Hidup Itu Dimulai Detik Ini
Oleh: Krista Oudhiya
Hari ini aku berjalan melalui jalan tembusan yang biasanya
ku lewati. Aku mulai menyusuri pematang sawah. Ku langkahkan kakiku secara
perlahan agar aku tidak terperosok ke dalam sawah. Meskipun cahaya sang
matahari menyengat kulitku, namun ku tetap berjalan agar cepat tiba di rumah.
Setelah melewati beberapa semak dan rerumputan yang tinggi, aku pun melompati
sebuah tembok besar yang membatasi daerah kampungku dengan kampung sebelah
dengan melangkahkan kakiku pada setiap anak tangga yang sudah bersandar pada
tembok itu.
Hap! Hap! Hap! Pluk! Akhirnya aku pun melompat dari ujung tangga ke
tanah yang keras ini. Aku tak peduli jika seragam putihku nanti menjadi kotor.
Aku tak peduli jika nanti kulit tergores kawat yang melintang di ujung tembok
itu. Yang aku inginkan, aku bisa pulang ke rumahku yang meskipun kecil namun
lumayan nyaman bagi anak sederhana sepertiku ini. Setelah sampai di rumah, aku
ingin melihat kedua orangtuaku menyambutku dengan hangat. Memelukku dan mencium
keningku. Bukan seperti yang terjadi hari ini…
“Bu, siang ini kita
makan apa?” tanyaku bersemangat karena sudah tak dapat lagi menahan rasa lapar.
“Dilend, kamu masak
telur sendiri buat makan siangmu ini ya? Maafin ibu. Ibu tadi nggak masak
soalnya uang yang seharusnya ibu pakai untuk berbelanja, malah diambil ayahmu.”
Kata ibu seraya mengulungkan sebutir telur padaku.
“Lagi-lagi kelakuan
ayah bikin kita susah aja! Apa dia nggak pernah berpikir untuk ngutamain
kesejahteraan keluarganya? Yang bisa dia lakuin cuma menghambur-hamburkan
uangnya aja! Apa dia masih nggak bisa ngertiin keadaan ekonomi keluarganya,
apa?! Dilend tau. Pasti uang itu buat bisnis yang nggak penting itu kan ? Yang nggak tau
entah sampai kapan bisnis-bisnisnya itu berhasil!” ujarku kesal dengan kelakuan
ayah yang semaunya sendiri.
“Hush!!! Kamu nggak
boleh ngomong seperti itu, Dilend! Bagaimanapun juga dia itu ayahmu! Kamu harus
menghormatinya! Jangan ngomong yang macem-macem sama ayahmu!” seketika itu
pula, aku dibentak oleh ibu yang biasanya tak pernah memarahiku. Suasana
menjadi hening sejenak, sebelum ibu kembali menyahut. Aku terdiam. Begitu juga
dengan ibu. Ia terlihat mengurangi tingkat emosi dalam dirinya.
“Dilend, maafin ibu.
Ibu nggak bermaksud memarahi kamu, tapi ibu ingin kamu jangan ngomong seperti
itu! Nggak baik! Apalagi dia itu ayahmu sendiri. Sudahlah, nak. Kamu yang sabar
ya. Kalau kamu sayang sama ayah, seharusnya kamu bisa memahami sifat-sifatnya,
sekalipun itu buruk. Mmm… ya udah, kamu makan aja sana . Habis itu, langsung istirahat. Jangan
main dulu, sebentar lagi kamu kan
mau ujian kelulusan.” Sahut ibu mengelus kepalaku. Tanpa bicara sepatah kata
pun, akhirnya aku menuju dapur untuk memasak menu makan siang hari ini yang
sangat sederhana.
Sang surya mulai
memasuki peraduannya. Sinarnya telah hilang dimakan bulan. Siang berganti
malam. Kegelapan mulai menyelimuti dunia. Sunyi. Yang terdengar olehku hanyalah
suara jangkrik yang mengendap-endap di sekitar rumahku. Tinggallah cahaya
kunang-kunang yang menerangi pelataran rumahku yang berseberangan langsung
dengan pematang sawah yang tadi siang ku lalui.
GUBRAK!!! “Deg! Suara apa itu?! Bikin aku kaget aja! Nggak tau ada
orang mau tidur, apa?!” gumamku sambil menuju pintu depan. Ternyata tadi itu
suara ayah yang sedang membuka pintu atau lebih tepatnya membanting pintu
dengan kasar.
“Ayah, kok pulangnya
malem banget? Emang seharian kemana aja?” tanyaku heran dengan kedatangan ayah
yang sudah larut.
“Halah! Kamu anak
kecil nggak tau apa-apa! Udah sana
tidur aja! Ini udah malem banget. Ayah juga mau tidur. Capek!” jawabnya dengan
mengejekku.
“Ayah! Aku nggak suka
ngeliat sikap ayah yang terus-terusan begini. Membagi-bagikan berjuta-juta uang
untuk orang yang keadaan ekonomi malah jauh lebih tinggi di atas kita. Ayah
harusnya juga mikirin keadaan keluarga kita. Ayah jangan mikirin kemauan ayah
sendiri! Hargai perasaan keluarga, terutama ibu yang selalu menahan kesedihan.”
Aku menumpahkan segala kekesalanku yang selama ini terpendam pada ayah.
“Dilend! Kamu itu
ngomong apa sih? Ayah nggak ngerti! Lagian ayah lihat, ibumu juga nggak apa-apa
kok! Udah lah, ayah capek dan nggak mau ribut-ribut sama kamu!” sahut ayah
sebelum meninggalkan Dilend yang masih berdiri di depan pintu. Ia meratapi
segala nasib ‘buruk’ nya.
“Ayah jahaat!” bentakku.
PLAK! Seketika itu juga ku dengar suara yang mengagetkanku. Entah
karena tanpa sadar ataupun disengaja, ayah menamparku dengan tangan kanannya.
Tak terlihat rasa bersalah dalam raut wajah ayah. Sepertinya ia telah puas
dengan apa yang telah dilakukannya. Mungkin ini memang keinginannya yang
terpendam.
Beberapa detik berlalu dengan sunyi. Aku masih menunduk ke bawah
menahan rasa sakit akibat tamparan ayah. Ayahpun segera memasuki kamarnya tanpa
berbicara sepatah katapun padaku.
“Aku udah mencoba buat
sabar sama ayah, tapi sikap ayah udah kelewat batas. Dilend ngelakuin ini semua
bukan buat kesenangan Dilend aja, tapi yang terpenting Dilend nggak mau ngeliat
ibu nangis nantinya. Aku benci hidup ini! Aku benci keluarga ini! Aku bosan!
Aku muak sama kondisi seperti ini! Aku mau ngeliat ibu bahagia! Aku nggak mau
ngeliat ayah egois seperti ini!” gumamku menuangkan kekesalan pada hidup. Angin
malam kian menusuk tulang. Dengan wajahku yang sendu, segera ku tutup pintu
yang terbuka dan aku mulai melangkah menuju kamar dan tidur.
Keesokkan paginya,
saat sang ayam belum bernyanyi dengan riangnya, aku sudah lebih dulu bangun.
Aku merentangkan tangan dan menguap selebar-lebarnya bak kuda nil.
“Duh, jam berapa sih
ini? kok masih gelap banget ya?” segera ku mengambil jam alarm yang ada di
samping tempat tidurku dan melihatnya dengan cermat.
“Hmmm… baru jam 4 ya?
Kirain udah jam 7! Tidur lagi ah…”
JEP! Akupun kembali terbangun dari tempat tidurku. Terlintas dalam
benakku suatu ide ‘gila’ yang cemerlang juga.
“Kalau aku terus di
sini, pasti aku nggak bisa keluar dari ‘neraka’ ini! aku udah bosen lama-lama
di sini. Aku pengen bisa menghirup udara bebas. Aku nggak betah hidup di
penjara ini! lebih baik aku kabur aja! Mumpung sekarang masih pagi, belum ada
orang yang tau.” Kataku sembari menaruh beberapa pasang pakaian pada ransel
yang biasa ku pakai saat bersekolah.
Pagi-pagi benar, saat
ibu dan ayahpun belum bangun dari lelapnya, aku telah lebih dulu terbebas dari
rumah sawah itu.
“Akhirnya aku bebas
juga! Sekarang terserah aku mau ngapain! Ini hidupku! hahaha.” Aku sangat
senang merasakannya.
Aku berjalan menyusuri
pematang sawah, kebun, dan bahkan menyeberangi sungai yang arusnya lumayan
besar. Semua ini ku lakukan hanya demi meraih impianku untuk menikmati hidup di
kota dengan
bahagia.
Hari menjelang siang. Hari ini aku bolos sekolah. Aku juga tidak
terpikirkan oleh kekhawatiran ibu dan ayah nanti, yang penting aku senang.
Setapak demi setapak jalan ku lewati. Aku berjalan tanpa arah di
perkotaan. Banyak kendaraan yang berlalu lalang di jalanan. Seumur hidupku,
baru kali ini aku berpetualang di tengah kota .
Banyak sekali orang yang mondar-mandir.
Polusi yang melayang-layang di udara kian membunuhku. Nafasku sesak
olehnya. Dan… Argh…..!!!
Beberapa
saat kemudian…
Aku mulai membuka
mata, namun mataku masih sulit dibuka. Aku belum dapat melihat sekelilingku
dengan jelas. Yang terlintas hanyalah deretan semut yang sedang berjalan yang
aku sendiri tak tau jumlahnya.
“Udah bangun, dik?”
tanya seseorang padaku. Berdasarkan penglihatanku yang masih belum terlalu
jelas, aku melihatnya dengan seksama. Ia adalah seorang anak laki-laki.
Badannya tinggi, kulitnya hitam manis. Kalau dikira-kira, umurnya sekitar 17
tahun. Mmm… ia masih sangat terlihat muda.
“Aku dimana? Kakak siapa? Aku kok bisa ada di sini sih?”
tanyaku padanya seraya mengucek-kucek mataku.
Kemudian, ia pun menjawabnya dengan ramah, “Namaku Danny.
Aku yang menolongmu tadi sewaktu kamu pingsan di tengah jalan. Rumahku di
daerah sini. Oh ya, jam segini kan
waktunya anak-anak sekolah, tapi kamu kok nggak sekolah sih? Bolos ya? Hehehe…”
. Aku sempat terdiam karenanya. Aku masih belum percaya kalau masih ada juga
orang baik di dunia ini. Tadi, aku malahan mengira kalau aku sudah mati.
“Mmm.. Iya.” Jawabku singkat karena masih agak sedikit
pusing.
“Oh ya udah. Kalau begitu, mendingan aku nganterin kamu
pulang ya. Rumah kamu dimana, dik?” ujarnya dengan senyuman.
“Emmm… nggak usah kak. Aku nggak mau pulang. Sebenarnya,
aku tadi pagi kabur dari rumah. Mmm… kalau boleh, aku tinggal di rumah kakak
dulu ya?” sahutku dengan muka memelas.
“Lho, kok kabur dari rumah? Gimana ceritanya? Wah, jangan
nginep di rumahku, dik. Aku sih nggak punya rumah. Hehehe… .” katanya dengan
santainya.
“Ceritanya panjang kak. Nanti aja aku ceritain. Lha terus,
ini kamarnya siapa dong? Bagus banget lho!” pujiku.
“Oh… ini sih kamarnya temenku. Tadi pas kamu jatuh di
jalan, nggak sengaja aku dan temanku melihatmu. Ya… langsung aja aku membawa
kamu ke kamarnya temenku ini. Kebetulan dia anak orang yang punya.”
Kemudian Dilend menceritakan segala masalah yang sedang
dihadapinya hingga ia berniat untuk kabur dari rumah. Mendengar hal itu,
awalnya Danny sedikit kaget dan kasihan. Ia menawarkan untuk mengantarkannya
pulang, namun Dilend bersikukuh tak mau menerima tawaran itu. Ia pun rela
tinggal bersama Danny untuk sementara waktu jikalau hal ini dapat membuatnya
lepas dari beban pikirannya.
Malam pun menjelang, Danny mengajakku untuk ke suatu tempat
yang sebelumnya belum pernah aku singgahi seumur hidupku.
“Dilend, ayo ikut aku!” katanya.
“Kita mau kemana?” tanyaku penasaran.
“Aku mau mengajakmu berpetualang malam di jalanan. Mau
nggak? Katanya mau ngikutin semua apa yang aku ingin? Ayo cepat ganti bajumu.
Bawa gitar kecilku ini!” tawarnya
“Hah?! Kita mau kemana, kak? Kok harus membawa gitar? Apa
kita mau ngamen di jalanan?!” tanyaku seakan tak percaya.
“Ya! Benar sekali! Ikutlah aku. Aku sudah sering
berkeliling kota
di malam hari. Jangan takut, aku sudah berpengalaman, makanya aku hafal
situasi-situasi yang mungkin nanti akan terjadi. Aku akan menunjukkan sama kamu
keindahan kota
ini.” ujarnya seraya menarikku sedari tadi hanya melamun dan terdiam tanpa
gerakan.
Kami pun mulai melangkahkan kaki pada tanah yang dingin
ini. Bermodalkan suara dan gitar kecil yang sederhana, kami berpetualang untuk
mejelajahi setiap sudut kota .
Aku cukup senang. Di saat seperti ini,
aku tak terpikirkan keadaan ibu dan ayah di rumah. Yang terlintas di dalam
pikiranku hanyalah kesenangan sesaat yang aku rasakan. Kami pun mulai
menelusuri trotoar di sepanjang jalan. Saat lampu merah menyala, kami mulai
memetik gitar kami sambil bernyanyi di pinggir kendaraan yang sedang berhenti
menunggu lampu hijau kembali menyala. Saat lagu yang kami bawakan mulai
berakhir, aku pun segera mengulungkan plastik bekas bungkus makanan ringan yang
telah lusuh sebagai wadah uang yang akan kami terima. Keping demi keping uang
logam lima
ratus dan seratusan mulai meluncur ke dalam wadah itu. Tak terasa, wadah itu
pun hampir berat. Aku pegal menentengnya terus. Lalu Kak Danny mengajakku untuk
istirahat di atas jembatan layang. Kami duduk dan menyandarkan gitar itu pada
dinding jembatan. Seratus, dua ratus, tiga ratus, seribu, lima
ribu, dan… syukurlah, kami mendapatkan lima
puluh delapan ribu rupiah. Aku tersenyum
melihat kak Danny tersenyum juga. Mungkin baginya, ia tersenyum karena senang
telah mendapatkan uang yang cukup banyak untuk malam ini, namun bagiku, tidak.
Kesenanganku bukan hanya terletak pada apa yang kami dapat secara materi, tapi…
aku senang karena malam ini indah banget, tak seperti malam-malam kemarin.
Meskipun aku baru kali ini menjejaki dunia luar yang sangat keras, namun ku
bisa merasakannya dalam sekali. Setelah selesai menghitung uang yang kami dapat,
kami pun segera bangkit berdiri. Dan… TARAA!
Inikah yang akan ditunjukkan Kak Danny untukku? Sebuah pesona indah yang
memukau pandanganku. Dari ketinggian, aku dapat melihat sorot kota yang kemerlap. Penuh cahaya yang
mewarnai. Lampu-lampu yang bersinar memberikan pelangi indah di malam yang
indah ini. berbaris pula deretan kendaraan dengan sinar lampunya. Membuatku
terus terpukau oleh kenikmatannya.
“Waahh… nggak pernah aku ngeliat seperti ini sebelumnya!
Indah banget kak! Ingin rasanya aku berlama-lama di kota ini!” ujarku kagum.
Baru kali ini aku tersenyum manis pada dunia. Sebelumnya,
aku hanya merengut dan mengeluh terhadap apa yang aku alami dalam hidupku.
Kemudian kamipun bersandar di dinding jembatan itu dan
melepas rasa lelah yang telah merenggut raga kami.
“Ya. Emang beginilah hidup menjadi anak jalanan. Ada suka dan ada duka.
Segalanya harus dilewati bersama.Tangis dan tawa bercampur jadi satu. Namun,
kadang rasa sesal itu muncul dalam diri kita masing-masing. Jangan dipikir kita
hanya terlena oleh keindahan sesaat seperti ini, tapi kadang juga kita menginginkan
adanya kehangatan kasih sayang dari orang tua yang telah membesarkan kita.”
Ungkap Kak Danny.
“NGGROOOK…”
Tiba-tiba suara itu terdengar saat Kak Danny memnyelesaikan ucapannya barusan.
“Ya ampun, rupanya kamu capek sekali ya? Sampai-sampai kamu
tertidur di sini. Beralaskan tanah dan beratapakan langit hitam. Berarti dari
tadi aku ngomong panjang lebar itu nggak ada yang mendengarkan ya? Huft… kasian
sekali diriku ini!.” Gumam Kak Danny mendengus kesal.
Kemudian, keheningan malam yang sunyi kian menyerbu. Tiada
lagi terdengar kebisingan suara kendaraan yang memekakan telinga. Kamipun
tertidur dengan pulasnya…
Sekitar pukul empat pagi, saat kami masih beradu dengan
mimpi yang panjang, kamipun terbangun karena suara sirine sebuah mobil yang
sangat keras. Mobil itu ternyata adalah mobil polisi yang berpatroli untuk
merazia anak-anak jalanan seperti kami. Mereka sengaja datang jam segini agar
lebih mudah menangkap anak-anak jalanan. Meskipun aku bukan anak jalanan, tapi
aku pun ikut tertangkap.
Mataku masih sulit untuk dibuka. Masih terasa rapat sekali. Ingin
rasanya melanjutkan mimpi yang tadi sempat terpotong gara-gara suara mobil itu.
“Ayo, ikut saya, Dik!”
ujar pak polisi itu seraya menarik lenganku.
Kak Danny pun
terbangun dan mulai menyadari semuanya yang telah terjadi.
“Pak, jangan tangkap
kami! Kami nggak punya salah apa-apa!” kata Kak Danny sambil menarik kembali
lenganku dari genggaman pak polisi.
“Adik-adik, kalian
harus ikut kami! Kalian tak akan kami apa-apakan kok. Kami hanya meminta
informasi dari kalian saja.” Kata pak polisi seraya tersenyum.
Mungkin senyuman itu
adalah senyuman rayuan agar kami mau ikut dengan mereka. Namun, kami tak akan
goyah. Kami tetap tidak mau. Kami mulai melarikan diri saat pak polisi itu
menoleh ke belakang yang berniat untuk memanggil temannya.
“Dilend, ayo kabur!”
bisik Kak Danny padaku. Lalu, ia menarik tanganku yang tengah menggenggam gitar
kecil yang kemarin telah menemaniku dalam mengais rejeki.
Melihat kami berlari,
polisi itupun langsung berlari mengejar kami sambil mnegendarai mobilnya.
“Hey, mau kemana
kalian!? kalian jangan lari! Kami akan mengejar kalian!” teriak salah satu
polisi di balik kebisingan suara sirine mobil tersebut.
“ARGH!” tiba-tiba akupun terjatuh karena tersandung batu yang
menghalangiku saat melarikan diri dari kejaran polisi.
“Ayo, Dilend! Cepat!
Berdirilah! Polisi itu udah ada di belakangmu! Ayo!” perintah Kak Danny.
“Aduuuh… kakak saja
deh yang lari, aku udah nggak kuat berdiri nih! Lututku berdarah lagi! Biarkan
aku saja yang tertangkap! Kakak cepat sana
lari!” sahutku sambil mengaduh kesakitan.
“Duh, gimana ya? Hmm…
kakak nggak mau ninggalin kamu. Ya udah deh, kakak katengkep juga nggak apa-apa
kok. Biar kita hadapi semuanya dengan bersama-sama. Ok?” katanya seraya
mengedipkan salah satu matanya.
Dengan rasa kasih
sayang yang tinggi, kemudian kak Danny malah menyerahkan diri pada polisi itu.
Ia rela ditangkap polisi itu. Ia yakin bahwa ia tak akan diapa-apakan karena ia
tau ia tidak melakukan tindakan kriminal. Ia mungkin berpikir bahwa polisi itu
merasianya karena ingin dimintai keterangan.
Setiba ia kantor
kepolisian, aku, kak Danny, dan beberapa anak jalanan yang tertangkap lainnya,
duduk di sebuah kursi yang berhadapan langsung dengan kursi pak polisi
tersebut. Kemudian polisi itu pun mulai mengintrogasi kami.
“Nama kalian siapa dan
rumah kalian dimana?” tanyanya.
Dengan agak sedikit
gemetar, kak Danny pun langsung mendahului untuk menjawab pertanyaan tersebut.
“Saya Danny, Pak. Saya
tidak punya rumah. Saya tinggal di bawah jembatan di persimpangan jalan raya sana .”jawabnya dengan
santai.
Kemudian, saya pun
langsung men yahutnya.
“Kalau saya Dilend,
Pak. Rumah saya di desa Sukamaju.” Jawabku dengan agak sedikit takut-takut. Ku
lihat, raut wajah kak Danny sama sekali tak menunjukkan ketakutan yang besar.
Mungkin karena ia telah terbiasa tertangkap polisi seperti ini.
Seketika itu juga,
polisi itu tampak kaget dengan jawabanku. Kemudian ia bertanya lagu padaku,
“Lhoo… kenapa kamu bisa sampai di kota
ini? bahkan di sini pun kamu tertangkap rasia anak jalanan. Bukannya desa
Sukamaju itu sangat jauh dari kota
ini ya? Apa kamu tersesat?”. Lalu, dengan ragu-ragu aku pun mulai menjawab
pertanyaan itu, “Engh… saya datang ke kota
ini sebenarnya tanpa tujuan, namun dengan sebuah harapan. Saya ingin menjalani
hidup bebas. Saya tertekan selama di rumah. Ayah saya tak pernah memperdulikan
saya dan ibu saya, sehingga saya terkadang merasa ingin mencoba sesuatu yang
baru dengan kabur dari rumah.” Jawabku dengan tertunduk lemas.
“Hah?! apa benar itu kamu?!” segera polisi itu mengambil sebuah
kabar berita yang memuat tentang pencarian anak hilang. Ia menunjukkannya
padaku.
“Bukankah ini kamu? “Anak
bernama Dilend hilang dari rumah mulai tanggal 22 Mei. Terakhir memakai baju
seragam putih biru. Tingginya sekitar 165 cm, rambut pirang dengan kulit sawo
matang.” Ciri-cirinya miirp sekali dengan kamu, nak!” katanya bersorak
gembira.
Aku sedari tadi hanya
terdiam melihat tingkah laku polisi itu yang mungkin terlihat senang sekali
saat melihat aku telah ditemukan.
“Ayo, Dilend. Kamu
akan kami antarkan pulang sekarang ini juga!” sahut polisi yang duduk di
sebelahnya.
“Hah?! sekarang? Tapi,
kak Danny….” Kataku seraya menatap lembut kedua bola mata Kak Danny yang
terlihat sayu.
“Udahlah, kamu pulang
aja. Kasihan orang tuamu mencari kamu terus. Biar kakak di sini sendirian,
nggak apa-apa kok. Kakak masih bisa ngejalanin kehidupan kakak yang keras ini
dengan sendirian. Kamu masih beruntung masih punya orang tua yang sayang sama
kamu, nggak kayak kakak, hidup aja cuma sebatang kara. Kakak malahan pengen
jadi kamu yang hidupnya lebih beruntung dari pada anak-anak jalanan lainnya. Ya
udah, kamu pulang aja sana .
Buatlah kedua orang tuamu tersenyum bahagia melihat kamu kembali lagi ke
pelukan mereka. Jangan buat mereka sedih lagi. Ingat pesan kakak, hidup cuma
sekali, jangan disia-siakan. Manfaatkanlah untuk hal yang berguna untuk
menyenangkan orang tuamu. Emm… ya udahlah, segera naik mobil sana . Ingat pesan terakhir dari kakak, jangan
pernah ngelupain dan jangan pernah mencoba untuk membenci semua orang,
sekalipun ia membenci kamu. Jangan hanya menyayangi orang yang menyayangimu
aja, melainkan, sayangilah juga orang yang membencimu.” Ungkap Kak Danny yang
diakhiri sebuah tetes demi tetes air mata.
“Iya, kak. Aku pasti
nurutin semua pesan kakak kok. Jangan khawatir. Udah, kak Danny jangan nangis
gitu, ah… aku kan
kenal kak Danny sebagai seorang yang kuat dan tegar dalam ngejalanin hidup.
Masa’ cuma aku tinggal sebentar, udah nangis gitu? Hehehe…” aku mencoba
menghibur kak Danny yang terlihat sangat terpukul.
“Terus terang saja,
baru kali ini kakak punya adik yang baik seperti kamu. Meskipun kakak baru
kenal kamu, tapi kamu bisa membuat kakak sedikit bahagia dari masalah-masalah
yang pernah kakak alamin. Aku kira kakak akan senang dengan adanya kamu yang
bisa membuat kakak tersenyum lagi, tapi mungkin itu cuma sekedar mimpi kakak
aja. Hmmm… ya udah, semoga kamu senang bisa kembali ke keluargamu. Kakak cuma
bisa berdoa buat kamu, semoga kelak kalau kamu sudah sukses, jangan ngelupain
kakak ya.” Katanya.
“Iya, kak. Makasih buat
kebahagiaan yang pernah kakak berikan. Aku pamit dulu ya. Jika waktu
mengijinkan, aku sebenarnya masih ingin terus bersama kakak. Tapi, mungkin
keadaan berkehendak lain. Aku harus pulang menemui kedua orang tuaku. Semoga
kakak tetep kuat ya. Dan jangan menyerah dengan kerasnya kehidupan. Semangat!”
kataku yang tetap terus menghiburnya.
Mendengar kami
berbincang sebentar, lalu kedua polisi itu menarikku dan membawa ke dalam
mobilnya. Mobil pun mulai berjalan. Aku hanya mampu memandangi kak Danny dari
balik kaca mobil. Semakin lama, batang hidungnya semakin tak terlihat. Dan
kemudian, jarak memisahkan kita. Aku telah kehilangan seseorang yang pernah
memotivasiku untuk tetap kuat dan tegar dalam menjalani hidup. Ia adalah sosok
yang pernah menunjukkan padaku sebuah keindahan dalam sebuah tekanan keras yang
menghimpit. Meskipun ia hampir menyerah dengan hidup, namun tidak membuatnya
terjatuh dalam keputusasaan. Sebaliknya, ia malah terus berpikir bagaimana cara
untuk menghilangkan perasaan sedih yang mengusik. Ia terus dan terus belajar
bagaimana hidup itu dimulai dan dijalani.
Aku hanya meratapi keadaan dari
balik kaca mobil. Aku teringat perkataannya yang menguatkan dan menyemangatkan
aku hingga detik ini. “Hidup bukan dimulai dari kemarin, hari
esok, ataupun nanti. Namun, hidup itu dimulai saati nafas kita terlahir pada
detik ini juga…”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar