Salam Perkenalan

Hey Guys and Gurls! Blog ini bukan private blog yang artinya di sini ada banyak banget informasi, lirik, dan berbagai macam tulisan yang pastinya cool and interested to the max! So, if you like it, just post a comment and I'll read it soon, surely. And sure, kalian juga bisa kasih kritik dan saran buat blog ini supaya bisa maju dan nggak cuma gini-gini doang. So, it’s our kingdom, will you join with us?

Minggu, 18 Agustus 2013

Hidup Itu Dimulai Detik Ini

Hidup Itu Dimulai Detik Ini
Oleh: Krista Oudhiya


Hari ini aku berjalan melalui jalan tembusan yang biasanya ku lewati. Aku mulai menyusuri pematang sawah. Ku langkahkan kakiku secara perlahan agar aku tidak terperosok ke dalam sawah. Meskipun cahaya sang matahari menyengat kulitku, namun ku tetap berjalan agar cepat tiba di rumah. Setelah melewati beberapa semak dan rerumputan yang tinggi, aku pun melompati sebuah tembok besar yang membatasi daerah kampungku dengan kampung sebelah dengan melangkahkan kakiku pada setiap anak tangga yang sudah bersandar pada tembok itu.

            Hap! Hap! Hap! Pluk! Akhirnya aku pun melompat dari ujung tangga ke tanah yang keras ini. Aku tak peduli jika seragam putihku nanti menjadi kotor. Aku tak peduli jika nanti kulit tergores kawat yang melintang di ujung tembok itu. Yang aku inginkan, aku bisa pulang ke rumahku yang meskipun kecil namun lumayan nyaman bagi anak sederhana sepertiku ini. Setelah sampai di rumah, aku ingin melihat kedua orangtuaku menyambutku dengan hangat. Memelukku dan mencium keningku. Bukan seperti yang terjadi hari ini…
            “Bu, siang ini kita makan apa?” tanyaku bersemangat karena sudah tak dapat lagi menahan rasa lapar.
            “Dilend, kamu masak telur sendiri buat makan siangmu ini ya? Maafin ibu. Ibu tadi nggak masak soalnya uang yang seharusnya ibu pakai untuk berbelanja, malah diambil ayahmu.” Kata ibu seraya mengulungkan sebutir telur padaku.
            “Lagi-lagi kelakuan ayah bikin kita susah aja! Apa dia nggak pernah berpikir untuk ngutamain kesejahteraan keluarganya? Yang bisa dia lakuin cuma menghambur-hamburkan uangnya aja! Apa dia masih nggak bisa ngertiin keadaan ekonomi keluarganya, apa?! Dilend tau. Pasti uang itu buat bisnis yang nggak penting itu kan? Yang nggak tau entah sampai kapan bisnis-bisnisnya itu berhasil!” ujarku kesal dengan kelakuan ayah yang semaunya sendiri.
            “Hush!!! Kamu nggak boleh ngomong seperti itu, Dilend! Bagaimanapun juga dia itu ayahmu! Kamu harus menghormatinya! Jangan ngomong yang macem-macem sama ayahmu!” seketika itu pula, aku dibentak oleh ibu yang biasanya tak pernah memarahiku. Suasana menjadi hening sejenak, sebelum ibu kembali menyahut. Aku terdiam. Begitu juga dengan ibu. Ia terlihat mengurangi tingkat emosi dalam dirinya.
            “Dilend, maafin ibu. Ibu nggak bermaksud memarahi kamu, tapi ibu ingin kamu jangan ngomong seperti itu! Nggak baik! Apalagi dia itu ayahmu sendiri. Sudahlah, nak. Kamu yang sabar ya. Kalau kamu sayang sama ayah, seharusnya kamu bisa memahami sifat-sifatnya, sekalipun itu buruk. Mmm… ya udah, kamu makan aja sana. Habis itu, langsung istirahat. Jangan main dulu, sebentar lagi kamu kan mau ujian kelulusan.” Sahut ibu mengelus kepalaku. Tanpa bicara sepatah kata pun, akhirnya aku menuju dapur untuk memasak menu makan siang hari ini yang sangat sederhana.
            Sang surya mulai memasuki peraduannya. Sinarnya telah hilang dimakan bulan. Siang berganti malam. Kegelapan mulai menyelimuti dunia. Sunyi. Yang terdengar olehku hanyalah suara jangkrik yang mengendap-endap di sekitar rumahku. Tinggallah cahaya kunang-kunang yang menerangi pelataran rumahku yang berseberangan langsung dengan pematang sawah yang tadi siang ku lalui.
            GUBRAK!!! “Deg! Suara apa itu?! Bikin aku kaget aja! Nggak tau ada orang mau tidur, apa?!” gumamku sambil menuju pintu depan. Ternyata tadi itu suara ayah yang sedang membuka pintu atau lebih tepatnya membanting pintu dengan kasar.
            “Ayah, kok pulangnya malem banget? Emang seharian kemana aja?” tanyaku heran dengan kedatangan ayah yang sudah larut.
            “Halah! Kamu anak kecil nggak tau apa-apa! Udah sana tidur aja! Ini udah malem banget. Ayah juga mau tidur. Capek!” jawabnya dengan mengejekku.
            “Ayah! Aku nggak suka ngeliat sikap ayah yang terus-terusan begini. Membagi-bagikan berjuta-juta uang untuk orang yang keadaan ekonomi malah jauh lebih tinggi di atas kita. Ayah harusnya juga mikirin keadaan keluarga kita. Ayah jangan mikirin kemauan ayah sendiri! Hargai perasaan keluarga, terutama ibu yang selalu menahan kesedihan.” Aku menumpahkan segala kekesalanku yang selama ini terpendam pada ayah.
            “Dilend! Kamu itu ngomong apa sih? Ayah nggak ngerti! Lagian ayah lihat, ibumu juga nggak apa-apa kok! Udah lah, ayah capek dan nggak mau ribut-ribut sama kamu!” sahut ayah sebelum meninggalkan Dilend yang masih berdiri di depan pintu. Ia meratapi segala nasib ‘buruk’ nya.
            “Ayah jahaat!” bentakku.
            PLAK! Seketika itu juga ku dengar suara yang mengagetkanku. Entah karena tanpa sadar ataupun disengaja, ayah menamparku dengan tangan kanannya. Tak terlihat rasa bersalah dalam raut wajah ayah. Sepertinya ia telah puas dengan apa yang telah dilakukannya. Mungkin ini memang keinginannya yang terpendam.
Beberapa detik berlalu dengan sunyi. Aku masih menunduk ke bawah menahan rasa sakit akibat tamparan ayah. Ayahpun segera memasuki kamarnya tanpa berbicara sepatah katapun padaku.
            “Aku udah mencoba buat sabar sama ayah, tapi sikap ayah udah kelewat batas. Dilend ngelakuin ini semua bukan buat kesenangan Dilend aja, tapi yang terpenting Dilend nggak mau ngeliat ibu nangis nantinya. Aku benci hidup ini! Aku benci keluarga ini! Aku bosan! Aku muak sama kondisi seperti ini! Aku mau ngeliat ibu bahagia! Aku nggak mau ngeliat ayah egois seperti ini!” gumamku menuangkan kekesalan pada hidup. Angin malam kian menusuk tulang. Dengan wajahku yang sendu, segera ku tutup pintu yang terbuka dan aku mulai melangkah menuju kamar dan tidur.
            Keesokkan paginya, saat sang ayam belum bernyanyi dengan riangnya, aku sudah lebih dulu bangun. Aku merentangkan tangan dan menguap selebar-lebarnya bak kuda nil.
            “Duh, jam berapa sih ini? kok masih gelap banget ya?” segera ku mengambil jam alarm yang ada di samping tempat tidurku dan melihatnya dengan cermat.
            “Hmmm… baru jam 4 ya? Kirain udah jam 7! Tidur lagi ah…”
            JEP! Akupun kembali terbangun dari tempat tidurku. Terlintas dalam benakku suatu ide ‘gila’ yang cemerlang juga.
            “Kalau aku terus di sini, pasti aku nggak bisa keluar dari ‘neraka’ ini! aku udah bosen lama-lama di sini. Aku pengen bisa menghirup udara bebas. Aku nggak betah hidup di penjara ini! lebih baik aku kabur aja! Mumpung sekarang masih pagi, belum ada orang yang tau.” Kataku sembari menaruh beberapa pasang pakaian pada ransel yang biasa ku pakai saat bersekolah.
            Pagi-pagi benar, saat ibu dan ayahpun belum bangun dari lelapnya, aku telah lebih dulu terbebas dari rumah sawah itu.
            “Akhirnya aku bebas juga! Sekarang terserah aku mau ngapain! Ini hidupku! hahaha.” Aku sangat senang merasakannya.
            Aku berjalan menyusuri pematang sawah, kebun, dan bahkan menyeberangi sungai yang arusnya lumayan besar. Semua ini ku lakukan hanya demi meraih impianku untuk menikmati hidup di kota dengan bahagia.
Hari menjelang siang. Hari ini aku bolos sekolah. Aku juga tidak terpikirkan oleh kekhawatiran ibu dan ayah nanti, yang penting aku senang.
Setapak demi setapak jalan ku lewati. Aku berjalan tanpa arah di perkotaan. Banyak kendaraan yang berlalu lalang di jalanan. Seumur hidupku, baru kali ini aku berpetualang di tengah kota. Banyak sekali orang yang mondar-mandir.  Polusi yang melayang-layang di udara kian membunuhku. Nafasku sesak olehnya. Dan… Argh…..!!!
            Beberapa saat kemudian…
            Aku mulai membuka mata, namun mataku masih sulit dibuka. Aku belum dapat melihat sekelilingku dengan jelas. Yang terlintas hanyalah deretan semut yang sedang berjalan yang aku sendiri tak tau jumlahnya.
            “Udah bangun, dik?” tanya seseorang padaku. Berdasarkan penglihatanku yang masih belum terlalu jelas, aku melihatnya dengan seksama. Ia adalah seorang anak laki-laki. Badannya tinggi, kulitnya hitam manis. Kalau dikira-kira, umurnya sekitar 17 tahun. Mmm… ia masih sangat terlihat muda.
“Aku dimana? Kakak siapa? Aku kok bisa ada di sini sih?” tanyaku padanya seraya mengucek-kucek mataku.
Kemudian, ia pun menjawabnya dengan ramah, “Namaku Danny. Aku yang menolongmu tadi sewaktu kamu pingsan di tengah jalan. Rumahku di daerah sini. Oh ya, jam segini kan waktunya anak-anak sekolah, tapi kamu kok nggak sekolah sih? Bolos ya? Hehehe…” . Aku sempat terdiam karenanya. Aku masih belum percaya kalau masih ada juga orang baik di dunia ini. Tadi, aku malahan mengira kalau aku sudah mati.
“Mmm.. Iya.” Jawabku singkat karena masih agak sedikit pusing.
“Oh ya udah. Kalau begitu, mendingan aku nganterin kamu pulang ya. Rumah kamu dimana, dik?” ujarnya dengan senyuman.
“Emmm… nggak usah kak. Aku nggak mau pulang. Sebenarnya, aku tadi pagi kabur dari rumah. Mmm… kalau boleh, aku tinggal di rumah kakak dulu ya?” sahutku dengan muka memelas.
“Lho, kok kabur dari rumah? Gimana ceritanya? Wah, jangan nginep di rumahku, dik. Aku sih nggak punya rumah. Hehehe… .” katanya dengan santainya.
“Ceritanya panjang kak. Nanti aja aku ceritain. Lha terus, ini kamarnya siapa dong? Bagus banget lho!” pujiku.
“Oh… ini sih kamarnya temenku. Tadi pas kamu jatuh di jalan, nggak sengaja aku dan temanku melihatmu. Ya… langsung aja aku membawa kamu ke kamarnya temenku ini. Kebetulan dia anak orang yang punya.”
Kemudian Dilend menceritakan segala masalah yang sedang dihadapinya hingga ia berniat untuk kabur dari rumah. Mendengar hal itu, awalnya Danny sedikit kaget dan kasihan. Ia menawarkan untuk mengantarkannya pulang, namun Dilend bersikukuh tak mau menerima tawaran itu. Ia pun rela tinggal bersama Danny untuk sementara waktu jikalau hal ini dapat membuatnya lepas dari beban pikirannya.
Malam pun menjelang, Danny mengajakku untuk ke suatu tempat yang sebelumnya belum pernah aku singgahi seumur hidupku.
“Dilend, ayo ikut aku!” katanya.
“Kita mau kemana?” tanyaku penasaran.
“Aku mau mengajakmu berpetualang malam di jalanan. Mau nggak? Katanya mau ngikutin semua apa yang aku ingin? Ayo cepat ganti bajumu. Bawa gitar kecilku ini!” tawarnya
“Hah?! Kita mau kemana, kak? Kok harus membawa gitar? Apa kita mau ngamen di jalanan?!” tanyaku seakan tak percaya.
“Ya! Benar sekali! Ikutlah aku. Aku sudah sering berkeliling kota di malam hari. Jangan takut, aku sudah berpengalaman, makanya aku hafal situasi-situasi yang mungkin nanti akan terjadi. Aku akan menunjukkan sama kamu keindahan kota ini.” ujarnya seraya menarikku sedari tadi hanya melamun dan terdiam tanpa gerakan.
Kami pun mulai melangkahkan kaki pada tanah yang dingin ini. Bermodalkan suara dan gitar kecil yang sederhana, kami berpetualang untuk mejelajahi setiap sudut kota. Aku cukup senang. Di saat seperti  ini, aku tak terpikirkan keadaan ibu dan ayah di rumah. Yang terlintas di dalam pikiranku hanyalah kesenangan sesaat yang aku rasakan. Kami pun mulai menelusuri trotoar di sepanjang jalan. Saat lampu merah menyala, kami mulai memetik gitar kami sambil bernyanyi di pinggir kendaraan yang sedang berhenti menunggu lampu hijau kembali menyala. Saat lagu yang kami bawakan mulai berakhir, aku pun segera mengulungkan plastik bekas bungkus makanan ringan yang telah lusuh sebagai wadah uang yang akan kami terima. Keping demi keping uang logam lima ratus dan seratusan mulai meluncur ke dalam wadah itu. Tak terasa, wadah itu pun hampir berat. Aku pegal menentengnya terus. Lalu Kak Danny mengajakku untuk istirahat di atas jembatan layang. Kami duduk dan menyandarkan gitar itu pada dinding jembatan. Seratus, dua ratus, tiga ratus, seribu, lima ribu, dan… syukurlah, kami mendapatkan lima puluh delapan ribu  rupiah. Aku tersenyum melihat kak Danny tersenyum juga. Mungkin baginya, ia tersenyum karena senang telah mendapatkan uang yang cukup banyak untuk malam ini, namun bagiku, tidak. Kesenanganku bukan hanya terletak pada apa yang kami dapat secara materi, tapi… aku senang karena malam ini indah banget, tak seperti malam-malam kemarin. Meskipun aku baru kali ini menjejaki dunia luar yang sangat keras, namun ku bisa merasakannya dalam sekali. Setelah selesai menghitung uang yang kami dapat, kami pun segera bangkit berdiri. Dan… TARAA! Inikah yang akan ditunjukkan Kak Danny untukku? Sebuah pesona indah yang memukau pandanganku. Dari ketinggian, aku dapat melihat sorot kota yang kemerlap. Penuh cahaya yang mewarnai. Lampu-lampu yang bersinar memberikan pelangi indah di malam yang indah ini. berbaris pula deretan kendaraan dengan sinar lampunya. Membuatku terus terpukau oleh kenikmatannya.
“Waahh… nggak pernah aku ngeliat seperti ini sebelumnya! Indah banget kak! Ingin rasanya aku berlama-lama di kota ini!” ujarku kagum.
Baru kali ini aku tersenyum manis pada dunia. Sebelumnya, aku hanya merengut dan mengeluh terhadap apa yang aku alami dalam hidupku.
Kemudian kamipun bersandar di dinding jembatan itu dan melepas rasa lelah yang telah merenggut raga kami.
“Ya. Emang beginilah hidup menjadi anak jalanan. Ada suka dan ada duka. Segalanya harus dilewati bersama.Tangis dan tawa bercampur jadi satu. Namun, kadang rasa sesal itu muncul dalam diri kita masing-masing. Jangan dipikir kita hanya terlena oleh keindahan sesaat seperti ini, tapi kadang juga kita menginginkan adanya kehangatan kasih sayang dari orang tua yang telah membesarkan kita.” Ungkap Kak Danny.
NGGROOOK…” Tiba-tiba suara itu terdengar saat Kak Danny memnyelesaikan ucapannya barusan.
“Ya ampun, rupanya kamu capek sekali ya? Sampai-sampai kamu tertidur di sini. Beralaskan tanah dan beratapakan langit hitam. Berarti dari tadi aku ngomong panjang lebar itu nggak ada yang mendengarkan ya? Huft… kasian sekali diriku ini!.” Gumam Kak Danny mendengus kesal.
Kemudian, keheningan malam yang sunyi kian menyerbu. Tiada lagi terdengar kebisingan suara kendaraan yang memekakan telinga. Kamipun tertidur dengan pulasnya…
Sekitar pukul empat pagi, saat kami masih beradu dengan mimpi yang panjang, kamipun terbangun karena suara sirine sebuah mobil yang sangat keras. Mobil itu ternyata adalah mobil polisi yang berpatroli untuk merazia anak-anak jalanan seperti kami. Mereka sengaja datang jam segini agar lebih mudah menangkap anak-anak jalanan. Meskipun aku bukan anak jalanan, tapi aku pun ikut tertangkap.
Mataku masih sulit untuk dibuka. Masih terasa rapat sekali. Ingin rasanya melanjutkan mimpi yang tadi sempat terpotong gara-gara suara mobil itu.
            “Ayo, ikut saya, Dik!” ujar pak polisi itu seraya menarik lenganku.
            Kak Danny pun terbangun dan mulai menyadari semuanya yang telah terjadi.
            “Pak, jangan tangkap kami! Kami nggak punya salah apa-apa!” kata Kak Danny sambil menarik kembali lenganku dari genggaman pak polisi.
            “Adik-adik, kalian harus ikut kami! Kalian tak akan kami apa-apakan kok. Kami hanya meminta informasi dari kalian saja.” Kata pak polisi seraya tersenyum.
            Mungkin senyuman itu adalah senyuman rayuan agar kami mau ikut dengan mereka. Namun, kami tak akan goyah. Kami tetap tidak mau. Kami mulai melarikan diri saat pak polisi itu menoleh ke belakang yang berniat untuk memanggil temannya.
            “Dilend, ayo kabur!” bisik Kak Danny padaku. Lalu, ia menarik tanganku yang tengah menggenggam gitar kecil yang kemarin telah menemaniku dalam mengais rejeki.
            Melihat kami berlari, polisi itupun langsung berlari mengejar kami sambil mnegendarai mobilnya.
            “Hey, mau kemana kalian!? kalian jangan lari! Kami akan mengejar kalian!” teriak salah satu polisi di balik kebisingan suara sirine mobil tersebut.
            “ARGH!” tiba-tiba akupun terjatuh karena tersandung batu yang menghalangiku saat melarikan diri dari kejaran polisi.
            “Ayo, Dilend! Cepat! Berdirilah! Polisi itu udah ada di belakangmu! Ayo!” perintah Kak Danny.
            “Aduuuh… kakak saja deh yang lari, aku udah nggak kuat berdiri nih! Lututku berdarah lagi! Biarkan aku saja yang tertangkap! Kakak cepat sana lari!” sahutku sambil mengaduh kesakitan.
            “Duh, gimana ya? Hmm… kakak nggak mau ninggalin kamu. Ya udah deh, kakak katengkep juga nggak apa-apa kok. Biar kita hadapi semuanya dengan bersama-sama. Ok?” katanya seraya mengedipkan salah satu matanya.
            Dengan rasa kasih sayang yang tinggi, kemudian kak Danny malah menyerahkan diri pada polisi itu. Ia rela ditangkap polisi itu. Ia yakin bahwa ia tak akan diapa-apakan karena ia tau ia tidak melakukan tindakan kriminal. Ia mungkin berpikir bahwa polisi itu merasianya karena ingin dimintai keterangan.
            Setiba ia kantor kepolisian, aku, kak Danny, dan beberapa anak jalanan yang tertangkap lainnya, duduk di sebuah kursi yang berhadapan langsung dengan kursi pak polisi tersebut. Kemudian polisi itu pun mulai mengintrogasi kami.
            “Nama kalian siapa dan rumah kalian dimana?” tanyanya.
            Dengan agak sedikit gemetar, kak Danny pun langsung mendahului untuk menjawab pertanyaan tersebut.
            “Saya Danny, Pak. Saya tidak punya rumah. Saya tinggal di bawah jembatan di persimpangan jalan raya sana.”jawabnya dengan santai.
            Kemudian, saya pun langsung men yahutnya.
           “Kalau saya Dilend, Pak. Rumah saya di desa Sukamaju.” Jawabku dengan agak sedikit takut-takut. Ku lihat, raut wajah kak Danny sama sekali tak menunjukkan ketakutan yang besar. Mungkin karena ia telah terbiasa tertangkap polisi seperti ini.
            Seketika itu juga, polisi itu tampak kaget dengan jawabanku. Kemudian ia bertanya lagu padaku, “Lhoo… kenapa kamu bisa sampai di kota ini? bahkan di sini pun kamu tertangkap rasia anak jalanan. Bukannya desa Sukamaju itu sangat jauh dari kota ini ya? Apa kamu tersesat?”. Lalu, dengan ragu-ragu aku pun mulai menjawab pertanyaan itu, “Engh… saya datang ke kota ini sebenarnya tanpa tujuan, namun dengan sebuah harapan. Saya ingin menjalani hidup bebas. Saya tertekan selama di rumah. Ayah saya tak pernah memperdulikan saya dan ibu saya, sehingga saya terkadang merasa ingin mencoba sesuatu yang baru dengan kabur dari rumah.” Jawabku dengan tertunduk lemas.
            “Hah?! apa benar itu kamu?!” segera polisi itu mengambil sebuah kabar berita yang memuat tentang pencarian anak hilang. Ia menunjukkannya padaku.
            “Bukankah ini kamu? “Anak bernama Dilend hilang dari rumah mulai tanggal 22 Mei. Terakhir memakai baju seragam putih biru. Tingginya sekitar 165 cm, rambut pirang dengan kulit sawo matang.” Ciri-cirinya miirp sekali dengan kamu, nak!” katanya bersorak gembira.
            Aku sedari tadi hanya terdiam melihat tingkah laku polisi itu yang mungkin terlihat senang sekali saat melihat aku telah ditemukan.
            “Ayo, Dilend. Kamu akan kami antarkan pulang sekarang ini juga!” sahut polisi yang duduk di sebelahnya.
            “Hah?! sekarang? Tapi, kak Danny….” Kataku seraya menatap lembut kedua bola mata Kak Danny yang terlihat sayu.
            “Udahlah, kamu pulang aja. Kasihan orang tuamu mencari kamu terus. Biar kakak di sini sendirian, nggak apa-apa kok. Kakak masih bisa ngejalanin kehidupan kakak yang keras ini dengan sendirian. Kamu masih beruntung masih punya orang tua yang sayang sama kamu, nggak kayak kakak, hidup aja cuma sebatang kara. Kakak malahan pengen jadi kamu yang hidupnya lebih beruntung dari pada anak-anak jalanan lainnya. Ya udah, kamu pulang aja sana. Buatlah kedua orang tuamu tersenyum bahagia melihat kamu kembali lagi ke pelukan mereka. Jangan buat mereka sedih lagi. Ingat pesan kakak, hidup cuma sekali, jangan disia-siakan. Manfaatkanlah untuk hal yang berguna untuk menyenangkan orang tuamu. Emm… ya udahlah, segera naik mobil sana. Ingat pesan terakhir dari kakak, jangan pernah ngelupain dan jangan pernah mencoba untuk membenci semua orang, sekalipun ia membenci kamu. Jangan hanya menyayangi orang yang menyayangimu aja, melainkan, sayangilah juga orang yang membencimu.” Ungkap Kak Danny yang diakhiri sebuah tetes demi tetes air mata.
            “Iya, kak. Aku pasti nurutin semua pesan kakak kok. Jangan khawatir. Udah, kak Danny jangan nangis gitu, ah… aku kan kenal kak Danny sebagai seorang yang kuat dan tegar dalam ngejalanin hidup. Masa’ cuma aku tinggal sebentar, udah nangis gitu? Hehehe…” aku mencoba menghibur kak Danny yang terlihat sangat terpukul.
            “Terus terang saja, baru kali ini kakak punya adik yang baik seperti kamu. Meskipun kakak baru kenal kamu, tapi kamu bisa membuat kakak sedikit bahagia dari masalah-masalah yang pernah kakak alamin. Aku kira kakak akan senang dengan adanya kamu yang bisa membuat kakak tersenyum lagi, tapi mungkin itu cuma sekedar mimpi kakak aja. Hmmm… ya udah, semoga kamu senang bisa kembali ke keluargamu. Kakak cuma bisa berdoa buat kamu, semoga kelak kalau kamu sudah sukses, jangan ngelupain kakak ya.” Katanya.
           “Iya, kak. Makasih buat kebahagiaan yang pernah kakak berikan. Aku pamit dulu ya. Jika waktu mengijinkan, aku sebenarnya masih ingin terus bersama kakak. Tapi, mungkin keadaan berkehendak lain. Aku harus pulang menemui kedua orang tuaku. Semoga kakak tetep kuat ya. Dan jangan menyerah dengan kerasnya kehidupan. Semangat!” kataku yang tetap terus menghiburnya.
            Mendengar kami berbincang sebentar, lalu kedua polisi itu menarikku dan membawa ke dalam mobilnya. Mobil pun mulai berjalan. Aku hanya mampu memandangi kak Danny dari balik kaca mobil. Semakin lama, batang hidungnya semakin tak terlihat. Dan kemudian, jarak memisahkan kita. Aku telah kehilangan seseorang yang pernah memotivasiku untuk tetap kuat dan tegar dalam menjalani hidup. Ia adalah sosok yang pernah menunjukkan padaku sebuah keindahan dalam sebuah tekanan keras yang menghimpit. Meskipun ia hampir menyerah dengan hidup, namun tidak membuatnya terjatuh dalam keputusasaan. Sebaliknya, ia malah terus berpikir bagaimana cara untuk menghilangkan perasaan sedih yang mengusik. Ia terus dan terus belajar bagaimana hidup itu dimulai dan dijalani.
            Aku hanya meratapi keadaan dari balik kaca mobil. Aku teringat perkataannya yang menguatkan dan menyemangatkan aku hingga detik ini. “Hidup bukan dimulai dari kemarin, hari esok, ataupun nanti. Namun, hidup itu dimulai saati nafas kita terlahir pada detik ini juga…”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar