Surat Dilend
Oleh:
Krista Oudhiya
Dilend. Begitulah namanya dipanggil.
Ia adalah seorang laki-laki periang yang sangat mencintai kekasihnya bernama
Rayn. Sifatnya yang sangat lucu dan ceria sering dipuja oleh banyak perempuan
sehingga banyak pula yang beranggapan, beruntunglah ia yang menjadi kekasih
seorang Dilend. Rayn adalah perempuan yang beruntung itu. Dilend begitu
mencintainya tanpa memandang apapun. Dilend sangat tulus mencintainya. Ia ingin
selalu bersama dengan Rayn setiap waktu.
Namun, apa daya bila takdir berkata lain. Dilend divonis
terkena kanker darah dan masa hidupnya tinggal sebulan lagi. Sungguh suatu hal
yang sempat membuatnya ‘jatuh’. Tetapi, ia sanggup bangkit lagi dan ingin
mempersembahkan sisa hidupnya hanya untuk Rayn.
Hari-hari yang mereka lalui sangat
berkesan. Pancaran rona bahagia sungguh terlihat jelas di raut wajah mereka.
Penuh senyuman yang mempesona bagi kedua insan yang tengah dimabuk asmara ini.
Hingga suatu ketika, Rayn ingin menghubungi Dilend namun gagal.
“Duh, kenapa sih Dilend ini? DiSMS
nggak dibales. Ditelepon juga nggak diangkat. Dilend… Kamu kemana aja sih?”
hati kecilnya terus bertanya-tanya. Esoknya Rayn pun mengalami hal yang sama.
Ia mencoba menghubungi Dilend, namun tetap saja gagal.
“Apa dia ganti nomer ya? Ah,
kayaknya nggak mungkin! Nomernya masih aktif dihubungi kok. Mmm… apa pulsanya
lagi habis? Tapi kayaknya juga nggak mungkin. Buktinya, aku telepon dia, tapi
nggak diangkat-angkat tuh! Huft… Dilend kamu kenapa sih? Aku khawatir sama kamu
nih.” Lagi-lagi kekhawatiran itu terus mengusik hati Rayn.
Sekitar dua hari lamanya Dilend
hilang tanpa kabar. Suatu ketika, Dilend pun mencoba menghubungi Rayn melalui
handphonenya.
“Halo, Rayn?” katanya.
“Dilend, kamu kemana aja sih? Aku
tuh khawatir banget sama kamu! Udah dua hari kamu ngilang tanpa kabar. Kamu
dihubungin juga nggak bisa!” jawab Rayn dengan nada kesal dan marah.
“Rayn, maafin aku ya? Aku nggak bisa
ngabarin kamu. Dari kemarin tuh aku sakit. Aku di rumah terus. Badanku lemes
banget. Buat gerak aja, susahnya minta ampun. Pantes aja kalau SMS-mu nggak aku
balas. Kamu bisa ngerti kan?” jelas Dilend berbohong pada Rayn bahwa dirinya
sakit. Padahal sebenarnya ia pergi ke Singapura untuk mengobati penyakitnya
yang kian mengganas.
“Oh gitu ya? Kalau emang kamu lagi
sakit, aku bisa ngertiin kamu kok. Ya udah, kamu istirahat sana! Biar kamu
cepet sembuh.” Ujar Rayn yang agak melunak.
“Ya udah, aku mau istirahat dulu.
Maafin aku ya?” kata Dilend.
“Iya. Aku matiin ya telponnya.”
Sahut Rayn.
Sore harinya, Rayn berniat untuk
menjenguk Dilend yang sedang sakit. Ia membawakan buah-buahan untuk Dilend.
Namun, setelah sampai rumah Dilend, ia tak bertemu dengan Dilend. Ia melihat
keadaan rumah sangat sepi, seperti ditinggal pergi oleh penghuninya. Saat itu,
Rayn melihat pembantunya Dilend sedang menyiram tanaman. Tanpa basa-basi, ia
langsung menanyakan keberadaan Dilend.
“Bi, Dilendnya kemana ya? Kok
kayaknya nggak ada?” tanya Rayn.
“Lho, Mas Dilend kan lagi di
Singapura. Kok Mbak Rayn malah nggak tau?” ujar pembantu itu.
DEG! “Hah?!! Masa’ sih? Oh.. ya
udah, makasih ya bi. Saya balik dulu. Permisi.” Sahut Rayn tersentak kaget.
Rayn yang kaget oleh jawaban
pembantunya Dilend, hanya bisa terdiam di dalam kamarnya. Pikiran yang langsung
terlintas dalam benaknya yaitu, mengapa Dilend setega itu membohonginya.
Esok paginya, tepatnya pada hari
ketiga, Dilend sampai di Indonesia dan mendatangi Rayn untuk menjelaskan
semuanya.
“Rayn, maafin ak…” tiba-tiba Rayn
segera memotong perkataan Dilend.
“Dilend! Kenapa sih kamu bohongin
aku?!! Katanya kamu sakit dan lagi istirahat di rumah, tapi ternyata kamu lagi
di Singapura. Ngapain kamu di sana, hah?!” ujar Rayn kesal.
“Engh… emm.. maafin aku Rayn. Aku
nggak maksud ngebohongin kamu. Aku itu ke Singapura untuk membantu urusan kerja
ayahku. Mmm… kamu percaya nggak?” ucap Dilend.
“Halah! Aku nggak percaya sama kamu!
Kalau kamu emang lagi ngebantuin ayahmu, masa’ sampai lupa aku?!!” bentaknya.
Bergegas Rayn meninggalkan Dilend
yang tengah tertunduk lesu.
“Andaikan kau tau, aku membohongimu
karena aku sayang kamu. Aku nggak bisa menceritakan penyakitku ini karena aku
takut kamu pergi ninggalin aku. Rayn, maafin aku…” gumam Dilend.
Tiap hari, Dilend mencoba terus
menghubungi Rayn. Mulai dari mengirim SMS, menelpon, bahkan mendatangi
rumahnya. Tapi tetap saja hasilnya nol. Rayn masih marah dan tak mau ditemui.
Usaha Dilend tak berhenti cukup
sampai di sini. Ia mencoba meminta maaf dengan memberikan bunga mawar merah
pada Rayn dengan perantara pembantunya Rayn.
“Non, ada kiriman bunga dari Mas
Dilend. Katanya, ia mau minta maaf sama Non Rayn. Ini bunganya.” Kata
pembantunya.
“Udah ah, taruh aja di meja!” jawab
Rayn cuek.
Esok harinya,
“Non, nih ada bunga mawar merah dari
Mas Dilend.” Kata pembantunya.
“Udah, taruh aja di meja!” jawab
Rayn acuh.
Setiap hari kondisi ini terus
berlangsung sama. Hampir mendekati angka satu bulan. Bunga mawar merah yang
diberikan Dilend kian menumpuk di sudut meja di kamarnya tanpa disentuh sedikit
pun oleh Rayn.
Hari demi hari Rayn merasakan
kebosanan dengan apa yang ada. Ia merasa hari-harinya kini terasa sepi. Ia mau
menghubungi Dilend, namun ia masih agak sedikit marah dengan kejadian itu.
Suatu sore di rumah sakit…
“Ayah, Ibu, Dilend udah nggak kuat
lagi nih. Badan Dilend nggak bisa digerakkin. Kepala Dilend sakit. Duuhhh…
sakiiit banget…” keluh Dilend terbaring di tempat tidur rumah sakit.
“Tenang ya, nak. Sebentar lagi
dokter datang. Kamu sabar sebentar ya, nak.” Ibunya berusaha menenangkan Dilend
yang mengaduh kesakitan.
“Bu, Dilend udah nggak kuat lagi.
Dilend nggak bisa ngeliat ibu dan ayah dengan jelas lagi… Dilend mau matiii….
Argh…” ujar Dilend.
“Dilend, kamu nggak boleh ngomong
kayak gitu. Kamu pasti sembuh kok.” Sahut ayah.
“Yah, Bu, sebelum nanti Dilend
meninggal, to…long berikan bu…nga mawar putih da…n surat ini pa…da Rayn, ya.
Ini per.. mintaan terakhir Dilend.” Kata Dilend dengan terputus-putus.
“Iya, nak. Pasti ibu berikan, tapi
kamu jangan ngomong gitu. Kamu harus kuat, nak.” Kata ibu sambil berusaha
menyembunyikan air matanya.
Dengan segera, Ibunya lantas
memberikan bunga itu pada Rayn di rumahnya. Dilend hanya ditemani oleh ayahnya
di rumah sakit.
“Rayn, ini titipan terakhir dari Dilend, tolong
diterima ya? Ayo sekarang ikut ibu ke rumah sakit!” ujar Ibu Dilend pada Rayn
tergesa-gesa.
“Hah?! Terakhir? Rumah sakit? Apa
maksudnya semua ini?” tanya Rayn. Rayn yang sedari tadi bingung, hanya menuruti
saja perintah Ibu Dilend. Perjalanan dari rumah Rayn ke rumah sakit memakan
waktu kurang lebih lima menit.
Setelah sekitar lima menit nafas
Dilend sudah tak beraturan lagi, Dilend mengucapkan kalimat terakhir.
“Yah… Di..di..lend pa…pa…mit…” ujar
Dilend di hembusan nafas terakhirnya. Setelah itu Dilend menutup matanya dan
detak jantungnya berhenti.
“Dilend!!!” teriak Rayn saat
melangkahkan kakinya tepat di pintu ruangan dimana Dilend dibaringkan. Namun,
semuanya terlambat. Dilend telah meninggalkannya lebih dulu.
Terpikirkan oleh surat itu, ia segera membacanya
di depan ayah dan ibu Dilend, “Rayn,
maafin aku soalnya aku udah bohong sama kamu. Sebenernya aku mengidap penyakit
kanker darah. Waktu itu aku ke Singapura bukan untuk membantu ayahku tapi aku
berobat untuk menyembuhkan penyakitku ini. Maaf, aku nggak pernah cerita
tentang ini sama kamu. Aku takut kamu pergi ninggalin aku soalnya aku sayang
kamu, Rayn. Mungkin saat kamu sedang membaca surat ini, nafasku udah berhenti
dan aku udah pergi dari dunia ini untuk selamanya… Maafin segala kesalahanku
selama ini. Aku nggak akan pernah berhenti menyayangi kamu. Jangan kamu ingat
lagi kenangan manis kita. Itu nggak akan mungkin terjadi lagi. Aku mohon sama
kamu, cobalah untuk menghilangkan bayang-bayangku dari hatimu. Bukalah hatimu
untuk orang lain. Jangan tangisi kepergianku. Hapuslah air matamu itu… air
matamu terlalu berharga untuk orang yang telah mengecewakanmu ini.
Tersenyumlah… Aku akan mencintaimu selamanya…”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar