sih begitu.
Tadi sore tertabrak truk saat pulang sekolah, katanya. Chris sendiri nggak
sebegitu tahu,” kata Bu Rere, Mamanya Chris. Oh… iya ya, Chris kan tadi pergi
ke rumah sakit… “Chris kemana ya jam segini belum pulang, Pa?” lho… bukannya
Chris… ada di rumah sakit?
“Nggak tahu deh, Ma. Anak itu kalo
nggak di sms nggak akan pulang. Padahal udah dari tadi Papa mau sms dia.
Dibiarin malah tambah ngelunjak,” kata Pak Charles. Hah? Bukannya tadi… Chris
dapet sms dari Papa dan Mamanya ya? Katanya… Neneknya masuk rumah sakit? Lho…
dia… bohong?
“Duh… anak itu memang susah
dibilangin sudah capek Mama ngadepin anak yang satu itu…”
“Moga aja dia bisa mengubah sikap…”
***
Aku
berjalan menjauh dari rumah Chris. Berusaha berpikir jernih atas apa yang
terjadi dengan pacarku. Apa maksud kedua orang tua Chris? Jadi… Chris itu anak
nakal yang susah diatur? Dan juga… pembohong? Lalu… dia ada dimana sekarang?
Atau jangan-jangan… dia sedang menjengukku di rumah sakit?! Ah… semoga saja!
Aku kembali
berlari menuju rumah sakit. Saat aku melintasi alun-alun kota… aku melihat
Chris berada di sana… berdua dengan seorang cewek. “Sayang… aku nggak akan bisa
hidup tanpa kamu. Andai kamu tahu, aku itu sayang banget sama kamu,” kata Chris
membuat mataku terbelalak tak percaya dengan apa yang baru saja kulihat.
“Lalu, bagaimana dengan Gaby-mu
itu?” kata cewek di sebelahnya.
Chris menggenggam tangan cewek itu
lalu berkata, “katanya hari ini dia tertimpa musibah dan meninggal. Apa yang
udah terjadi biar aja terjadi. Anggap saja dia masa laluku. Toh… aku tak pernah
mencintainya.” MENJIJIKKAN! Tak pernah kusangka… cowok yang kupercaya selama
ini… menusukku dan mengkhianatiku dari belakang?
Aku kembali
berlari menuju rumah sakit. Semuanya sudah terlanjur terjadi… aku telah salah
menilai orang. Dan… kedua orang tuaku… tak pernah kusangka akan kehilanganku
seperti ini…
Sesampainya di rumah sakit, aku
berharap setidaknya sahabat-sahabatku menjengukku… melihat mereka datang saja
sudah pasti akan membuatku sangat senang. Ternyata… Henry, Gloria, Grace,
Viona, Randy, Marcus, dan Jessica datang! Aku merasa sangat senang… karena
setidaknya, aku masih dihargai. “Tak kusangka… Gaby akan meninggal secepat ini,”
kata Gloria sambil terisak.
“Seandainya kita lebih
memperhatikannya ya… aku nyesel deh…” kata Grace menyahuti.
“Kita ikhlaskan saja. Mungkin di
alam sana… dia sudah lebih bahagia daripada disini…” kata Randy sambil mengusap
setitik air mata yang ada di pucuk matanya. Meski tak terlihat, aku melihatnya.
Ya ampun… aku tak salah memiliki sahabat seperti mereka. Tapi… kenapa… Yoel tidak
ada? Apa dia… tak menyukaiku dari awal?
***
Keesokan
harinya, setelah sehari kulewatkan dengan penuh air mata, melihat apa yang tak
pernah kulihat sebelumya, aku memutuskan untuk pergi ke sekolah…
“Anak-anak,”
speaker sekolah berbunyi pagi-pagi, sesaat setelah bel masuk sekolah berbunyi,
“kami pihak sekolah ingin memberitahukan sebuah berita duka. Teman kita semua,
Gabrielle Stefany, telah meninggal dunia siang hari kemarin karena kecelakaan.
Maka dari itu, pihak sekolah mengadakan acara bakti sosial untuk diberikan pada
keluarga yang ditinggalkan.” Setelah pengumuman itu, anak-anak di kelasku
dengan hening menyumbang baksos itu. Yoel juga. Namun… ia terlihat berbeda.
Wajahnya seperti orang ketakutan… ada apa, Yoel? Kenapa kau tak datang
menemuiku? Sebelum aku dimakamkan…
Gloria dan
Grace memperhatikan Yoel sedari pagi. Dan aku mengamati mereka. Mereka
berbisik-bisik sambil menunjuk-nunjuk Yoel lalu berdiskusi lagi dengan Randy
dan yang lain. Ada apa?
Saat
istirahat, ketika Yoel sedang sendiri di kelas dengan tatapan kosong yang lebih
kosong daripada biasanya, teman-teman yang sehari sebelumnya menjengukku
mendatanginya. “Yo,” kata Randy, “kenapa kau tak datang menjenguk Gaby?
Padahal… Gaby sudah menganggapmu sahabatnya!”
Yoel hanya
terdiam dan tak memandang mereka semua. Seolah jiwanya tak ada di sana. Ia
menatap kosong pada bangku yang biasa kududuki. Aku menangis melihatnya… Yo…
kau kenapa…? “Jawab, Yo! Kenapa kau tak menjenguk Gaby? Padahal… kau tahu pasti
kan, Gaby menganggapmu sahabatnya!” bentak Viona.
Yoel tetap
tak menjawab. Ia tetap memandangi bangku kosong yang kini sudah tak kutempati
itu. “Jawab Yoel! Jangan pura-pura budek deh! Ada apa sih sama kamu?!” bentak
Grace mulai kehilangan kesabaran.
Yoel tetap
tak bergeming. Hingga akhirnya, Jessica, cewek tomboy itu, menampar Yoel keras.
“Sadar, Yo! Gaby udah nggak ada!”
Seketika itu, tatapan Yoel berubah.
“Kamu juga tahu kan Yo…” Gloria menyelat dengan air mata mengalir di pipinya,
“bahwa Gaby menunggumu…?” Yoel menunduk sesaat lalu mendongak. Ia… menangis.
“Karena aku tahu Gaby menungguku…
aku tak akan datang. Aku nggak ingin mengetahui fakta tentang apalah sebagainya
yang bilang… Gaby udah nggak ada. Aku akan tetap menganggapnya ada… dan sedang
ada di sekitar kita, mendengar pembicaraan kita lalu tertawa seperti biasanya…
jadi, jangan pernah ingatkan aku kalo Gaby udah nggak ada. Aku nggak akan mau
denger kalimat macam itu.” Aku terdiam sesaat. Ya… aku ada di sekitar kalian.
Mendengar kalian namun setelah itu… aku tidak tertawa… melainkan menangis.
Betapa bodohnya aku hingga memutuskan untuk memohon kematian.
Aku
berjalan di jalan setapak di sekitar sekolah. Memikirkan semuanya… aku tidak
pernah mencintai orang-orang yang mencintaiku, malah mencintai orang yang tak
layak kucintai. Aku sungguh sangat bodoh bila melakukannya. Dan sekarang… “aku
menyesal… andai aku bisa kembali walau tuk ucapkan… aku mencintai kalian…”
Dan
seketika itu… cahaya terang kembali menyerang mataku. Dan ketika sadar, aku ada
di sebuah tempat putih yang hening… sama seperti sebelumnya. Dan cahaya terang
sperti sebelumnya, ada di depanku… “Kini kau berkata, kau menyesal. Bukankah
ini yang kau inginkan?”
“Maaf…”
kataku, “aku ingin mati karena kukira… tak ada orang yang mencintaiku. Aku
melihat hanya sekerjap mata saja, hanya sebelah mata. Maaf… hanya ini yang
dapat kukatakan… aku menyesal…”
“Ini yang
kau mau kan?”
“Ini memang
yang kumau,” kataku, “jika tahu mereka semua akan bahagia bila aku tak ada, ini
yang kumau. Tapi… kenapa semuanya menangis karenaku? Aku hanya ingin mereka
yang kucintai bahagia di dunia ini… hanya itu…”
“Mereka
bahagia jika kau menemukan kebahagiaanmu. Apa kau menyesal telah meminta
kematian?”
“Sangat
menyesal. Andai aku bisa kembali ke dunia… walau hanya sesaat dan menghabiskan
waktu untuk mengucapkan tiga patah kata, aku mencintai kalian…”
“Maka,
kembalilah ke dunia. Dan perbaiki semuanya. Mulailah dari awal dan cintai
siapapun yang menurutmu benar dan maafkan siapapun yang berbuat jahat padamu.
Perbaiki hidupmu agar kau menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya, yang bahkan
tak dapat dimiliki orang lain…”
***
Ketika
sadar, aku berada di pinggir jalan, sedang menangis entah karena apa. Aku hidup
dan aku berwujud! Oh Tuhan…! Aku kembali hidup?! Ah… terima kasih! Aku sangat
bahagia!
Aku berlari
sekencang-kencangnya hingga tak kurasa air mataku itu berubah menjad tangisan
bahagia. Bahagia karena aku masih bisa berlari di jalan ini… karena aku masih
bisa berteriak sekuat-kuatnya untuk meluapkan perasaan bahagiaku.
Sesampainya
di rumah, aku memeluk Mama dan Papa. Dengan tangisan bahagia… “Aku sayang
kalian! Aku cinta kalian! Kalian orang tua terbaik yang pernah kumiliki.
Untunglah aku terlahir… untung aku bisa hidup di rumah ini sebagai Gaby, anak
kalian,” kataku sambil menangis…
Mama dan
Papa hanya bisa melongo sebentar lalu membalas pelukanku. “Iya, sayang. Kami
juga mencintaimu. Maaf kalo sikap kami selama ini salah. Tapi… kami tak punya
cara lain yang lebih efektif untuk menambah motivasi belajarmu. Kami ingin
menaikkan motivasimu menjadi lebih baik dari sebelumnya. Maaf ya, sayang,” kata
Papa.
“Iya,
sayang. Kami baru sadar kalo cara kami ini salah. Maaf sayang… dan terima kasih
atas teguranmu,” kata Mama sambil menangis memelukku.
“Tidak, Ma,
Pa. Karena kalian, aku sadar akan satu hal. Orang tua ingin yang terbaik untuk
anaknya, walau bagaimanapun caranya,” sahutku.
***
Keesokan
harinya di sekolah, aku berjalan dengan ceria, menikmati sinar matahari pagi.
Di kelas, aku menyapa Gloria, Grace Randy, Viona, Jessica , dan Marcus dengan
senyum yang berbeda dari biasanya. Mereka sahabatku…
Dan…
“Gimana?” tanyaku, “lancar nggak hubunganmu?”
“Ma…
maksudmu?” tanya Chris.
Aku
tertawa. “Udah, nggak usah sandiwara lagi disini. Aku nggak cinta kamu dan kamu
nggak cinta aku. Aku nggak pernah mau kamu menjadi masa depanku, sebab masa
depanku terlalu cerah bila harus dilewatkan bersamamu. Sudah ya… aku menyesal
pernah berhubungan denganmu dan jangan harap bisa kembali ke masa dimana
mencintaimu adalah segalanya bagiku. Itu nggak akan pernah terjadi!”
***
“Maaf… aku
harus…” kataku dengan wajah memelas.
“Tapi…
kenapa mendadak?” kata Yoel dengan panik.
“Tenang
aja. Nanti satu tahun lagi, aku pasti balik kok. Cuma satu tahun, setelah itu
aku janji bakal balik ke sini dan ketemu sama kamu,” kataku dengan senyum
menyungging lebar d wajahku. Aku mencintai Yoel, maka aku harus lakuin yang
terbaik, walaupun harus berpisah selama satu tahun, tapi tak apa. Dalam satu
tahun, aku akan kembali jadi gadis yang lebih pintar, cantik, dan baik…
“Iya deh…”
kata Yoel dengan wajah cemberut.
“Tenang
aja. Sejauh apapun aku bakal pergi, hatiku tetap untukmu kok,” kataku membuat
Yoel terbelalak kaget.
“Kamu…
salah makan ya? Atau salah minum obat? Ih… Ada perempuan gila disini…” katanya
meledekku. Kita tertawa bersama hari itu…
***
Dan sekarang, aku adalah Gaby,
seorang siswi yang pintar dan berbakat. Cewek cantik yang bahkan diikutkan
casting untuk menjadi model. Dan… aku bersiap untuk kembali ke kota tempat
kelahiranku untuk bertemu dengan seseorang yang kukasihi dan takkan pernah
kulupakan… Yoel…
“Hai Yo,” kataku menyapa seorang
cowok berkaca mata yang terlihat keren dengan seragamnya yang masih sama
seperti dulu.
“Maaf, kau siapa? Sepertinya… aku
mengenalmu,” katanya.
“Wah… masa sama sahabat sendiri
lupa, Yo?” ledekku.
Yoel membetulkan posisi kacamatanya
lalu membulatkan mulutnya. Mengamatiku dari ujung kaki sampai ujung rambut.
“Ini… kamu? Gaby? Gabrielle Stefany?”
“Yap. Ini aku, Yo. Gaby!” kataku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar