Salam Perkenalan

Hey Guys and Gurls! Blog ini bukan private blog yang artinya di sini ada banyak banget informasi, lirik, dan berbagai macam tulisan yang pastinya cool and interested to the max! So, if you like it, just post a comment and I'll read it soon, surely. And sure, kalian juga bisa kasih kritik dan saran buat blog ini supaya bisa maju dan nggak cuma gini-gini doang. So, it’s our kingdom, will you join with us?

Sabtu, 17 Agustus 2013

Surat Dilend

Surat Dilend
Oleh: Krista Oudhiya

            Dilend. Begitulah namanya dipanggil. Ia adalah seorang laki-laki periang yang sangat mencintai kekasihnya bernama Rayn. Sifatnya yang sangat lucu dan ceria sering dipuja oleh banyak perempuan sehingga banyak pula yang beranggapan, beruntunglah ia yang menjadi kekasih seorang Dilend. Rayn adalah perempuan yang beruntung itu. Dilend begitu mencintainya tanpa memandang apapun. Dilend sangat tulus mencintainya. Ia ingin selalu bersama dengan Rayn setiap waktu.
Namun, apa daya bila takdir berkata lain. Dilend divonis terkena kanker darah dan masa hidupnya tinggal sebulan lagi. Sungguh suatu hal yang sempat membuatnya ‘jatuh’. Tetapi, ia sanggup bangkit lagi dan ingin mempersembahkan sisa hidupnya hanya untuk Rayn.

            Hari-hari yang mereka lalui sangat berkesan. Pancaran rona bahagia sungguh terlihat jelas di raut wajah mereka. Penuh senyuman yang mempesona bagi kedua insan yang tengah dimabuk asmara ini. Hingga suatu ketika, Rayn ingin menghubungi Dilend namun gagal.
            “Duh, kenapa sih Dilend ini? DiSMS nggak dibales. Ditelepon juga nggak diangkat. Dilend… Kamu kemana aja sih?” hati kecilnya terus bertanya-tanya. Esoknya Rayn pun mengalami hal yang sama. Ia mencoba menghubungi Dilend, namun tetap saja gagal.
            “Apa dia ganti nomer ya? Ah, kayaknya nggak mungkin! Nomernya masih aktif dihubungi kok. Mmm… apa pulsanya lagi habis? Tapi kayaknya juga nggak mungkin. Buktinya, aku telepon dia, tapi nggak diangkat-angkat tuh! Huft… Dilend kamu kenapa sih? Aku khawatir sama kamu nih.” Lagi-lagi kekhawatiran itu terus mengusik hati Rayn.
            Sekitar dua hari lamanya Dilend hilang tanpa kabar. Suatu ketika, Dilend pun mencoba menghubungi Rayn melalui handphonenya.
            “Halo, Rayn?” katanya.
            “Dilend, kamu kemana aja sih? Aku tuh khawatir banget sama kamu! Udah dua hari kamu ngilang tanpa kabar. Kamu dihubungin juga nggak bisa!” jawab Rayn dengan nada kesal dan marah.
            “Rayn, maafin aku ya? Aku nggak bisa ngabarin kamu. Dari kemarin tuh aku sakit. Aku di rumah terus. Badanku lemes banget. Buat gerak aja, susahnya minta ampun. Pantes aja kalau SMS-mu nggak aku balas. Kamu bisa ngerti kan?” jelas Dilend berbohong pada Rayn bahwa dirinya sakit. Padahal sebenarnya ia pergi ke Singapura untuk mengobati penyakitnya yang kian mengganas.
            “Oh gitu ya? Kalau emang kamu lagi sakit, aku bisa ngertiin kamu kok. Ya udah, kamu istirahat sana! Biar kamu cepet sembuh.” Ujar Rayn yang agak melunak.
            “Ya udah, aku mau istirahat dulu. Maafin aku ya?” kata Dilend.
            “Iya. Aku matiin ya telponnya.” Sahut Rayn.
            Sore harinya, Rayn berniat untuk menjenguk Dilend yang sedang sakit. Ia membawakan buah-buahan untuk Dilend. Namun, setelah sampai rumah Dilend, ia tak bertemu dengan Dilend. Ia melihat keadaan rumah sangat sepi, seperti ditinggal pergi oleh penghuninya. Saat itu, Rayn melihat pembantunya Dilend sedang menyiram tanaman. Tanpa basa-basi, ia langsung menanyakan keberadaan Dilend.
            “Bi, Dilendnya kemana ya? Kok kayaknya nggak ada?” tanya Rayn.
            “Lho, Mas Dilend kan lagi di Singapura. Kok Mbak Rayn malah nggak tau?” ujar pembantu itu.
            DEG! “Hah?!! Masa’ sih? Oh.. ya udah, makasih ya bi. Saya balik dulu. Permisi.” Sahut Rayn tersentak kaget.
            Rayn yang kaget oleh jawaban pembantunya Dilend, hanya bisa terdiam di dalam kamarnya. Pikiran yang langsung terlintas dalam benaknya yaitu, mengapa Dilend setega itu membohonginya.
            Esok paginya, tepatnya pada hari ketiga, Dilend sampai di Indonesia dan mendatangi Rayn untuk menjelaskan semuanya.
            “Rayn, maafin ak…” tiba-tiba Rayn segera memotong perkataan Dilend.
            “Dilend! Kenapa sih kamu bohongin aku?!! Katanya kamu sakit dan lagi istirahat di rumah, tapi ternyata kamu lagi di Singapura. Ngapain kamu di sana, hah?!” ujar Rayn kesal.
            “Engh… emm.. maafin aku Rayn. Aku nggak maksud ngebohongin kamu. Aku itu ke Singapura untuk membantu urusan kerja ayahku. Mmm… kamu percaya nggak?” ucap Dilend.
            “Halah! Aku nggak percaya sama kamu! Kalau kamu emang lagi ngebantuin ayahmu, masa’ sampai lupa aku?!!” bentaknya.
            Bergegas Rayn meninggalkan Dilend yang tengah tertunduk lesu.
            “Andaikan kau tau, aku membohongimu karena aku sayang kamu. Aku nggak bisa menceritakan penyakitku ini karena aku takut kamu pergi ninggalin aku. Rayn, maafin aku…” gumam Dilend.
            Tiap hari, Dilend mencoba terus menghubungi Rayn. Mulai dari mengirim SMS, menelpon, bahkan mendatangi rumahnya. Tapi tetap saja hasilnya nol. Rayn masih marah dan tak mau ditemui.
            Usaha Dilend tak berhenti cukup sampai di sini. Ia mencoba meminta maaf dengan memberikan bunga mawar merah pada Rayn dengan perantara pembantunya Rayn.
            “Non, ada kiriman bunga dari Mas Dilend. Katanya, ia mau minta maaf sama Non Rayn. Ini bunganya.” Kata pembantunya.
            “Udah ah, taruh aja di meja!” jawab Rayn cuek.
            Esok harinya,
            “Non, nih ada bunga mawar merah dari Mas Dilend.” Kata pembantunya.
            “Udah, taruh aja di meja!” jawab Rayn acuh.
            Setiap hari kondisi ini terus berlangsung sama. Hampir mendekati angka satu bulan. Bunga mawar merah yang diberikan Dilend kian menumpuk di sudut meja di kamarnya tanpa disentuh sedikit pun oleh Rayn.
            Hari demi hari Rayn merasakan kebosanan dengan apa yang ada. Ia merasa hari-harinya kini terasa sepi. Ia mau menghubungi Dilend, namun ia masih agak sedikit marah dengan kejadian itu.
            Suatu sore di rumah sakit…
            “Ayah, Ibu, Dilend udah nggak kuat lagi nih. Badan Dilend nggak bisa digerakkin. Kepala Dilend sakit. Duuhhh… sakiiit banget…” keluh Dilend terbaring di tempat tidur rumah sakit.
            “Tenang ya, nak. Sebentar lagi dokter datang. Kamu sabar sebentar ya, nak.” Ibunya berusaha menenangkan Dilend yang mengaduh kesakitan.
            “Bu, Dilend udah nggak kuat lagi. Dilend nggak bisa ngeliat ibu dan ayah dengan jelas lagi… Dilend mau matiii…. Argh…” ujar Dilend.
            “Dilend, kamu nggak boleh ngomong kayak gitu. Kamu pasti sembuh kok.” Sahut ayah.
            “Yah, Bu, sebelum nanti Dilend meninggal, to…long berikan bu…nga mawar putih da…n surat ini pa…da Rayn, ya. Ini per.. mintaan terakhir Dilend.” Kata Dilend dengan terputus-putus.
            “Iya, nak. Pasti ibu berikan, tapi kamu jangan ngomong gitu. Kamu harus kuat, nak.” Kata ibu sambil berusaha menyembunyikan air matanya.
            Dengan segera, Ibunya lantas memberikan bunga itu pada Rayn di rumahnya. Dilend hanya ditemani oleh ayahnya di rumah sakit.
            “Rayn,  ini titipan terakhir dari Dilend, tolong diterima ya? Ayo sekarang ikut ibu ke rumah sakit!” ujar Ibu Dilend pada Rayn tergesa-gesa.
            “Hah?! Terakhir? Rumah sakit? Apa maksudnya semua ini?” tanya Rayn. Rayn yang sedari tadi bingung, hanya menuruti saja perintah Ibu Dilend. Perjalanan dari rumah Rayn ke rumah sakit memakan waktu kurang lebih lima menit.
            Setelah sekitar lima menit nafas Dilend sudah tak beraturan lagi, Dilend mengucapkan kalimat terakhir.
            “Yah… Di..di..lend pa…pa…mit…” ujar Dilend di hembusan nafas terakhirnya. Setelah itu Dilend menutup matanya dan detak jantungnya berhenti.
            “Dilend!!!” teriak Rayn saat melangkahkan kakinya tepat di pintu ruangan dimana Dilend dibaringkan. Namun, semuanya terlambat. Dilend telah meninggalkannya lebih dulu.

Terpikirkan oleh surat itu, ia segera membacanya di depan ayah dan ibu Dilend, “Rayn, maafin aku soalnya aku udah bohong sama kamu. Sebenernya aku mengidap penyakit kanker darah. Waktu itu aku ke Singapura bukan untuk membantu ayahku tapi aku berobat untuk menyembuhkan penyakitku ini. Maaf, aku nggak pernah cerita tentang ini sama kamu. Aku takut kamu pergi ninggalin aku soalnya aku sayang kamu, Rayn. Mungkin saat kamu sedang membaca surat ini, nafasku udah berhenti dan aku udah pergi dari dunia ini untuk selamanya… Maafin segala kesalahanku selama ini. Aku nggak akan pernah berhenti menyayangi kamu. Jangan kamu ingat lagi kenangan manis kita. Itu nggak akan mungkin terjadi lagi. Aku mohon sama kamu, cobalah untuk menghilangkan bayang-bayangku dari hatimu. Bukalah hatimu untuk orang lain. Jangan tangisi kepergianku. Hapuslah air matamu itu… air matamu terlalu berharga untuk orang yang telah mengecewakanmu ini. Tersenyumlah… Aku akan mencintaimu selamanya…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar