Puisi Sachi
Oleh: Krista Oudhiya
Saat ku pejamkan mata...
Indah dunia hadir dalam anganku
Ketika sang mentari mengajak
ku tersenyum
Ku terbangun dari lelap
semalam
Hari ini ku mulai tuk jalani
hidup
Ku kobarkan semangat baru
Tuk hidup yang terindah…
Puisi ini tercipta saat ku hendak
memulai langkah baru di hidupku. Puisi ini adalah puisi pertama yang ku buat
pada hari ini. Semoga hari ini menjadi hari yang berkesan dalam hidupku.
Ku memasuki ruang kelas XII A yang
tepatnya berada di sebelah ruang multimedia. Aku mulai mencari bangkuku dan
duduk. Akan ku hadapi pelajaran di semester 2 ini dengan semangat bersama
teman-teman.
“Hai, Sachi. Selamat pagi. Kamu datang
pagi sekali. Tak seperti biasanya.” Sapa Michan ramah.
“Mungkin sebentar lagi tak akan aku
jumpai lagi senyum hangat seperti ini. Maaf teman, tak akan lama lagi aku akan
pergi meninggalkan lagi pada pertengahan semester ini.” Gumamku tertunduk lesu.
Namun ku harus semangat. Senyum ini tak boleh pudar. Aku pun membalas
sapaan Michan.
“Hai, juga Michan. Iya,
hari ini orang tuaku ada rapat penting di tempat kerjanya pagi-pagi sekali.
Oleh karena itu aku pun diantar sepagi ini. Hingga kau pun mungkin
terheran-heran. Hihihi… J” jawabku yakin.
Lonceng berbunyi
menandakan bahwa pelajaran akan segera dimulai. Bu Namiya memasuki ruang kelas
kami, bahasa.
Ku ingin kau bicara
Tuk memberikan setetes ilmu
Yang kelak ‘kan berguna bagi
kami
Kan ku dengar dengan pasti
Segala kata-katamu
Agar ku yakin bahwa ku akan
bisa…
Jam istirahat pun tiba.
Semua anak berlarian mengambil antrian paling depan di kantin. Adapula yang
berlarian menuju perpustakaan sekolah. Namun, adapula yang berdiam diri di
kelas sendirian, seperti yang ku alami ini. Bukan karena aku tak mempunyai
teman, namun karena aku sedang ingin sendiri. Mungkinkah bila ada seseorang
yang menghampiriku dan menyapaku lagi? Mungkin saja…
Saat aku sedang asyik
membaca buku di kelasku dalam keadaan sepi, tiba-tiba ada seseorang yang menuju
mejaku dengan langkah santai. Tanpa basa-basi dia bertanya-tanya kepadaku.
“Hai. Namamu siapa? Boleh
ku berkenalan denganmu?” tanyanya. Aku pun menjawab.
“Hai, juga. Namaku Alice
Sachi. Kamu cukup memanggilku Sachi saja. Ayahku berasal dari Berlin, Jerman
dan ibuku berasal dari Hokkaido, Jepang. Maaf, sepertinya aku belum kenal kamu.
Kamu anak baru ya?” pungkasku jelas.
Kemudian dia tersenyum dan
berkata lagi padaku, “Oh gitu. Namaku Evan Angelo. Yupz, kamu benar. Aku
pindahan dari SMA Tarachi di Nagasaki. Kedua orangtuaku berasal dari Amerika
Serikat. Aku anak kelas XII B. Aku tadi ingin berjalan-jalan mencari suasana
dan teman baru. Ternyata, aku menemukan kamu. Kamu mau kan jadi sahabatku?”
“Ok.” Balasku singkat.
Senang sekali rasanya hari
ini aku dapat sahabat baru. Dia orangnya baik, lucu, pengertian juga denganku.
Aku tidak ingin kehilangan dia.
Hari ini ku temukan sosok yang
ku tunggu
Dimana dia mampu mengerti aku
Dimana aku juga mampu mengerti
dia
Dia adalah sahabat baruku
Semoga kisah yang ‘kan ku
jalani terus selamanya
Tak’kan pernah terhapus dalam
jejak hidupku
Kawan, semoga kau tetap setia
di sampingku…
Sepulang sekolah ibu mengabariku
tentang rencana kepindahanku ke Jerman, kampungnya ayah.
“Sachi, 3 bulan lagi kita akan pindah.
Segera bersiaplah untuk rencana kepindahan kita ini. Jangan sampai ada barang
berhargamu yang tertinggal ya. Meskipun masih lama, 3 bulan itu terasa sangat
cepat berlalu. Ingat itu, nak.” Ibu menasihati aku dengan seksama.
“Iya, Ibu. Akan aku manfaatkan waktu 3
bulan ini dengan baik. J” tegasku.
Saat di kelas, ada pengumuman mengenai
hari ulang tahun sekolah. Oleh karena itu sekolah mengadakan berbagai acara,
diantaranya lomba naik sepeda, lomba membuat puisi, dan lomba drama antar
kelas.
Tentunya aku mengikuti lomba membuat
puisi karena anak-anak sudah biasa menunjukku bila ada lomba puisi. Yah, puisi
lagi, puisi lagi. Membuat puisi adalah hal yang paling sering ku lakukan
minimal sehari 2 kali. Hmm… seperti minum obat saja ya? Hihihi….
Hari perlombaan pun tiba. Saat itu
pula aku telah yakin akan mempersiapkan kiasan-kiasan yang indah untuk ku
tunjukkan.
“Para peserta lomba membuat dan
membaca puisi, harap berkumpul di meja sebelah utara.” Suara sang MC telah
bergema ke seluruh penjuru sekolah. Aku pun menuju ke tempat bersama peserta
lomba lainnya. Penampilan mereka bagus-bagus untuk menyesuaikan dengan puisi
yang mungkin hendak mereka buat. Namun, berbeda dengan aku. Aku hanya
mengenakan bandana sederhana berwarna putih keemasan dan sebuah rompi coklat
yang terlihat indah bila ada seseorang yang memakainya.
Saat yang dinantikan pun
tiba. Aku berdiri di atas panggung setelah cukup sekian lama aku menciptakan
puisi tersebut. Kini aku harus membacakannya.
Ku mulai hari dengan senyuman
Hari ini terindah bagiku
Saat kau mulai memberikan tawa
pada hidupku
Aku sungguh bahagia saat kau
berada di sampingmu
Kau adalah temanku, ku rasa
bukan
Kau adalah sahabatku, ku rasa
tidak
Namun, kau adalah seseorang
yang mulai ku cinta
Raut wajahmu selalu membayangi
di setiap sudut hatiku
Meskipun mungkin kau tak
mengerti makna ini
Namun aku yakin bila kau mampu
merasakannya
Meski kau jauh di sana
Tiap malam aku mampu mendengar
suaramu
Tiap waktu senyummu hiasi
langkahku
Seolah ku tak ingin kau pudar
dari benakku
Ijinkan aku, tuk selalu
menyayangimu
Wahai orang yang ku cinta
Walau hanya pada pandangan
yang pertama,
Namun ku yakin dengan perasaan
ini
Bahwa aku cinta kau…
Plok! Plok! Plok! Suara
gemuruh tepuk tangan menghujani aku. Aku tak kuasa membendung air mataku karena
aku tak tahan lagi menerima respons yang sangat memacu hidupku ini.
Terimakasih teman-teman atas dukungan
kalian selama ini. Berkat kalian aku mempu berdiri di atas penggung yang megah
ini.
Aku pun turun melalui
sebuah tangga kecil yang mampu mengantarkanku ke bawah. Aku pun tiba dengan
hujan pujian. Aku tak mampu lagi berkata. Semua sahabatku selalu memberikan aku
dukungan penuh padaku.
“Hei, bagus sekali puisimu
itu! Beda dengan puisi-puisimu sebelumnya! Aku suka dengan puisimu!” ujar salah
seorang temanku.
“Ah, kamu ini bisa saja.
Puisiku itu jelek, tidak sebagus dengan penyair-penyair yang terkenal.
Hehehe….” Ucapku tersenyum.
“Sachi, puisimu indah.
Kamu pantas jadi juara!” sahut Kyusu, temanku.
“Eh, makasih.” Sahutku
singkat.
“Sebentar lagi kita akan
mendengarkan pengumuman lomba puisi. Kita beri sambutan yang meriah untuk Bu
Kimochi sebagai juri yang akan membacakan pemenang lomba membaca puisi.” Kata
MC bersemangat.
Bu Kimochi pun naik ke
atas panggung dan mulai membuka kertas yang berisikan nama-nama pemenang lomba
membaca puisi. Pemenang dari setiap lomba, hanya disebutkan juara pertama saja
untuk lebih memacu para siswa untuk berlatih sebelum lomba agar bisa menang.
“Berikut adalah pemenang
lomba puisi yaitu….” Kata Bu Kimochi.
Duh, siapa ya? Aku
penasaran.
Kemudian, Bu Kimochi
menlanjutkan perkataannya,
“Alice Sachi dari kelas
XII A!!! Beri tepuk tangan yang meriah!”
Deg! Jantungku seolah
berhenti mendengar pengumuman tersebut. Aku tidak menyangka bila aku adalah
pemenangnya. Apa beliau salah membaca? Ah, tidak mungkin. Bila pun salah, pasti
sudah dari tadi beliau meralatnya. Dan buktinya, MC menyuruhku untuk naik ke
atas panggung. Sungguh, di luar dugaan. Puisi yang menurutku biasa saja, mampu
menang?!?!
Lalu, aku pun menerima
hadiah. Setelah itu aku kembali ke tempat dudukku dan tiba-tiba Evan
menghampiriku dan berkata, “Puisimu sungguh bagus. Mereka tidak salah
menilaimu. Saat kamu membacakannya, aku merasa ingin menangis saja. Kamu
membawakannya dengan penuh penghayatan. Aku sudah menduga, bila kamu memanglah
pemenangnya. Selamat ya! Bakatmu memang luar biasa!”
Masih dalam keadaan
setengah percaya, aku pun merespon, “Benarkah ini mimpi? Bila iya, segera
bangunkan aku!”
“Bukan. Ini bukan mimpi.
Ini adalah kenyataan. Sadar Sachi! Kamu memang pemenangnya! Ngomong-ngomong,
puisimu tentang seseorang yang sedang jatuh cinta ya? Bagus. Pas sekali dengan
yang aku rasakan. Apa itu menurut pengalamanmu sendiri?” tanyanya.
“Oh, sungguh aneh. Aku
merasa ini mimpi. Meskipun ini hanya lomba antar kelas namun aku merasa ada
sesuatu yang beda yang terjadi di diriku. Aku merasa lomba ini adalah lomba
yang paling berkesan. Aku sendiri tak tau, dimana letak kesan itu. Yang jelas,
aku merasa bahagia hari ini. Dan mengenai puisi itu, ya, kamu benar. Puisi itu
sedang menggambarkan aku yang sedang jatuh cinta pada pandangan pertama.” Kataku
lirih.
“Makasih, Evan. Aku menang
karena kamu. Kamulah yang memberikan inspirasi padaku tentang tema puisiku ini.
Berkat kamulah, aku bisa menciptakan puisi yang kamu anggap bagus itu. Aku
senang kamu bisa menyukai puisi yang sebenarnya tercipta untukmu.” Gumamku
dalam hati.
Hari-hari yang ku lewati
kini terasa lebih bermakna semenjak ada Evan di hatiku. Meskipun status kita
masih bersahabat, namun aku senang mempunyai sahabat seperti dia. Aku ingin
kita bersahabat selamanya meski aku tau bahwa aku menyayangimu sejak kita
bertemu. Kelihatannya kamu juga suka aku. Aku rasa, kita memiliki kecocokan.
Aku selalu nyaman berada di dekatmu. Aku ingin, waktu bisa berhenti berputar
saat kamu berada di sisiku.
Tak terasa waktu telah
berjalan hampir 3 bulan. Besok adalah hari kepindahanku sekeluarga menuju
Jerman. Sebenarnya aku sudah betah tinggal di sini. Di sini aku mempunyai
banyak teman baru dengan kehidupan yang unik dan mengesankan. Tapi, mengapa di
saat aku telah menemukan sosok yang ku cinta, aku malah harus pergi
meninggalkan dia? Apa mau dikata. Yang harus ku lakukan pagi ini adalah
meringkas seluruh barang-barangku…
“Sachi, ayo bersiaplah.
Besok kita hendak ke Jerman. Jangan lupa ucapkan salam perpisahan pada
teman-temanmu.” Ujar ibuku seraya menuangkan teh ke dalam gelas.
“Iya, bu.” Jawabku
singkat.
Aku tertunduk lesu saat
aku mendengar perkataan ibuku bahwa besok aku segera meninggalkan kota yang
menyimpan ribuan kenangan indah ini. Namun apa daya, aku tak bisa berbuat
apa-apa.
Aku segera mengambil handphone
dan menghubungi Evan, sahabat yang ku cinta.
“Halo, Van.” Kataku lemas.
“Iya, halo juga. Ada apa?
Sepertinya kamu tak bersemangat?” tanyanya.
“Sepertinya kamu salah
menduga. Aku sangat bersemangat sekali hari ini.” Ujarku menutupi perasaanku
yang sangat sedih karena hendak meninggalkan seorang sahabt yang sangat baik
baginya.
“Evan, aku ingin
memberikan sesuatu padamu.” Sahutku lirih.
“Apa?” tanyanya.
“Kelak kamu akan tau.
Sekarang aku hanya memberikan petunjuk. Besok pukul 10 pagi, kamu datanglah ke
rumahku. Segeralah menuju kebun belakang rumahku. Di sana ada pohon kecil. Di
antara kedua batang yang saling berimpitan, kamu akan menemukan sebuah benda.
Bukalah benda itu karena benda itulah yang akan ku berikan padamu.” Jelasku.
“Lalu, apakah aku harus
mengambilnya sendirian? Apa kamu tidak menemaniku dalam mencari benda itu?”
tanyanya lagi.
“Ya, kamu akan mencarinya
sendiri. Dan bila kamu telah menemukannya, aku akan keluar dari persembunyianku
dan mengucapkan sesuatu hal padamu.” Jelasku lagi.
“Apa itu?” dia bertanya
lagi.
“Klik!” aku segera
menghentikan pembicaraan dengan mematikan handphoneku.
Esok menjelang. Pukul 10,
Evan menepati janjinya. Ia mendatangi rumahku. Aku segera bersembunyi di balik
tembok untuk sementara waktu. Ia melangkah menuju kebun belakang rumahku. Ia
mengambil sebuah kotak yang ku kunci. Sengaja kuncinya aku bawa, agar ia bisa
membukanya saat aku telah pergi meninggalkannya. Ia telah menemukannya. Secepat
kilat aku segera keluar dari balik tembok dan segera menghampirinya.
“Kamu hebat, Van! Kamu
berhasil menemukan kotak itu.” Ujarku senang.
“Namun, bagaimana aku
membuka kotak ini? Sementara kotak ini kamu kunci. Mana kuncinya?” sahutnya.
Segera aku mengeluarkan
kunci berwarna kuning keemasan dan memberikan pada Evan. “Nih, kuncinya. Aku
ingin kamu membukanya setelah aku pergi dari tempat ini.”
“Ok.” Jawabnya singkat.
Setelah ia mendapati kotak
itu, ia mengajakku duduk di kursi. Posisi kami masih berada di kebun belakang.
Ia bercerita banyak tentang pengalaman hidupnya selama ini. Ada yang tentang
sahabatnya, orang tuanya, adiknya, kakaknya, maupun tentang mantan pacarnya
dulu.
“Cinta itu bisa datang
dengan sendirinya tanpa kita ketahui sebelumnya. Kita tidak bisa merencanakan
kedatangan dan kepergian cinta.” Ungkapnya panjang lebar.
Aku sedari tadi hanya bisa
menatap matanya lekat-lekat.
“Esok nanti, tak akan aku
temukan lagi cahaya mata yang bersinar terang seperti ini.” Gumamku dalam hati.
“Ya. Aku tau. Kita bisa
jatuh cinta kepada siapa saja dan dimana saja. Kita bisa jatuh cinta pada orang
yang kita anggap menyebalkan maupun pada orang yang baru kita kenal.” Sambungku
penuh arti.
Hari dimana aku telah
pergi…
Evan membuka kotak yang
diberikan Sachi. Ia mengambil selembar kertas yang digulung oleh pita kecil
sederhana berwarna merah muda. Ia membaca tulisan dalam kertas itu.
Saat kau mempuisikan hatiku
ini…
Mungkin ku telah pergi
Meninggalkanmu seorang diri
Di tempat yang penuh arti
Tempat dimana kita berbagi
senyum
Tempat dimana kita berbagi air
mata
Tempat dimana kisah kita
terukir dengan indah
Tiga bulan adalah waktu yang
singkat
Aku berusaha memanfaatkan
dengan baik
Ku pahat indah kenangan manis
kita dalam memoriku
Masih tergambar jelas alunan
rinduku padamu
Meski ku tak mampu
membayangkan
Namun aku sanggup merasakan
itu
Sejenak ku terdiam dan
berfikir
Kini kamu bukanlah sahabatku
Kamu bukanlah teman baik yang
ku kenal dulu
Kini, kamu berubah…
Barubah menjadi seseorang yang
aku cinta
Kamu adalah sosok yang ku
kagumi
Meski terasa berat tuk ku
ungkapkan
Aku tetap mencoba menyatukan
kata demi kata
Sebenarnya kamu telah menjadi
bagian terpenting
Dalam setiap langkah hidupku
Setiap kesuksesan yang ku
alami,
Terasa lebih bermakna saat
dukunganmu mengalir
Dalam setiap denyut nadiku
Dalam setiap hembus nafasku
Kamu memang seseorang yang
baru ku kenal
Namun aku merasa senang bila
bersamamu
Aku merasa nyaman saat aku di
sisimu
Aku tak ingin jauh darimu
Baru kemarin ku rasakan
Kamulah pengisi hatiku
Kamulah pemilik hatiku
Tiada yang lebih indah selainmu
Saat langit malam tak hadirkan
keindahan
Saat sang mentari tak hadirkan
senyumnya
Saat dunia kembali tertawa
Akupun selalu tetap ingin
mengatakan,
I LOVE YOU…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar